Kamis, 24 September 2009

Sabar dan Fadilahnya

ARTI SABAR DAN FADILAHNYA

A. Arti Sabar Secara Bahasa (Etimologi)

Kata Shabr terdiri atas huruf shad, ba dan ra, merupakan bentuk mashdar dari kata shabara. Dari segi bahasa, kata shabara memiliki arti, jika diikuti partikel ‘ala berarti sabar atau tabah hati, partikel ‘an berarti amsaka (Manahan atau mencegah), partikel hu berarti akraha wa alzama (memaksa dan mewajibkan), dan partikel bi berarti kafala (mananggung). Sebagai contoh : “Shabartu ‘ala ma akrah wa shabartu ‘an ma uhibb” (saya bersabar atau tabah hati terhadap apa yang saya benci dan menahan atau mencegah diri dari yang saya sukai). Menurut Luwis Ma’luf, shabara diikuti partikel ala bermakna luas: jaru’a (berani), sajja’a (memberi semangat) dan tajallada (memberi kekuatan).

Ibn Manzhur menjelaskan, arti asal dari kata shabr adalah menahan, seperti mengurung binatang, menahan diri, dan mengendalikan diri. Sehubungan dengan ini, maka puasa disebut sabar dan bulan puasa dinamakan bulan sabar (syahr al-shabr) karena orang puasa menahan diri dari makan dan minum dan godaan nafsu selama sebulan penuh. Selanjutnya, Ibn Faris menyebutkan dua arti shabr ; a’la al-sya’i (puncak sesuatu) dan jins min al-hijarah (sejenis batu). Dua arti ini berkaitan dengan arti kata shabara sebelumnya, sebab kedudukan sabar sangat mulia dan orang yang sabar memiliki kekokohan jiwa laksana batu. Kata al-shabr juga berarti konsisiten (al-istiqamat wa al-mudawwamah) dan menunggu (al-intizhar).

Kata shabara melahirkan kata lain: shabara, ashbara, dan ishtabara Kata shabara menunjukkan peningkatan intensitas sabar seperti terkandung dalam firman Allah SWT yang artinya :

Bersabarlah kamu, dan kuatkanlah kesabaran, al-Qur’an surat Ali Imran : 200), shabara berarti menjadi berani seperti ayat yang artinya :

Maka alangkah beraninya mereka menentang api neraka, al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 175, dan ishtabara menunjukkan peningkatan tingkat kesulitan atau lama waktu seperti ayat yang artinya : dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya; al-Qur’an Surat Thaha ayat 132. Hal ini karena ibadah shalat merupakan pekerjaan berat dan diwajibkan sepanjang hidup. Selain itu shabr melahirkan kata ishthibara berarti mengkisas, seperti kata Usman ibn ‘Arfan sewaktu dicela karena memukul ‘Ammar : Hazih yadia li ‘Ammar falyashthabir” (ini kedua tanganku yang memukul ‘Amamar, maka pukullah).

Lawan dari al-sabr adalah al-juz’a (tidak sabar, gelisah, bersedih hati, putus asa, putus harapan, cemas, khawatir, risau). Sebagai contohnya termuat dalam firman Allah SWT SWT yang artinya :

Dan mereka semuanya (dipadang Mahsyar) akan berkumpul menghadap kehadirat Allah SWT , lalu berkata orang-orang yang lemah kepada orang-orang yang sombong “ Sesungguhnya kami dahulu adalah pengikut-pengikutmu, maka dapatkah kamu menghindarkan daripada kami azab Allah SWT (walaupun) sedikit saja ? Mereka menjawab “Seandainya Allah SWT memberi petunjuk kepada kami, niscaya kami dapat memberi petunjuk. Sama saja bagi kita, apakah kitamelarikan diri. (al-Qur’an Surat Ibrahim ayat 21).

Dengan demikian, dari segi bahasa kata shabr memiliki makna positif multidimensional yang sangat dibutuhkan oleh setiap mukmin dalam hidup sosial dan religius, baik secara personal maupun komunal, seperti sikap aktif, konsisten, sosial, motivasi tinggi, disiplin, ketaatan, spiritualitas dan sebagainya.

2. Makna Secara Terminologi

Sebelum mengungkap definisi sabar dalam ajaran imam Imam al-Ghazali , penulis memandang perlu untuk mengemukakan beberapa definisi yang diberikan oleh para tokoh-tokoh sufi sebelumnya. Langkah ini dilakukan sebagai upaya untuk menarik benang merah yang membedakan antara imam Imam al-Ghazali dengan tokoh-tokoh tersebut sehingga dapat diketahui orisinalitas ajarannya.

Menurut ulama al-Muhasibi yang wafat pada tahun 243 H/857.M, sabar adalah “mengurung diri tempat penghambaan (‘ubudiyah) dan memandang rasa gelisah, berarti telah berada di maqam penghambaan (‘ubudiyah)”. Menurut imam Dzu al-Nun yang wafat pada tahun 246.H/861.M, sabar berarti “menghindarkan diri dari pertentangan (al-mukhalafah), tenang sewaktu ditimpa musibah, dan menampakkan diri kaya sewaktu mengalami kefakiran”. Menurut Imam Sahl al Tustari yang wafat pada tahun 283.H/896.M, sabar adalah “menunggu datangnya pertolongan Allah SWT SWT . Menurut imam Al-Junaidi yang wafat tahun 297.H/910.M sabar berarti “ketabahan hati seorang mukmin karena Allah SWT SWT , sehingga berlalu masa-masa yang tidak disukai”. Sedangkan menurut imam al-Makky yang wafat 387.H/1001.M, sabar yaitu “mengendalikan kebutuhan hawa nafsu dan memaksanya mujahadah agar dicapai keridhaan Tuhan.

Berbagai definisi di atas menunjukkan bahwa sabar merupakan upaya pengendalian diri sewaktu mengalami kesulitan dengan cara tidak mengeluh, tidak gelisah, tidak merasa susah, berlaku tenang bahkan sebaliknya menampakkan diri seolah senang dan kaya sewaktu mengalami musibah dan kefakiran. Orang yang mampu menghadapi kesulitan tersebut tergolong sabar sehingga membuatnya dapat mencapai keridhaan Allah SWT . Secara umum terlihat bahwa sabar merupakan upaya seorang hamba Allah SWT untuk mengendalikan diri dalam menghadapi kesulitan hidup.

Imam al-Ghazali pada dasarnya memiliki pandangan yang sama dengan tokoh-tokoh di atas bahwa sabar adalah mengendalikan diri untuk tidak melakukan tindakan tercela dan di luar norma-norma agama dalam segala kondisi hidup yang dihadapi. Kemiripan Imam al-Ghazali secara eksplisit semakin dekat dengan Imam al-Makki bahwa sabar adalah mengendalikan keinginan hawa nafsu sebagai uasaha untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Pengendalian hawa nafsu diperlukan dalam setiap situasi dan kondisi hidup baik dalam keadaan susah maupun dalam keadaan senang.

Kemiripan konsep antara Imam al-Ghazali dengan Imam al-Makki sebenarnya dapat dimengerti karena karya-karya imam al-Makki terutama Qut al-Qutub merupakan inspirasi Imam al-Ghazali sewaktu memasuki dunia sufi, sehingga sangat wajar adanya keterpengaruhan. Meskipun demikian, terdapat hal mendasar yang membedakan antara Imam al-Ghazali dengan imam al-Makki dalam memahami hakikat sabar ini.

Imam al-Ghazali melakukan pemetaan terhadap motivator perbuatan manusia (al-insaan) yang menyebabkan sabar atau tidaknya seseorang. Menurut, motivasi lahirnya perbuatan manusia (al-insaan) dua : motivasi religius berperan sebagai motivator perbuatan baik dan motivasi hawa nafsu berperan sebagai motivator perbuatan buruk. Kedua motivasi ini selalu bertentangan dan berusaha saling mengalahkan. Apabila motivasi religius menang maka seseorang menjadi sabar, dan bila motivasi agama kalah maka seseorang menjadi tidak sabar. Menang atau kalahnya motivasi religius, selain factor adanya pertolongan Allah SWT, adalah ditentukan oleh pilihan yang diambil seseorang. Dalam arti ini manusia (al-insaan) sebenarnya memiliki kebebasan untuk bersabar atau tidak sabar. Imam al-Ghazali berkata” “Sabar adalah keteguhan motivasi religius dalam melawan motivasi hawa nafsu” .

Imam al-Ghazali selanjutnya menjelaskan makna motivasi religius (ba’ats al-din) yakni “suatu sifat (al-Shifah) yang membedakan manusia (al-insaan) dengan binatang (al-bahimiyah) dalam mengendalikan dan menundukkan hawa nafsu”.

Dalam karyanya Mau’izhat al-Mukminin min ihya Ulum al-Din, Imam Muhammad Jamal al-Din al-Qasimi menjelaskan, maksud motivasi religius (ba’ats al-din) adalah “makrifat (ma’rifah) yang diberikan Allah SWT kepada manusia (al-insaan) mengenal Allah SWT dan Rasul-Nya, dan makrifat mengenai kebaikan (al-mashalih) dibalik suatu perbuatan. Adanya makrifat ini membedakan manusia (al-insaan) dengan binatang”.

Secara etimologi, al-Ma’rifah sama dengan al-‘Ilm yaitu mengetahui, mengenal, mengerti. Tetapi dalam terminology kaum sufi, dua kata ini memiliki arti yang berbeda. Al-‘Ilm merupakan pengetahuan manusia (al-insaan) terhadap realitas nyata suatu materi, mengandung kemungkinan salah, dan diperoleh melalui pembelajaran. Sedangkan al-ma’rifah adalah pengetahuan terhadap realitas yang tidak nyata, bukan hasil belajar tetapi merupakan pancaran dari Allah SWT .

Perbedaan antara al-‘Ilm dan ma’rifah dapat dilihat dari penjelasan Imam al-Ghazali . Ibaratnya, menurut Imam al-Ghazali , al-‘Ilm adalah seperti api sedangkan al-ma’rifah sebagai cahaya yang memancar dari api tersebut. Sewaktu seseorang mencapai al-ma’rifah, maka pengetahuannya adalah pengetahuan yang tidak ada keraguan di dalamnya.

Arti al-ma’rifah ini akan lebih jelas bila dilihat penjelasan imam al-Muhasibi. Sewaktu ditanya mengenai al-Ma’rifah ia menerangkan: “engkau mengenal Allah SWT sebagaimana Dia mengenalkan diri-Nya kepadamu”. Keterangan ini secara aksplisit menunjukkan bahwa melalui al-ma’rifah, Allah SWT, secara aktif mengenalkan diri-Nya kepada manusia (al-insaan) sehingga tanpa belajarpun sebenarnya dalam diri manusia (al-insaan) telah tertanam keyakinan akan adanya Allah SWT .

Motivasi religius diberikan Allah SWT sewaktu usia manusia (al-insaan) menjelang baligh. Allah SWT mengutus malaikat hidayah mengajarkan (yahdih) pengetahuan tentang Allah, rasul, dan mashalih. Tetapi berbekal; pengetahuan semata manusia (al-insaan) tidak mampu berbuat baik, ini disebabkan karena dalam dirinya bersemayam kecenderungan berbuat yang lahir dari golongan nafsu. Maka Allah SWT mengutus malaikat penolong bertugas memberi kekuatan (yaqwih) agar manusia (al-insaan) mampu berbuat baik sebagaimana diajarkan malaikat pertama.Melalui dua malaikat itu, kata Imam al-Ghazali , “berarti Allah SWT telah menyediakan pertolongan agar manusia (al-insaan) dapat kembali ke ajaran-Nya, dan memberi kekuatan agar mampu melakukan perbuatan baik dan meninggalkan perbuatan buruk sesuai ajaran-Nya tersebut”.

Dengan demikian, motivasi religius dalam pandangan Imam al-Ghazali merupakan pengetahuan seseorang mengenai agama yang diturunkan Allah SWT melalui wahyu dan disabdakan nabi, serta pengetahuan terhadap kebaikan (dampak positif) dan keburukan (dampak negative) yang dihasilkan oleh suatu perbuatan. Pengetahuan ini mutlak benar, tidak ada keraguan di dalamnya, diperoleh tanpa melalui kegiatan belajar, tetapi merupakan petunjuk yang diberikan Allah SWT melalui dua malaikat yang diutusnya sewaktu seseorang menjelang baligh, yang berfungsi sebagai bekal mentaati-Nya. Adanya pengetahuan ini merupakan faktor yang membedakan manusia (al-insaan) dengan binatang.

Motivasi religius dalam pandangan Imam al-Ghazali bersumber dari pengetahuan yang diberikan Allah SWT setelah seseorang menginjak dewasa. Pandangan ini mengandung pemahaman bahwa motivasi religius sebenarnya menguatkan pengetahuan manusia (al-insaan) terhadap Allah SWT sewaktu masih dalam kandungan ibunya sebagaimana diisyaratkan oleh ayat yang artinya :

Dan ingatlah, sewaktu Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah SWT mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu”. Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Allah SWT ). (al-Qur’an Surat al-A’raf ayat 172).

Berdasarkan ayat di atas dipahami bahwa Allah SWT telah mengenalkan diri-Nya untuk pertama kali kepada seseorang sewaktu ia berada di alam rahim. Selanjutnya Dia mengenalkan diri-Nya untuk kali kedua melalui motivasi religius yang diberikan-Nya sewaktu seseorang dewasa. Dengan demikian, Allah SWT dalam pandangan Imam al-Ghazali telah memberikan pertolongan dan bimbingan kepada manusia (al-insaan) agar selalu berada dijalan-Nya.

Adapun motivasi hawa nafsu (Ba’ats al-hawa atau ba’ats al-syahwah) adalah segala tuntunan hawa nafsu sesuai keinginan-keinginannya (muthlabat al-syahwah bi muqtadhayatiha). Keinginan-keinginan nafsu, kata Imam al-Ghazali selanjutnya adalah perbuatan-perbuatan maksiat. Seluruh bentuk perbuatan maksiat itu terkumpul dalam firman Allah SWT “wa yanha ‘an al-fahsya’ wa al-munkar wa al-baghy (dan Allah SWT melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan) al-Qur’an Surat al-Nahl ayat 90” Berdasarkan ayat yang digunakan Imam al-Ghazali ini dapat dipahami bahwa perbuatan maksiat adalah perbuatan keji (al-Fahsya), perbuatan munkar (al-munkar) dan permusuhan (al-Baghy).

Secara etimologi al-hawa berarti kecintaan (al-hubb), keinginan, kecenderungan, kesukaran, kesenangan (al-mail) dan al-syahwah berarti nafsu, selera, kesukaan, kegemaran, godaan, keinginan (al-rughbah), syahwat bersifat seksual (al-ghulmah), nafsu hewani (al-bahimah) , libido ( al-jinsiyat al-ghariziyah). Sedangkan secara terminology seperti dikemukakan al-Jurjani, al-hawa berarti kecenderungan nafsu terhadap kepada syahwat syahwah yang menyenangkan tanpa ada seruan syara’, dan al-syahwah yakni gerakan nafsu untuk mendapatkan perkara keji.Selain itu, al-Ishfahan menerangkan, al-hawa adalah kecenderungan jiwa atau jiwa yang cebnderung kepada syahwat, sedangkan al-syahwah yakni apa yang diinginkan oleh nafsu. Keinginan dibagi menjadi dua yaitu: keinginan benar yang apabila tidak terpenuhi dapat membahayakan badan seperti makan sat lapar, dan keinginan semu yang apabila tidak dipenuhi tidak merugikan badan.

Lebih jelas perbedaan antara al-hawa dan al-syahwah dapat dilihat dari keterangan imam Muhammad Salim Muhsin. Ia mengatakan : “adapun perbedaan antara al-hawa dan al-syahwah yaitu bahwa al-hawa ditujukan secara khusus pada hal-hal yang menyangkut pendapat dan keinginan. Sedangkan al-syahwah ditujukan dengan usaha memperoleh kelezatan. Oleh karena itu al-syahwah merupakan buah dari al-hawa. Al-hawa lebih khusus dan al-syahwah bersifat lebih umum”.

Ini berarti, ba’its al-hawa atau ba’its al-syahwah adalah dorongan atau keinginan hawa nafsu untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ajaran agama. Dorongan atau keinginan tersebut lahir karena ingin mendapatkan kesenangan dan kepuasan.

Hawa nafsu (al-hawa atau al-syahwah ) merupakan instink yang ada sejak manusia (al-insaan) dilahirkan. Atas dorongan hawa nafsu seorang bayi berbuat untuk memenuhi kebutuhnnya seperti menyusui, menangis, tidur dan sebagainya. Seiring dengan perjalanan waktu, kebutuhannya semakin bertambah. Ia butuh makan, pakaian, tempat tinggal, rumah tangga dan berbagai kebutuhan lainnya.

Hawa nafsu penting kedudukan bagi manusia (al-insaan) . Ia mendorong seseorang berjuang mempertahankan harga diri, membangkitkan semangat, memberi motivasi meraih kesejahteraan, membentuk mental yang kuat, memacu mencapai kesempurnaan dan sebagainya. Bahkan, menurut Imam al-Ghazali , hawa nafsu adalah sumber akhlak mulia dan unsur pencapaian kebahagiaan yang sejati. Namun di sisi lain, hawa nafsu adalah sumber kemaksiatan dan kejahatan. Perbuatan buruk adalah akibat tunduk kepadanya. Kegagalan meraih kesejahteraan duniawi dan kebahagian ukhrawi disebabkan patuh dan tunduk keinginannya. Imam al-Ghazali mengatakan:

Jangan sampai nafsu menipumu dengan angan-angan kosong (al-amani) dan tipu daya, karena diantara karakter (al-thab’) nafsu adalah merasa aman (al-amn), lengah (al-ghaflah), santai (al-rahah), lamabt (al-fatrah) dan malas (al-kasl). Semua ajakannya bathil dan segala sesuatu timbul darinya adalah tipu daya belaka. Nafsu merupakan pangkal segala bencana dan sumber aib. Apabila kami puas dan mengikutinya maka kamu akan celaka. Nafsu tidaklah dapat diarahkan kepada kebaikan.

Adanya dua motivasi di atas menjadikan manusia (al-insaan) lebih istimewa dari malaikat dan binatang. Malaikat tidak memiliki motivasi hawa nafsu sehingga tidak ada potensi untuk berbuat maksiat, yang ada hanya ketundukan semata. Sedangkan binatang tidak memiliki motivasi agama, sehingga, segala aktivitasnya hanya berdasrakan dorongan nafsu.

Sabar, dalam pandangan Imam al-Ghazali, merupakan keputusan seseorang dalam menempatkan dua motivasi ini dalam rangka ketaatan, yaitu meneguhkan, menenangkan dan meninggikan motivasi agama pada saat lahir keinginan untuk berbuat jahat sehingga pada akhirnya yang lahir hanyalah perbuatan baik.

Sehubungan dengan itu, Jalaluddin Rahmat menerangkan, “sabar menurut Imam al-Ghazali adalah memilih untuk melakukan perintah agama sewaktu dating desakan nafsu. Artinya, kalau nafsu menuntut kita untuk berbuat sesuatu tetapi kita memilih kepada yang dikehendaki Allah SWT maka disitu ada kesabaran. Tidak ada kesabaran, misalnya, kalau kita ini didesak oleh nafsu lalu memenuhi tuntutan nafsu itu”.

Dengan kata lain, dinamakan sabar apabila seseorang mampu melahirkan perbuatan baik disaat timbul dorongan untuk berbuat jahat. Caranya adalah dengan memilih petunjuk agama dan membayangkan efek yang dilahirkan oleh perbuatan jahat tersebut. Misalnya, sewaktu terbesit keinginan mencuri, maka orang yang sabar akan memilih petunjuk agama yang mana agama mengharamkan mengambnil hak orang lain. Dan membayangkan efek negatifnya misalnya memajukan diri dan keluarga jika tertangkap, dihukum massa, penjara, dan sebagainya. Demikian juga dalam hal keinginan berbuat zina orang yang sabar akan memilih petunjuk agama (agama mengharamkan zina) dan membayangkan efek negatifnya (antara lain timbul penyakit mematikan, malu, jatuhnya harga diri). Begitu pula dalam perbuatan-perbuatan maksiat yang lain. Apabila seseorang mampu menempatkan agama dan mashalih di atas keinginan hawa nafsu sehingga terhindar dari berbuat buruk maka telah termasuk orang yang sabar.

Dalam pandangan Imam al-Ghazali sabar pada mulanya merupakan hal. Pada kondisi ini seseorang belum mampu bersabar secara konsisten. Untuk menjadi maqam dibutuhkan latihan (riyadhah) dan kesungguhan (al-mujahadah) sehingga sabar menjadi mudah dilakukan secara konsisten. Apabila telah mudah dan dapat dilakukan dalam segala situasi dan kondisi secara konsisiten maka seseorang telah mencapai maqam sabar. Imam al-Ghazali mengatakan: “Apabila motivasi religius teguh sehingga mampu mengalah kan dorongan syahwat, dan secara kontinu menentang syahwat, berarti telah menang pasukan Allah SWT dan dia termasuk orang yang sabar”.Di lain tempat ia menegaskan : “apabila motivasi religius teguh menghadapi dorongan hawa nafsu sehingga dapat mengalahkannya, maka telah dicapai maqam sabar”

Dari penjelasan di atas terlihat orisinalitas ajaran Imam al-Ghazali mengenai hakikat sabar. Baginya sabar adalah mengendalikan diri dengan cara mengatakan motivasi religius sewaktu muncul godaan yang lahir dari motivasi hawa nafsu.

B. Keutamaan / Fadhilah Sabar

Sabar merupakan akhlak utama yang diajarkan agama Islam. Hal ini dapat dipahami dari banyaknya ayat al-Qur’an dan hadits Nabi yang membicarakannya, baik dalam bentuk perintah, larangan maupun contoh orang-orang sukses karena sikap sabar yang mereka miliki. Bila dibandingkan dengan akhlak Islami lainnya, sabar paling banyak dibicarakan untuk mempraktekkan sikap sabar.

Sikap sabar dibutuhkan dalam segala tempat, waktu dan aktivitas hidup. Tidak ada suatu pun perjuangan, baik yang berorientasi pada kesejahteraan duniawi maupun berorientasi pada kebahagiaan ukhrawi yang tidak membutuhkan kesabaran. Orang yang tidak sabar dalam mewujudkan keinginannya, maka segala usaha yang dilakukan tidak akan membawa hasil yang maksimal. Bahkan kegagalan dalam perjuangan tersebut diasebabkan ketidak sabaran.

Akan tetapi, untuk mempraktekkan sikap ini bukanlah hal yang mudah. Orang yang sabar mesti berjuang keras untuk menundukkan dorongan dan keinginan hawa nafsunya, terutama nafsu emosi dan nafsu syahwat. Oleh sebab itu, pembicaraan ayat al-Qur’an dan hadits Nabi mengenai akhlak sabar, disamping berbentuk perintah, larangan dan contoh tokoh yang sukses, adalah juga menjelaskan keutamaan-keutamaan yang akan diperoleh orang yang sabar. Keutamaan akhlak sabar antara lain adalah;

1. Sabar Merupakan Nama dan Akhlak Allah SWT

Allah SWT memiliki 99 nama yang baik (al-Asma’ al-Husna). Nama-nama ini sekaligus merupakan sifat yang menggambarkan kesempurnaan sifat Allah SWT yang berkaitan dengan kesabaran, yaitu : al-Shabur (Maha Sabar) dan al-Halim (Maha Lembut).

Imam Ibn Manzhur yang wafat pada tahun 711.H menjelaskan, al-Halim sebagai atribut: Allah SWT memiliki pengertian yang sama dengan al-Shabur. Arti yang terkandung dalam al-Halim adalah bahwa Allah SWT tidak murka terhadap pelanggaran orang durhaka, dan dalam al-Shabur bahwa Allah SWT tidak mempercepat hukuman kepada mereka. Perbedaan antara keduanya, orang durhaka mencemaskan hukuman (siksa) dari perbuatan maksiatnya pada al-Shabur, tidak dalam al-Halim
Manusia (al-insaan) diperintahkan berakhlak sesuai akhlak Allah SWT sebagai al-Shabur dan al-Halim. Menurut Imam al-Ghazali , pentingnya seseorang berprilaku seperti nama-nama Allah SWT dapat menghantarkan kepada kesempurnaan (al-kamal) dan kebahagiaan (al-Sa’adah). Allah SWT Maha Adil memberikan aspirasi dan sugesti agar bersikap adil;, Maha Pengasih (al-Rahman) dan Maha Penyayang (al-Rahim) memberi sugesti agar bersikap kasih saying, Maha Sabar (al-Shabur) memberi motivasi agar bersikap sabar, Allah SWT Maha Lembut (al-Halim) memberi contoh untuk penyantun atau lemah lembut dan seterusnya. Imam al-Ghazali berkata: “Kesempurnaan dan kebahagiaan hamba sangat berkaitan dengan tata cara berakhlak (al-takhalluq) dengan akhlak Allah SWT , serta menghiasi diri dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya.

2. Sabar Merupakan Sifat Nabi dan Rasul.

Para nabi dan rasul merupakan orang yang paling berat mendapatkan ujian berdasarkan sebuah hadits yang artinya: Orang yang paling keras mendapatkan ujian adalah para nabi, kemudian para ulama kemudian semisal mereka (tsuma al-amstal), kemudian semisal mereka (fa al-amtsal) Hadits Riwayat Bukhari)

Ujian yang mereka terima dalam bentuk berbeda-beda. Ada yang berbentuk penyakit atau kehilangan keluarga sebagaimana menimpa Ayyub as, ujian untuk taat seperti terjadi pada Ibrahim As, ujian kesedihan seperti dialami Ya’qub As sewaktu berpisah dengan putra kesayangannya Yusuf As dan Benyamin, ujian mengendalikan nafsu syahwat seperti dialami Yusuf As sewaktu digoda oleh Zulaikha, atau berbentuk siksaan dan penganiayaan seperti yang terjadi pada nabi Muhammad Saw.

Mereka semua berhasil menghadapi berbagai ujian tersebut. Al-Qur’an menyatakan bahwa senjata yang mereka gunakan, terutama para rasul yang mempunyai keteguhan hati (ula al-‘azam) yakni Nuh As, Ibrahim As, Musa As, Isa As dan Muhammad Saw adalah sabar.Allah SWT berfirman yang artinya :

Dan sesungguhnya telah didustakan pula rasul-rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar, terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka, sampai datang pertolongan Kami kepada mereka. (al-Qur’an Surat al-An’am ayat 34)

Dalam al-Qur’an surat al-Ahqaq ayat 35 yang artinya :

Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka.

Demikianlah pula halnya orang-orang beriman. Mereka akan senantiasa mendapat berbagai bentuk ujian berupa kesulitan-kesulitan sebagaimana para nabi dan rasul tersebut. Imam al-Ghazali menjelaskan, oerang yang lebih dekat kepada Allah SWT , menginginkan kebaikan, dan konsentarsi untuk menuju akhirat akan mendapatkan ujian lebih berat dan lebih sering , sebab Allah SWT senantiasa menguji hamba yang dicintai. Pandangan ini sesuai dengan firman-Nya:

Apakah manusia (al-insaan) itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan “kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi ? (al-Qur’an Surat al-Ankabut ayat 2).

Karena itu, disinilah letak keutamaan sabar, sebab dasar dari ibadah adalah bersabar, dalam arti sanggup menanggung penderitaan dan kesulitan dalam beribadah tersebut.

3. Orang Sabar Dicintai Allah SWT .

Adanya sikap sabar menjadikan seseorang dicintai Allah SWT , sebab orang yang sabar akan patuh melaksanakan kewajiban (al-Shabr fi Allah) dan konsisten meninggalkan semua larangan Allah SWT dan larangan Rasul-Nya (al-sabr li Allah). Ketaatan untuk menjalankan perintah dan meninggalkan larangan merupakan pekerjaan yang sangat berat sehingga orang yang mampu mengatasinya berhak untuk meraih kecintaan Allah SWT.

Sedangkan orang yang tidak sabar akan mendapatkan kemurkaan. Sebabnya karena mereka tidak mampu melaksanakan kewajiban melaksanakan ibadah dan kewajiban meninggalkan kemaksiatan. Oleh sebab itu, menurut Imam al-Ghazali, kaum murtad yang diganti dalam firman Allah SWT :

Hai oprang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya. (al-Qur’an Surat al-Maidah ayat 54).

Adalah akibat mereka berpikir rendah, tidak mencerminkan kecintaan kepada Allah SWT , lebih mencintai keburukan nafsu dan berpaling dari petunjuk-Nya. Muhammad Imam al-Ghazali menerangkan:

“Awal murtadan adalah rasa berat melaksanakan kewajiban dan senang dengan maksiat, selanjutnya hati cenderung memusuhi orang yang berada di jalan benar. Apakah nafsu dan kebatilan telah menjajah jiwa, maka seseorang menjadi ingkar terhadap Islam”.Artinya, orang yang tidak sabar menghadapi beratnya ibadah, tunduk kepada nafsu yang mengajak berbuat dosa maka akan menjadi jauh dari limpahan cinta Allah SWT.
Kecintaan terhadap Allah SWT dengan cara bersabar menjalankan beratnya ibadah dan beratnya meninggalkan larangan, akan menyebabkan lahirnya kecintaan Allah SWT sebagaimana dinyatakan dalam ayat suci al-Qur’an yang artinya :

Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (al-Qur’an Surat Ali Imran ayat 31).

Orang beriman yang melakukan perbuatan maksiat, menurut Imam al-Ghazali bukan karena mereka tidak mencintai Allah SWT . Tetapi akibat keberadaan mereka dalam tirani hawa nafsu. Sedangkan ketaatan, adalah realisasi kecintaan seorang hamba kepada Tuhan yang dicintai.

4. Sabar Mendatangkan Kesuksesan.

Terdapat banyak ayat al-Qur’an yang menyatakan bahwa Allah SWT akan membantu orang yang sabar, misalnya dalam ayat al-Quran yang artinya :

Ya (Cukup), jika kamu bersabar dan bertaqwa dan mereka dating menyerang kamu dengan sesewaktu itu juga, niscaya Allah menolong kamu dengan lima ribu Malaikat yang memakai tanda. (al-Qur’an Surat Ali Imran ayat 125)

Ayat di atas menginsyaratankan, apabila orang yang berada di medan perang bersabar, maka Allah SWT akan menurunkan bantuan sehingga mereka dapat meraih kemenangan. Ini sejalan dengan hadits nabi Saw:

“sesungguhnya kemenangan (al-nasr) akan diraih apabila disertai kesabaran”.

Kesabaran sangat dibutuhkan dalam perjuangan. Seseorang yang berada dalam pencarian, akan cepat berhasil apabila disertai kesabaran. Sabar membuat seseorang memiliki mental yang kuat sehingga mampu mengatasi kesulitan-kesulitan. Dalam konteks perjalanan seoprang sufi menuju Tuhan, maka seorang salik tidak dapat meraih derajat kedekatan tersebut tanpa dilandasi sifat sabar.

Banyak ayat menyatakan bahwa Allah SWT bersama orang yang sabar, misalnya al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 249 dan al-Qur’an Surat Al-Anfal ayat 46. Ibn al-Qayyim menerangkan, arti kebersamaan Tuhan dengan hamba-Nya yang sabar adalah kebersamaan bersifat khusus yang berarti : menjaga (al-hifzh), memenagkan (an-nashr) dan menguatkan (al-ta’yid), bukan kebersamaan yang bersifat umum yaitu: mengetahui (al-‘ilm) dan meliputi (al-ihathah). Keterangan ini menunjukkan bahwa Allah SWT mengetahui dan pengetahuan-Nya meliputi semua makhluk. Namun keistimewaan orang yang sabar dibandingkan orang yang tidak sabar adalah bahwa Allah SWT melindungi dan membantu perjuangan mereka.

5. Sabar Membawa Kebaikan

Terdapat banyak ayat al-Qur’an menyatakan bahwa sabar merupakan perbuatan baik dan orang sabar akan mendapat ganjaran lebih baik. Misalnya ayat-ayat al-Qur’an sebagai berikut yang artinya:

Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (al-Qur’an Surat Al-Nahl ayat 96.

Dan ayat al-Qur’an surat Al-Zumar ayat 10 yang artinya :

Katakanlah: Hai Hamba-hamba-Ku yang beriman, bertaqwalah kepada Tuhanmu”. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.

Dalam al-Qur’an Surat al-Qashash ayat 54 dinyatakan yang artinya sebagai berikut :

Mereka itu diberi pahala dua kali disebabkan kesabaran mereka, dan mereka menolak kejahatan dengan kebaikan, dan sebagian dari apa yang telah Kami rezkikan kepada mereka, mereka nafkahkan.

Ayat-ayat di atas menunjukkan bahwa sabar adalah perbuatan baik. Semua pekerjaan, baik berorientasi pada kesejahteraan hidup duniawi atau kebahagian ukhrawi, akan menjadi lebih baik hasilnya jika disertai kesabaran. Orang yang sabar akan mendapatkan pahala tanpa batas, di luar dugaan dan hitungan manusia (al-insaan) .

Selain beberapa keutamaan di atas, masih banyak keutamaan yang akan didapati orang yang sabar, antara lain :

1. Allah SWT menyampaikan berita gembira kepada orang yang sabar dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 155, yang artinya : Dan sungguh Kami akan mencoba kamu dengan sesuatu dari ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan, dan sampaikanlah berita gembira kepada orang yang sabar.

2. Orang sabar akan mendapatkan keberuntungan baik di dunia maupun di akhirat al-Qur’an Surat al-Qashash ayat 70, Dan Dialah Allah, tiada Tuhan melainkan Dia. Bagi-Nya segala pujian di dunia dan di akhirat. Dan bagi-Nyalah hokum dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan

3. Orang sabar akan mendapatkan keberuntungan baik di dunia maupun di akhirat al-Qur’an Surat Fusshilat ayat 35, yang artinya : Dan tiadalah ia dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar, dan tidalah ia dianugrahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar

4. Orang sabar akan mendapatkan keberuntungan baik di dunia maupun di akhirat al-Qur’an Surat al-Thallaq ayat 3, yang artinya : dan Dia akan memberikan rezeki kepadanya dengan tiada terkira. Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Dia mencukupkannya.Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan-Nya. Sungguh Allah menjadikan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.


5. Orang sabar akan mendapatkan keberuntungan baik di dunia maupun di akhirat al-Qur’an Surat Hud ayat 49, yang artinya : Demikianlah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) di antara berita-berita gaib yang sebelumnya engkau dan kaummu tidak mengetahui. Maka bersabarlah, sesungguhnya kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertaqwa.

6. Orang sabar akan mendapatkan keberuntungan baik di dunia maupun di akhirat al-Qur’an Surat al-A’raf ayat 137, yang artinya : Dan Kami pusakakan kepada kaum yang lemah (ditindas) itu bagian timur bumi dan bagian baratnya yang telah Kami berkati di dalamnya. Dan telah sempurnalah perkataan Tuhanmu yang terbaik untuk Bani Israil disebabkan kesabaran mereka. Dan kami hancurkan apa yang telah diperbuat Fir’aun dan kaumnya dan apa yang telah mereka bangun.

7. Orang sabar selalu menjadi pemimpin al-Qur’an Surat al-Sajadah ayat 24, yang artinya : Dan Kami jadikan di anatara mereka iman-iman yang memberikan petunjuk dengan perintah Kami tatkala mereka sabar, dan adalah mereka yakin kepada ayat-ayat Kami.

8. Orang sabar mendapat kedudukan tinggi dalam surga al-Qur’an Surat al-Furqan ayat 75, yang artinya : Mereka itulah yang akan dibalas dengan derajat yang tinggi dengan sebab kesabaran mereka, dan mereka disambut di dalamnya dengan penghormatan dan keselamatan

9. Orang sabar mendapatkan karamah,al-Qur’an Surat Al-Ra’ad ayat 24, yang artinya : (dengan ucapan)”Keselamatan atas kamu dengan kesabaran kamu, maka inilah sebaik-baik tempat kesudahan”.

10. Hanya orang sabar yang mengambil pelajaran dari ayat-ayat Tuhan al-Qur’an Surat Ibrahim ayat 5, yang artinya : Dan sungguh Kami telah mengutus Musa dengan ayat-ayat Kami, “Keluarkankanlah kaummu dari gelap kepada terang dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah SWT . Sesungguhnya pada yang demikian itu sebagai tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap orang penyabar lagi bersyukur.
11. Hanya orang sabar yang mengambil pelajaran dari ayat-ayat Tuhan Saba’ ayat 19, yang artinya : Maka mereka berkata, “Ya Tuhan kami, jauhkanlah jarak perjalanan kami.” Dan mereka menganiaya diri mereka sendiri, lalu Kami jadikan mereka buah pembicaraan dan Kami hancurkan mereka sehancur-hancurnya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi tiap-tiap orang yang sabar lagi bersyukur.
12. Hanya orang sabar yang mengambil pelajaran dari ayat-ayat Tuhan Al-Syura ayat 32-33). Yang artinya : Dan diantara tanda-tanda (kekua- saan)-Nya, perahu-perahu (yang berlayar) di laut seperti gunung-gunung . 33. Jika Allah menghendaki, Dia akan menenangkan angin, maka jadilah (perahu-perahu itu) tetap di atas permukaannya. Sesungguhnya pada yang demikian itu menjadi tanda-tanda (kekuasaan Allah ) bagi setiao orang yang banyak bersabar lagi banyak bersyukur.

13. Sabar juga disandingkan dengan prinsip-prinsip Islam dan iman, seperti, taqwa, tawakal, syukur, amal shaleh dan rahmat.

Sekilas Pandangan M.Abduh tokoh pembaharu Islam tentang Filsafat Pendidikan Islam

Pandangan Filsafat Pendidikan Islam
Menurut Muhammad Abduh

Pandangan dari sudut Kurikulum
Dalam pemikiran Ahmad Tafsir sarjana muslim dalam tulisannya menyatakan bahwa “al-Qur’an dan hadits bukanlah sains, buku filsafat, atau buku mistik Al-Qur’an berisi pokok-pokok ajaran. Oleh karena itu, Anda akan sia-sia mencari teori kurikulum dalam al-Qur'an atau hadits".

Selanjutnya Ahmad Tafsir berpendapat bahwa sampai hari ini ahli pendidikan Islam belum menulis teori kurikulum secara rinci dan sistematik sebagaimana yang dilakukan oleh penulis-penulis di negeri Barat. Walaupun demikian bukan berarti tidak didapatkan para ahli pendidikan Islam yang mempunyai wawasan tentang apa itu kurikulum. Hal itu bisa dilihat ketika mereka menyusun program-program pendidikan Islam untuk sekolah, dan madrasahnya, kita telah menemukan susunan mata pelajaran dan kegiatan yang menggambarkan wawasan mereka tentang kurikulum. Selanjutnya, Muhammad Abduh sebagai salah satu tokoh utama dan mempunyai pandangan yang luas tentang agama Islam akan kita lihat pemikirannya tentang apa itu kurikulum. Secara tradisional bahwa kurikulum diartikan sebagai sebuah mata pelajaran yang diajarkan di sekolah. Adapun menurut pandangan para pakar modern, kurikulum adalah semua pengalaman belajar.

Dalam pembahasan ini, kurikulum yang dimaksud adalah mata pelajaran yang diajarkan di sekolah (kurikulum secara tradisional). Pembahasan dalam bab ini, akan dipusatkan pemikiran tentang prinsip-prinsip kurikulum, kurikulum sekolah dasar, sekolah menengah, dan tingkat atas.

1. Kewajiban Menuntut Ilmu
Allah SWT sangat luas ilmu-Nya dan tidak mungkin manusia untuk dapat mencapainya semuanya. Allah menantang kepada manusia dengan firman-Nya :

“Kalau sekiranya pohon-pohon di dunia ini dijadikan penanya dan lautan dijadikan tintanya, tidaklah mungkin dapat tertulis semua kalimat Allah”

Dalam masalah ini, Muhammad Abduh berkomentar, "ilmu itu banyak dan luas sedangkan umur manusia itu pendek, maka tidak mungkin bagi seseorang untuk menguasainya". Jika dilihat kaidah dalam usul fiqih menggatakan

"Ma la yudraku kulluhu la yutraku kulluhu” Artinya: Apa yang tidak bisa diketahui semuanya, maka jangan ia tinggalkan semuanya.

Karena tidak mungkin bagi manusia untuk menguasai ilmu Allah semuanya, maka Muhammad Abduh membagi ilmu kepada ilmu yang wajib ‘ain [personal manusia] dan wajib kifayah [cukup sebagian saja]. Ilmu yang wajib ‘ain adalah ilmu yang harus dimiliki setiap individu dari umat, baik pria maupun wanita seperti ilmu tentang akidah yang benar, akhlak yang baik, pensucian jiwa [tasauf], cara beribadah dan pengetahuan haram dan halal [jumlah dari ilmu yang wajib ‘ain adalah tidak banyak jumlahnya]. Adapun ilmu yang wajib kifayah yang lebih banyak jumlahnya dari ilmu yang wajib ‘ain adalah ilmu yang dituntut sebagaian umat manusia untuk kemaslahatan dan kesejahteraan umat bersama. Jika tidak ada yang menuntut ilmu itu sebagian perwakilan dari umat, maka manusia akan diazab oleh Allah. Dosa sosial bisa diampuni oleh Allah.

Ilmu yang wajib kifayah [fardhu kifayah], khususnya ilmu-ilmu duniawiyah selalu berkembang sesuai dengan perkembangan zaman seperti ilmu bumi [geografi], dimana pada masa Daulat Umayyah dan Abbasiyah mereka menikmati kekayaan alam untuk berpoyah-poyah tanpa berfaedah ilmu falak pada masa Muhammad Abduh hidup berkembang dan sangat dibutuhkan.

Gambaran bagaimana perlunya ilmu-ilmu fardhu kifayah menurut Muhammad Abduh dapat dilihat dari komentarnya yang dikutip oleh seorng yang hali dalam bidang pendidikan Islam Muhammad Imarah. Bahwa Muhammad Abduh mengatakan,”Ilmu yang harus dihidupkan adalah ilmu empiris (al-malhuzh] bukan ilmu normatif (al-mahfuzh]. Selanjutnya Muhammad Imarah menambahkan bahwa yang dimaksud adalah menghidupkan ilmu-ilmu empiris di samping ilmu-ilmu agama.

Dari penjelasannya tersebut di atas, dapat dipahami bahwa pada masa hidup Muhammad Abduh ilmu-ilmu Islam telah berkembang, bahkan secara implisit dianggap sudah mencapai puncak kesempurnaan. Yang demikian itu dapat dilihat dari sikap umat Islam terhadap taklid. Adapun ilmu-ilmu empiris yang berkembang di Barat masa itu, kurang mendapat tempat di mata masyarakat Islam, barangkali itulah sebabnya Muhammad Abduh berpendapat bahwa ilmu yang penting untuk dikembangkan ilmu-ilmu malhuzh. Para Pembaharu dan reformis dalam Islam selain Muhammad Abduh yang memberi gambaran dan apresiasi terhadap peradaban yang datang dari Barat, di antaranya Syekh Muhammad Ali Pasya di Mesir, Syekh Mustafa Kemal Atatur di Turki, dan Syekh Sayyed Amir Ali di India. Di antara tiga tokoh reformis dalam Islam tersebut, pemikiran Syekh Sayyed Amir Ali-lah yang mendekati pada pemikiran Muhammad Abduh. Sedangkan pemikiran Syekh Muhammad Ali Pasya dan Syekh Mustafa Kemal Atatur masih terkesan bersifat sekuler. [pendangkalan terhadap agama]

Lebih lanjut Muhammad Abduh berpendapat bahwa semua ilmu harus dapat menjadikan manusia berbahagia dan sejahtera. Oleh karena itu, menurutnya kurikulum harus berhubungan erat dengan keadaan hidup manusia, sehingga ilmu –ilmu tersebut dapat diaplikatifkan dalam kehidupan yang berkembang. Ilmu yang dibutuhkan untuk mendapatkan kebahagiaan itu ialah ilmu yang bisa mengenal diri anda, siapa anda,dan bersama siapa. Menurut Syekh Rasyid Ridha, kalimat tersebut sangat tinggi maknanya dan hanya bisa dipahami oleh orang yang pintar. Syekh Rasyid Ridha menafsirkan kalimat Muhammad Abduh tentang ilmu yang dibutuhkan sebagai berikut:

Ilmu Usuluddin, Ilmu Akhlak yang dibantu oleh filsafat akal dan psikologi, Ilmu fiqih,tentang haram, halal, dan ibadah yang kemudian disebut orang Turki ilmu hal. Sosiologi dan Antropologi, Geografi, Ilmu Ekonomi, Ilmu tadbir al-manzil [tehnik sipil, design, interior, dan semuanya yang berhubungan dengan rumah]. Sejarah manusia, agama, negara, umum dan sebagainya. ilmu berhitung, ilmu kesehatan, bahasa nasional, dan kaligrafi.

Kata Muhammad Abduh bahwa sesungguhnya kurikulum yang baik di sekolah Islam adalah berkaitan dengan ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu modern. Kedua katagori ilmu tersebut hendaknya berhasil dalam pembinaan akhlak.

Sesungguhnya kata Muhammad Abduh bahwa kemajuan ilmu dimulai dari Timur baru ke Barat, kemudian saat ini kita harus mengambil kembali ilmu-ilmu yang hilang dari kita, apalagi ilmu-ilmu tersebut dikuasai oleh orang-orang di Barat.

Dari penjelasnnya tersebut di atas, dapat dipahami bahwa pada masa Muhammad Abduh ilmu-ilmu modern itu berkembang di negeri Barat yang pada awalnya berasal dari negeri Timur, maka ilmu yang hilang itu harus dicari kembali dari negeri Barat.

Mari kita lihat secara rinci pemikiran Muhammad Abduh tentang kurikulum dalam pengertian mata pelajaran yang diajarkan di sekolah formal dari sekolah dasar sampai sekolah tingkat tinggi dapat dijelaskan sebagai berikut:

2. Kurikulum Menurut Muhammad Abduh

Kurikulum Sekolah Dasar
Bahwa kurikulum pada sekolah Dasar meliputi: Membaca, menulis, berhitung, prinsip-prinsip bahasa Arab atau kaidah-kaidah bahasa Arab, pelajaran agama, pelajaran Akhlak

Muhammad Imarah dalam pemikirannya menambahkan bahwa pelajaran agama di sekolah dasar menurut Muhammad Abduh meliputi :

Akidah, bahwa buku yang dipelajari pada sekolah dasar adalah buku ringkasan akidah lslam ahli sunnah dengan tidak mengajarkan, perbedaan pendapat disertai dengan dalil-dalil yang mudah diterima oleh akal. Pelajaran agma Islam harus menunjukkan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits shahih. Pada periode ini tidak boleh mengajarkan perbandingan agama seperti perbandingan agama Islam dengan Kristen .

Fiqh dan Akhlak, buku yang dipelajari di sekolah dasar juga berhubungan dengan halal dan haram dari perbuatan sehari-hari, akhlak mahmudah [yang baik] dan akhlak mazmumah [buruk], dan bahaya bid'ah. Semua itu diterangkan dengan menyertakan ayat-ayat al-Qur'an, hadits shahih, dan memberikan contoh-¬contoh orang-orang yang jujur dari umat terdahulu. Doktrin yang harus dilakukan oleh seorng guru pada tingkatan ini adalah segala perbuatan yang tidak bersandar dari Allah dan Rasulullah Saw tidak boleh diterima.

Sejarah. buku yang dipelajari ialah sirah al-nabawiyah dan shahabatnya yang berhubungan dengan akhlak mulia, perbuatan agung, pesan-pesan agama yang berhubungan dengan pengorbanan jiwa dan harta. Selain itu, juga boleh ditambah dengan sejarah khilafat Utsmaniyah. Semua itu, hendaknya diajarkan dengan ringkas dan mudah diterima akal.

Kurikulum Sekolah Menengah
Kurikulum yang diajarkan pada Sekolah Menengah, semua yang ada dalam Sekolah Dasar, hanya saja materi-materi lebih diperdalam dan diperluas lagi. Adapun ciri-ciri yang lain pada kurikulum di sekolah menengah sebagai berikut

Mantiq atau ilmu logika dan dasar-dasar penalaran,

Akidah, Pada tingkat ini materi yang dikemukakan dengan pembuktian akal dan dalil-dalil yang, pasti. Pada tingkat ini juga, belum diajarkan perbedaan pendapat atau pembagian firqah-firqah dalam Islam. Pada tingkat ini sudah diajarkan fungsi akidah dalam kehidupan,

Fikih dan akhlak. Pada tingkat ini pelajaran fikih dan akhlak hanya pengembangan yang diberikan pada tingkat dasar. Pelajaran ditekankan pada aspek sebab, kegunaan, dan menghormati orang tua, apa pengaruhnya terhadap kehidupan keluarga, dan sebagainya. Landasan pelajaran-pelajaran itu harus bersumber pada dalil-dalil yang shahih dan praktek ajaran Islam al-salaf al-shalih.

Sejarah Islam [tarikh al-Islam]. Materi pelajaran di sini adalah pengembangan dari materi sejarah Islam pada tingkat dasar. Pada tingkat ini, sejarah Islam dapat dilihat dari perspektif agama dan aspek politik, harus berada dibelakang aspek agama.

Selanjutnya Muhammad Imarah berpendapat bahwa kurikulum sekolah menengah menurut Muhammad Abduh mencakup seluruh kurikulum sekolah dasar dan pada pengembangannya. Adapun materi kurikulum yang baru pada tingkatan ini ialah sebagai berikut:

Pengantar ilmu, termasuk di dalamnya ilmu mantik dan dasar-dasar penelitian,dan aturan berdiskusi

Akidah yang mencakup usul fiqih, dan sebagian kecil tentang perbedaan pendapat dalam madzhab Islam yang lebih dikenal firqah Islam. Selain itu, materi akidah ini juga mencakup manfaat akidah Islam dalam kehidupan yang maju untuk mencapai kebahagian hidup ukhrawi.

Tentang hukum Islam yang menyangkut tentang hukum halal, haram dan akhlak. Di sini dijelaskan manfaat dan bahaya dari hukum halal dan haram yang lebih luas dari kurikulum di sekolah dasar. Selain itu, juga dijelaskan akhlak pada tingkat ini lebih diperluas dari kurikulum akhlak di sekolah dasar, sehingga anak didik dapat mengetahui bahwa akhlak pada tingkat ini juga harus didukung oleh ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits yang shahih,

Tarikh Islam [Sejarah Islam] yang terdiri dari uraian rinci tentang sirah al-nabawiyah dan shahabatnya, futuhat al-Islamiyah, khilafat Utsmaniyah. Jika menguraikan sejarah dari aspek politik, maka hendaknya tidak keluar dari tujuan agama. Dalam tingkatan ini juga diterangkan sejarah pemerintahan atau khilafat Islam di seluruh dunia. Pengajaran sejarah pada tingkatan ini, untuk membangkitkan semangat Islam dalam mencontohkan yang baik dalam sejarah itu, sehingga Islam akan lebih maju lagi.

Kurikulum Sekolah Tingkat Atas.
Pelajaran agama Islam pada tingkatan ini dijelaskan oleh Muhammad Abduh [al-‘urufa al-ummah] mencakup mata pelajaran : Tafsir, hadits, bahasa arab dengan segala cabangnya, akhlak dengan pembahasan yang terinci sebagai yang diuraikan oleh Imam al-Ghazali dalam bukunya yang termasyhur ihya ‘Ulum ad-Din. Ushul Fiqih, Sejarah yang termasuk di dalamnya sejarah nabi Muhammad Saw. dan shahabat-shahabatnya yang diuraikan secara rinci. Sejarah peralihan kekuasaan Islam, sejarah kerajaan Ustmaniyah, dan sejarah jatuhnya kerajaan-kerajaan Islam ke tangan lain dengan menerangkan penyebabnya, retorika [tehnik berpidato], dasar-dasar berdiskusi, dan ilmu kalam.

Pada tingkat ini, ilmu kalam diberikan dengan menerangkan aliran-aliran yang terdapat dalam ilmu kalam [Teologi Islam], dengan menjelaskan dalil-dalil yang menopang pendapat setiap aliran. Pada tingkat ini, pelajaran ilmu kalam tidak bertujuan untuk memperteguh akidah, tetapi untuk memperluas cakrawala pemikiran siswa

Muhammad Imarah berpendapat bahwa kurikulum perguruan tinggi menurut Muhammad Abduh sebagai berikut:

Tafsir al-Qur'an. Yang paling penting dalam pelajaran ini adalah membaca dan memahami al-Qur'an yang diturunkan oleh Allah SWT dengan sejumlah hikmahnya,
Bahasa Arab dan tata bahasanya,
Hadits, khususnya yang dikutip para mufassir dalam menafsirkan al-Qur'an,
Akhlak dengan penjelasan yang rinci seperti yang dilakukan oleh Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulum al-Din dan mencocokkannya dengan akidah Islam,
Usul Fiqh,
Sejarah yang lama dan yang baru, Logika dan khirhabah,29
logika dan khithabah, .
Ilmu kalam dan penelitan agama.

Kalau dilihat dari kurikulum yang dikemukakan Muhammad Abduh pada tiga tingkatan di atas, secara umum menggambarkan kurikulum pendidikan agama Islam. Adapun ilmu-ilmu Barat tidak dimasukkan oleh Muhammad Abduh ke dalam kurikulum. karena menurutnya ilmu-ilmu umum itu dipelajari bersama-sama dengan ilmu-ilmu yang telah dijelaskan di atas. Dalam kata lain, ilmu-ilmu umum hendaknya terintegrasi ke dalam ilmu-ilmu agama. Selanjutnya Muhammad Abduh tidak merinci karena menurutnya setiap sekolah memiliki kecenderungan-kecenderungan atau penekanan- penekanan yang berbeda antara satu materi pelajaran dengan materi pelajarn yang lainnya.

Pada tingkatan yang terakhir ini harus dibimbing atau diajar oleh guru-guru yang professional dan berakhlak mahmudah. Mahasiswa yang kuliah juga tidak diberikan tanda tamat belajar [ijazah] sembarangan kecuali setelah mereka mengikuti ujian yang mendalam dan mengikuti komprehensif dan dinyatakan lulus.

3. Metode Pendidikan Islam
Yang dimaksud dengan metode pendidikan Islam disini adalah semua cara yang digunakan dalam upaya mendidik anak. Oleh karena itu, metode yang dimaksud di sini mencakup juga metode pengajaran. Sesungguhnya, membicarakan metode pengajaran terkandung juga dalam pembahasan materi pelajaran sebab dalam materi pelajaran secara tidak langsung juga membicarakan metode pengajaran.

Prof.Dr.Ramayulis dalam metodologi pengajaran agama Islam menyebutkan bahwa tidak ada satu metode yang dijamin baik untuk setiap tujuan pengajaran dalam setiap situasi. Setiap metode memiliki kelebihan dan kekurangan. Untuk itu, semua metode pendidikan atau pengajaran menurut Muhammad Abduh yang akan diuraikan di bawah ini tidak menolak dan menafikan adanya metode-metode yang lainnya. Metode metode yang akan diuraikan, dipilih atas pertimbangan literatur yang ditemukan.

Da1am pembahasan ini, akan diuraikan metode menghapal, metode diskusi, metode tanya jawab, metode darmawisata, metode demonstrasi, metode latihan, metode tauladan, cara belajar siswa aktif [CBSA], dan langkah-langkah pengajaran.


Metode Menghafal
Dalam bidang metode pengajaran Muhammad Abduh menggunakan metode menghafal yang telah dipraktekkan di sekolah sekolah saat itu memakai metode menghapal. Karena metode menghapal ini pulalah Muhammad Abduh frustasi dan membenci belajar saat ia belajar di mesjid Ahmadi Thanta. Muhammad Abduh mengkritik metode menghapal bukan berarti membenci metode tersebut, ia tidak setuju dengan metode ini kalau berhenti sampai di situ. Selanjutnya ia mengatakan ;

"Saya kata Muhammad Abduh, telah mengalami pengajaran seperti ini, belajar setahun setengah tanpa memahami sesuatu dari al-Kafrawi dan Ajrumiyah. Metode pengajaran ilmu nahwu tanpa memahami istilah-istilahnya telah membuatku (Muharnmad Abduh) tidak memahami sesuatu, akhirnya saya benci belajar dan putus asa, tetapi Allah ternyata menghendaki lain, bapak saya memaksaku untuk kembali belajar dan ditengah jalan saya menyimpang [pergi ke Kanisah Urin] ”

Hendaknya metode menghafal ini hendknya diteruskan pada pemahaman, sehingga dimengerti apa yang dipelajari. Menurut Arbiyah Lubis, dalam tulisan-tulisan Muhammad Abduh, ia tidak menjelaskan metode apa yang sebaiknya diterapkan, tetapi dari pengalamannya mengajar di Universitas al-Azhar, Mesir nampaknya ia menerapkan metode diskusi.

Metode Diskusi
Dari pengalaman belajar Muhammad Abduh dan kritikannya terhadap metode menghapal, dapat diketahui bahwa ia mementingkan pemahaman, hal itu didukung oleh fakta metode yang ia praktekkan dan ia sukai metode diskusi.

Sewaktu Muhammad Abduh menafsirkan sebuah QS.al-Nisa ayat tiga puluh lima, dalam keterangannya tentang ;

وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
"Wa bi walidain ihsaanan”

Disebutkan bahwa metode orang tua dalam mendidik anak di Mesir membuat anak sebagai manusia passif, sehingga mereka (para Orang tua) mendidik anak-anak dengan cara diktator. Kebanyakan orang tua mencetak anak-anak sesuai dengan kehendak mereka. Anak ¬anak dijadikan berpengetahuan atau berilmu sesuai dengan pengetahuan orang tua, anak-anak marah sesuai dengan marahnya orang tua. Anak-anak berbuat sesuai dengan keinginan orang tua, selanjutnya Muhammad Abduh berpikir dan kemudian bertanya ;

“Apakah dengan metode pendidikan seperti ini akan menghasilkan umat yang kuat dan adil sehingga mereka bebas dalam berbuat baik dalam bidang politik maupun dalam hukum ?”

Rumah adalah lembaga yang menciptakan pendidikan kediktatoran yang buruk dan mencetak kader-kader pemimpin yang zhalim dan yang hina.Para orang tua yang mendidik anak secara diktator sesungguhnya mereka yang gila akan kehinaan mereka anggap suatu kenikmatan dan keselamatan. Selanjutnya, Muhammad Abduh mengatakan,

“Wahai ulama agama dan adab, hendaknya kalian menerangkan kepada umat baik di sekolah-sekolah atau majlis-majlis apa kewajiban orang tua terhadap anak dan apa kewajiban anak terhadap orang tua, dan kewajiban umat terhadap dua kelompok itu. Hendaklah kalian tidak lupa kaidah atau teori kemerdekaan dan kebebasan. Dua kaidah itu adalah landasan dasar berdirinya bangunan Islam. Para sosiolog bagian utara yang berkuasa pada zaman ini (Roma) mengakui bahwa peradaban mereka maju karena mereka berlandaskan dua dasar di atas [kebebasan berpikir dan berbuat].

Pada penjelasan tersebut di atas, Muhammad Abduh berpendapat bahwa metode pendidikan dan pengajaran hendaknya memperhatikan kemampuan bakat dan minat anak didik. Dalam kata lain, metode pengajaran yang memberikan kebebasan berpikir dan berkreasi dalam pendidikan dan pengajaran adalah metode diskusi. Metode diskusi inilah yang banyak dipraktekkan oleh Muhammad Abduh dalam mengajar di Universitas al-Azhar Mesir. Menghapal dalam proses belajar tidak mungkin di dinafikan karena ia sangat esensial.Terbukti umat Islam banyak yang hapal al-Qur'an termasuk Muhammad Abduh, Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa Muhammad Abduh tidak mengharamkan metode menghapal, tetapi dapat diketahui dari pengalaman dan kritiknya terhadap metode menghapal, sepertinya ia berpendapat bahwa metode menghapal tanpa pemahaman tidak baik (untuk tidak mengatakan buruk).

Metode Tanya Jawab
Manusia berhak membuka jalan bagi penuntut ilmu untuk meneliti dalam berbagai ilmu pengetahuan.Contohnya; ia menerangkan kaidah atau sebuah teori, kemudian ia mencari kecocokannya dalam berbagai aspek pekerjaan. Dalam hal ini metode pengajaran, hendaknya guru mengjarkan kepada anak didik cara untuk mengetahui kesalahan dan cara kembali kepada yang benar. Cara yang demikianlah yang dipraktekkan oleh Muhammad Abduh ketika belajar sehingga ia menjadi seorang seorang ahli. Adapun untuk memperdalam suatu ilmu sangat tergantung pada usaha seorang anak didik setelah seseorang lulus dari suatu lembaga pendidikan, maka ia akan mengamalkan apa-apa yang ia peroleh ketika sekolah. Kemudian untuk memperdalam pengetahuannya itu, hendaknya ia belajar lebih lanjut.

Muhammad Qodri Luthfi mengatakan bahwa Muhammad Abduh dalam mengajar menggunakan metode hiwar (tanya-jawab) dan munaqasah [diskusi] tidak hanya ceramah Memang dua metode tanya jawab dan diskusi bisa berdampingan bahkan pada setiap diskusi ada metode tanya jawab, tetapi mutlak dalam metode tanya jawab ada metode diskusi.

Metode Darmawisata.
Muhammad Abduh dalam pemikirannya sering membuat terobosan dalam pendidikan dan pengajaran. Dalam hal metode darmawisata misalnya menyebutkan bahwa rihlah adalah rukun dalam pendidikan. Ketika ingin mengajarkan kapada anak didik materi "pesawat" hendaknya mereka dibawa langsung ke bandara. Ketika ingin mengajarkan "kapal" hendaknya anak didik dibawa ke pelabuhan. Mereka sulit memahami sesuatu yang abstrak,

Kalau dilihat contoh metode darmawisata tersebut di atas, dapat dipahami bahwa salah satu fungsi metode ini untuk dapat dipahami bahwa salah satu fungsi metode ini untuk dapat memahami materi kepada anak didik. Selain itu, metode darmawisata salah satu indikasi bahwa belajar tidak hanya di kelas. Metode pengajaran seperti disebutkan di atas sangat lebih tepat digunakan pada sekolah dasar dimana kemampuan berpikir abstrak anak didik belum matang.

Metode Demontrasi
Dalam menyampaikan materi Ilmu-ilmu praktis (fi'liyah) hendaknya tidak hanya diajarkan dengan menyampaikan ilmunya dengan cara berceramah, kemudian anak didik disuruh untuk menghafalnya ilmu-ilmu fi'liyah harus diajarkan dengan cara menyertakan prakteknya, seperti mengajarkan tata cara shalat lima waktu dengan mendemontrasikannya baik di depan kelas maupun di mesjid.

Lebih lanjut Muhammad Abduh mengatakan ; Hendaknya guru mengadakan praktek mengajar di sekolah tidak hanya sebentar, tetapi dalam waktu yang cukup lama, sehingga para calon guru tersebut telah siap ilmu dan mentalnya untuk mengajar di saat mereka telah menjadi sarjana.

Metode Latihan
Untuk mengintegrasikan antara pendidikan akal dan jiwa, guru di sekolah harus menyuruh anak didik untuk melakukan shalat lima waktu. Bagi sekolah yang memiliki anak didik beragama non Islam seperti Kristen, maka guru hendaknya tidak menyuruh mereka untuk melaksanakan shalat, namun meskipun anak didik yang non Islam tidak melaksanakan shalat, tetapi nilai-nilai spiritual tersebut tidak boleh hilang dari mereka.

Dari penjelasan tentang pembiasaan ibadah tersebut di atas, dapat dipahami bahwa Muhammad Abduh sangat demokratis dan menghormati kebebasan beragama. Tetapi nilai-nilai akal [intelektual] dan jiwa [spiritual] bersifat universal, sehingga berlaku pada seluruh negara, suku, bangsa, agama, dan sebagainya.

Metode Teladan
Pendidik harus dapat mendidik anak didik untuk memiliki sifat kasih sayang terhadap sesama manusia. Dalam mengajarkan pesan kasih sayang itu, guru dapat memberi tauladan kepada anak didik. Tauladan yang baik jauh lebih berpengaruh kepada jiwa anak didik dari pada sekedar teori. Selain aspek tauladan, guru juga harus memperhatikan dan memilih gaya bahasa yang serasi untuk menyampaikan pesan sifat kasih sayang itu. Gaya bahasa yang digunakan guru juga harus memperhatikan aspek efektivitas dan efesiensi.

Dari penjelasan tersebut di atas, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa pengajaran yang bertujuan untuk membina akhlak, hendaknya guru menggunakan bahasa yang baik mudah dipahami, jelas, dan tegas, disampaikan dengan uslub atau tata cara yang baik.

Cara Belajar Siswa Aktif
Muhammad Abduh mengajar materi Risalah al-Tauhid, al-Bashair, Asrair al-Balaghah, dan Dalail al-I’jaz. Ia mengajar buku-buku tersebut dengan keterangan yang singkat dan padat. Anak didiknya sangat sedikit yang bertanya. Sedikit yang bertanya maksudnya bukan sedikit yang paham materi pelajaran yang diterangkan oleh Muhammad Abduh, tetapi keterangan Muhammad Abduh yang singkat dan padat itu sudah membuat anak didiknya paham. Jika ada yang bertanya karena kesulitan dalam memahami, maka ia menjawab dengan jawaban yang singkat dan padat juga.

Dari uraian Muhammad Abduh tentang metode pengajaran tersebut di atas, dapat dipahami bahwa guru dalam mengajar tidak perlu menerangkan panjang lebar kalau intinya hanya sedikit, tetapi lebih baik singkat padat dan mengenai sasaran (qalla wa dalla). Hal ini juga menjadi indikasi bahwa Muhammad Abduh dalam mengajar menginginkan anak didik lebih aktif dan kreatif, sehingga guru hanya membantu dan mengantarkan anak didik pada pemahaman materi. Dalam kata lain, guru berfungsi sebagai pembimbing dan fasilitator. Dalam konteks kekinian, konsep metode pengajaran yang dimaksud oleh Muhammmad Abduh di antaranya sesuai dengan metode diskusi, tanya jawab, dan cara belajar siswa aktif .

Pembiasaan berpikir sesuai dengan hukum akal. Muhammad Abduh berpendapat bahwa tidak wajib bepikir kecuali untuk sesuatu yang benar. Jika seseorang menemukan jalan berpikirnya benar, maka ia boleh mengikutinya dan jika ia menemukan jalan berpikirnya salah, maka ia harus meninggalkannya .

Langkah-Langkah Mengajar
Adapun alat pemblajaran yang paling efesien melalui pengajaran tafsir al-Qur'an harus disebutkan judul atau temanya dan dikemukakan hubungannya dengan pembaruan umat. Dalam pembaharuan masyarakat Muhammad Abduh berusaha menghubungkan Islam dengan peradaban modern dan ilmu pengetahuan. Selain itu ia juga berusaha menghindari kesalahan dalam memahami teks-teks agama karena ia berpendapat bahwa akidah yang bersih dari bid'ah akan melahirkan perbuatan yang baik.Dalam pengajaran Muhammad Abduh juga sangat memperhatikan urusan agama dan dunia serta akhlak yang mulia.
.
Muhammad Abduh mengajar dengan menempuh tiga langkah, yaitu: mengutarakan materi (matan), menerangkan [al-syarh], menyebutkan hasyiyah-hasyiyah-nya . Terkadang Muhammad Abduh menambahkan langkah terakhir dengan keputusan atau penentuan sikap. Kalau dilihat dari langkah-langkah yang ditempuh Muhammad Abduh ini, maka dapat disimpulkan bahwa langkah-¬langkah pengajaran tersebut pada materi yang mangandung perbedaan pendapat seperti materi pelajaran ilmu kalam dan fiqh. Muhammad Abduh berusaha agar anak didiknya tidak membaca hasyiyah suatu buku.

Dan keterangan suatu buku untuk menghindar suatu taklid ia tidak mengajarkan sampai akhir masa pembaharuan di Universitas al-Azhar Mesir selain matan [materi].Meninggalkan hasyiyah dan keterangan buku serta mengajarkan matan nya yang dilakukan Muhammad Abduh berhubungan dengan ayat al-Qur'an dan hadits sebab para ulama sebenarnya berbeda pendapat dalam memahami nas-nas tersebut. Muhammad Abduh juga mengarang Ta’liqat dari buku al-Bashair al-Nashiriyah dalam ilmu mantiq, tetapi ia tidak mewajibkan anak didiknya untuk membacanya. Muhammad Abduh mengarang Ta’liqat tersebut untuk mempermudah mahasiswa Universitas Al-Azhar Mesir dalam memahami pendapatnya tentang ilmu mantiq.

Muhammad Abduh ketika mengajar meletakkan buku catatan materi di depannya, kemudian ia menulis judul materi pelajaran yang akan diajarkan dengan singkat dan jelas. Selain itu, ia juga menulis beberapa pertanyaan yang akan dijawab setiap tatap muka. Muhammad Abduh tidak lupa menulis tujuan pembelajaran setiap tatap muka dengan ungkapan yang variatif. Menurut Rasyid Ridha langkah-langkah pengajaran atau kegiatan pengajaran seperti yang dilakukan oleh Muhammad Abduh sangat berbeda dengan yang dilakukan gurunya Jamaluddin al-Afghani. Jamaluddin al-Afghani pertama kali meminta anak didiknya bertanya, kemudian masalah itu diidentifikasi dan selanjutnya ia menerangkannya dengan merujuk suatu buku untuk memahamkan anak didik.

Hendaknya seorang guru kata Muhammad Abduh dapat mengetahui dan mempertimbangkan apakah anak didiknya mampu memahami materi pelajaran dengan memakai metode tertentu dan apakah anak didik telah siap secara psikologis menerimanya (materi - pelajaran). Guru ketika ingin mengajar harus memposisikannya sebagai anak didik, kemudian naik sedikit demi sedikit sampai pada derajat setinggi mungkin. Ini adalah keterampilan untuk mengetahui tingkat kemampuan otak dan cara menggunakannya. Keterampilan khusus ini harus dipelajari calon guru selama enam belas tahun dan jika inti-intinya saja, maka cuknp ditempuh selama delapan tahun.

Ada beberahal yang harus diperhatikan dalam memahami pemikiran Muhammad Abduh tentang metode pendidikan dan pengajaran. Ia berpendapat bahwa metode penyampaian ilmu kepada manusia tidak selalu sama. Metode dapat berubah sesuai dengan perubahan tempat dan zaman.

Contoh yang dikemukakan Muhammad Abduh adalah teknologi pos dalam mengirim uang. Mestinya amanah penitipan uang mesti disampaikan langsung kepada orang yang bersangkutan, tetapi dengan adanya teknologi pos ini, maka caranya pun mengalami perubahan .

4. Pendidik
Pada pembahasan pendidik ini, termasuk pada katagori guru, dan dosen yang dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah mu'allim, mudarris dan ustadz. Adapun dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah teacher dan lecturer.

Jika dilihat dari sebagian tugas pendidik, maka dalam Islam dapat dirujuk kepada al-Qur’an. Setidaknya, di dalam al-Qur’an ada empat nama yang dapat dikatagorikan guru, yaitu : Allah

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ {1} خَلَقَ الإِنسَانَ مِنْ عَلَقٍ {2} اقْرَأْ وَرَبُّكَ اْلأَكْرَمُ {3} الَّذِي عَلَّمَ ابِالْقَلَمِ {4} عَلَّمَ اْلإِنسَانَ مَالَمْ يَعْلَمْ {5}

Bacalah dengan [menyebut] nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Mulia, Yang mengajar [manusia] dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. [al-Alaq ayat 1-5]

Nabi Muhammad sebagai pendidik.

} رَبَّنَا وَابْعَثْ فِيهِمْ رَسُولاً مِّنْهُمْ يَتْلُوا عَلَيْهِمْ ءَايَاتِكَ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُزَكِّيهِمْ إِنَّكَ أَنتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ {}

Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab [al-Qur’an] dan al-Hikmah [as-Sunnah] serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana [al-Baqarah ayat 129]

Orang tua sebagai pendidik.

} وَإِذْقَالَ لُقْمَانُ لابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَابُنَيَّ لاَتُشْرِكْ بِاللهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ {13} وَوَصَّيْنَا اْلإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَىَّ الْمَصِيرُ

Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, yaitu: Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur [kepada Allah], maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”

Dan [ingatlah] ketika Lukman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan [Allah] sesungguhnya mempersekutukan [Allah] adalah benar-benar kedzaliman yang besar”.

Dan Kami perintahkan kepada manusia [berbuat baik] kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepadaKulah kembali. [QS.Luqman ayat 12-14].

Allah dan Nabi Muhammad Saw. sebagai guru tentunya sangat ideal dan tidak mungkin dapat dicontoh secara sempurna, tetapi orang tua dan orang lain adalah sebagai manusia biasa sebagaimana terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an tentu dapat dicapai secara sempurna. Selanjutnya, bagaimana pendapat Muhammad Abduh tentang, pendidik, akan diuraikan berikut ini:

Tugas Guru .
Pendidikan adalah tugas guru yang pertama dan pengajaran adalah tugas keduanya. Muhammad Abduh mengatakan; "Tujuan utama mendirikan sekolah adalah untuk pengajaran. Pengajaran yang dimaksud oleh Muhammad Abduh tentu pendidikan sekolah formal yang sangat berbeda dengan pendidikan non formal. Pendidikan Sekolah tentu memiliki keteraturan, sedangkan pendidikan non sekolah tentu tentu tidak ada keteraturan formalnya, seperti tidak ada kurikulum yang sama antara satu pendidikan rumah dengan rumah yang lain, tidak seragamnya tujuan pendidikan rumah tangga, tidak sama waktu belajarnya, dan sebagainya. Oleh karena itu, pengajaran menurut Muhammad Abduh identik dengan keteraturan belajar. Dengan kata lain, pendidikan tidak selamanya melalui, pengajaran tetapi pengajaran adalah salah satu bentuk pendidikan. Jadi antara pendidikan dan pengajaran terdapat perbedaan. Menurut Muhammad Abduh, hendaknya dalam pengajaran di sekolah-sekolah selalu diperhatikan pendidikan akal [intelektual] dan jiwa [spiritual] , sehingga anak didik menemukan kebahagiaan yang sempurna selama ia hidup.

Sebenarnya tugas seorang guru tidak sekedar mengajarkan ilmu pengetahuan kepada anak didik, karena tugas utamanya adalah mendidik dan mengajar dalam pengertian yang terbatas. Mengajar adalah sebagian dari perbuatan mendidik. Dalam pengertian yang baru, mengajar merupakan upaya dan proses membuat anak didik mau belajar (Causing Children to learn) [learning how to learn]. Dari sekolah diharapkan anak didik dapat meningkatkan kecerdasannya, terbentuk akhlak dan kepribadiannya, mendapatkan keterampilan dalam bekerja, meningkatkan kemampuan estetikanya, dan berkemampuan secara layak untuk hidup di tengah-tengah masyarakatnya.

Dari penjelasan tentang tugas pendidik yang tersebut di atas, dapat dipahami bahwa tugas tersebut disebut tugas profesi. Uzer Utsman mengungkapakan bahwa tugas profesi guru meliputi mendidik, mengajar, dan melatih.

Menurut Mahammad Abduh, di Mesir pada dasarnya substansi pendidikan telah hilang karena para pendidik tidak berkepentingan pada anak didik yang diajarinya karena itu sulit mencapai tujuan. J.E. Aderson mengatakan bahwa perbuatan mendidik adalah keseluruhan aktivitas yang terjadi dan terdapat pada individu anak didik dan ketiga lingkungan pendidikannya, lingkungan dimana ia hidup masyarakat dan nilai-nilai moral yang meliputinya, proses pendidikan berlangsung terus menerus guru bertugas membantu dan membimbing serta mengarahkan agar dapat mempermudah pencapaian tujuan.

Suatu kritikan tajam dari Muhammad Abduh tentang guru-guru Mesir pada masanya mereka tidak perduli keadaan muridnya, hubungan antara guru dan murid terbatas hanya di kelas, moral guru kurang mulia. Bahkan lebih ekstrimnya lagi guru tidak boleh berhubungan dengan murid. Guru-guru dalam mengajar saat itu tidak menjelaskan tujuan instruksionalnya tidak ada buku pegangan mereka.

Sikap afektif merupakan komplementasi bagi ranah kognitif.Ia harus berdisiplin yang benar karena guru bukan saja fungsional yang digaji dan yang mempunyai tanggung jawab tertentu yang justru membatasi kewajiban-kewajiban sehingga membuat terciptannya jarak antara guru, murid, dan masyarakat

Dan penjelasn tentang kritik Muhammad Abduh terhadap guru yang tersebut di atas, dapat dipahami bahwa guru hanya berfungsi sebagai pengajar yang menciptakan jarak dari anak didiknya. Dalam kondisi seperti di atas, biasanya anak didik sangat hormat dan takut kepada gurunya. Hubungan seperti ini terkesan birokratis antara atasan dan bawahan. Di sini secara implisit Muhanimad Abduh menginginkan guru bersahabat dengan anak didiknya. Guru yang menjadi orang tua kedua bagi anak didik. Dengan demikian, tujuan pendidikan lebih mudah berhasil.Dalam kata lain, Muhammad Abduh berpendapat bahwa guru memiliki tugas kemanusiaan.

Kompetensi Guru
Mempertegas pendapatnya mengenai pengajar yang menurutnya tidak layak mengajar karena umumnya para pengajar masa itu disebut “Fuqaha” tidaklah mengerti sama sekali hal-hal lain kecuali hapal al-Qur'an secara verbal tanpa mengetahui artinya.

Dari penjelasan tentang kompetensi guru yang tersebut di atas, Muhammad Abduh menghendaki guru yang professional, tahu akan ilmu pendidikan, ilmu psikologi, dan sebagainya. Hanya saja ia tidak merincikan kompetensi seorang guru, tetapi setidaknya kritikannya itu dapat dilihat dari potret dirinya sebagai seorang guru sebagaimana digambarkan oleh C.C.Adams.

Mengenai guru yang baik pakar pendidikan C.C Adams menggambarkan bahwa Muhammad Abduh merupakan seorang guru yang bijaksana, mengetahui keadaan objektif muridnya, baik fisik, mental, dan pengetahuan, sehingga dapat mengkomunikasikan segala sesuatunya selama proses pengajaran secara benar. Dalam hal ini, Muhammad Abduh berkata;

“Seharusnya guru memilik pengetahuan atau pertimbangan yang memadai tentang muridnya, sehingga ia dapat menilai pemikiran dan kesiapan muridnya untuk menerima apa yang dikatakannya.

Selanjutnya C.C.Adams bahwa Muhammad Abduh sangat menguasai masalah-masalah Ahli sunnah secara mendalam baik literature primer dan sekunder yang selalu dirujuk dalam pengajarannya. Guru yang professional menurutnya, setidaknya memiliki kompetensi berikut ini; Prilaku yang baik , pengetahuan luas , menguasai materi.

Dari penjelasan tentang kompetensi yang penulis sebutkan di atas, Muhammad Abduh berpendapat bahwa guru yang professional harus memiliki kompetensi berprilaku yang baik, berwawasan dan berpengetahuan yang luas, dan menguasai materi. Ketiga katagori kompetensi tersebut masih dikenal dalam ilmu pendidikan sekarang ini. Prilaku yang baik sebagai kompetensi guru disebut oleh Muhammad Uzer Utsman dengan kompetensi professional .

Sifat Seorang Pendidik .
Pendidikan menurut Muhanumad Abduh hendaknya berusaha menghasilkan manusia yang berakhlak mahmudah. Oleh karena itu, pendidikan harus menghasilkan insan-insan berakhlak mahmudah. Karena di antara hasil yang akan dicapai dalam pendidikan pembinan akhlak mulia,maka sudah pasti guru sebagai tenaga pendidik juga harus berakhlak mahmudah.

Muhammad Abduh tidak merinci secara detail apa itu akhlak mulia, tetapi ia mengungkapkannya secara umum dan global. Sebagaimana dikutip Muhammad Imarah, akhlak mahmudah menurut Muhammad Abduh di antaranya mengikuti perilaku para nabi seperti nabi Ibrahim As, nabi Musa As, nabi lsa As, dan nabi Muhammad Saw. Selain perilaku nabi yang harus diikuti oleh guru, juga dapat mencontoh perilaku para syuhada, .shiddiqin , dan quddusin . Karena para nabi, syuhada, shiddiqin, dan quddusin adalah suri tauladan bagi semua manusia dan termasuk guru, maka harus juga meneladani cara berpikir, kebijaksanaan, dan sumber yang mereka pakai.

Selanjutnya, Muhammad Abduh berpendapat bahwa seorang guru harus memiliki pengetahuan tentang akhlak dan berakhlak mahmudah [yang baik]. Selain itu guru juga harus memiliki akidah yang baik dan pemikiran yang benar. Lebih lanjut, ia berpendapat bahwa guru harus perwira ('iffah],berani, dan energik, sehingga ia dapat melaksanakan semua tugasnya.

Dalam rangka mengajarkan akhlak mulia, menurutnya seorang guru harus menjadi tauladan bagi anak didiknya, sehingga kesempurnaan sikapnya menjadi pelajaran tambahan bagi mereka (anak didik). Prilaku yang baik dari seorang guru akan lebih berkesan dan berpengaruh bagi anak didik dari pada ilmu yang ia sampaikan.

Sisi lain yang diperhatikan Pendidik dalam Proses Belajar Mengajar
Muhammad Qodri Luthfi menulis pedoman umum dalam mengajar materi palajaran, antara lain.

Dalam mengajarkan ilmu agama, guru tidak boleh merujuk pada satu tafsir saja, tetapi ia harus mengambil ayat-ayat al-Qur'an untuk menghindari taklid terhadap suatu madzhab.

Hendaknya guru kata Muhammad Abduh berusaha menselaraskan Islam dengan peradaban modern dan Islam dengan ilmu.

Hendaknya juga guru mengajar dengan keterangan yang jelas dengan menyebutkan judul atau temanya.

Dalam pengajaran ilmu balaghah [tata bahasa Arab], hendaknya guru melatih dzauq [kecerdasan] dan meningkatkan uslub yang tinggi yang telah dinafikan oleh para filosof .

Dalam pengajaran insya‘ [dikte menulis arab] hendaknya diucapkan dengan baik dan fasih.

Dalam pengajaran berbagai ilmu, hendaknya (guru dikaitkan dengan prinsip-prinsip ilmu yang sesuai dengan tradisi dalam suatu Negara.

Dalam pengajaran ilmu berhitung, hendaknya guru mengaitkan rumus¬-rumusnya dengan perdagangan dengan cara menghitung jumlah yang dibeli dibelanjakan seseorang dan cara menghitung pendapatan negara, dan termasuk di dalamnya latihan menimbang.

Dalam pengajaran geometri, hendaknya guru mengaitkanmya dengan bentuk-¬bentuk yang berlaku dalam suatu negara.

Dalam pengajaran tata bahasa Arab, hendaknya guru menganjurkan untuk digunakan dalam tulis menulis.

Dalam pengajaran tentang pertanian dan industri, hendaknya guru memberi kesempatan untuk praktek lapangan setiap minggu.

Menurut Muhammad Imarah, bahwa Muhammad Abduh menganut madzhab pendidikan demokratis. Ia berpendapat pendidikan harus memperhatikan perkembangan dan periode anak, sehingga bisa menyesuaikan, tujuan, kurikulum, dan metode pengajaran yang layak digunakan oleh guru .

Panduan Khusus Pendidik Islam
Telah dikatakan oleh Muhammad Abduh bahwa agama tidak satu tetapi bermacam-macam dan demikian juga madzhab-madzhab dalam agama masing-masing. Oleh sebab itu, hendaknya satu agama dengan agama yang lain saling menghormati akidah masing-masing dan tidak menghina akidah orang lain.

Dari keterngan singkat tentang pelajaran agama terdahulu, dapat dipahami dalam konteks pendidikan guru menurut Muhammad Abduh harus memberikan materi-materi pelajaran agama yang dapat memperkuat akidah anak didik. Guru tidak boleh memberi keterangan yang berupaya untuk mendiskriditkan agama yang lain. Dalam hal ini Muhammad Abduh dapat disebut penganut madzhab pluralisme dalam ajaran agama.

Sebagai panduan operasional dalam pelajaran agama, hendaknya guru menerapkan nilai-nilai berikut:

Menghindari buruk sangka (su'u al-zhan) terhadap agama lain. Guru berusaha mempersatukan semua agama, tetapi bukan mempersatukan akidahnya.
Membangkitkan rasa kemanusiaan. Hendaknya ditanamakan oleh guru kepada semua anak didik bahwa semua manusia bersaudara bersumber dari satu bapak dan satu ibu, maka hendaknya yang satu memberi manfaat bagi yang lainnya. Oleh sebab itu semua manusia harus saling mencintai.

Dari keterangan yang panjang lebar tentang sifat guru di atas, secara umum itu mengandung akhlak mahmudah. Sifat-sifat para nabi, khususnya nabi Muhammad Saw dikenal dengan empat sifat [sidiq,amanah, tabligh, fatanah]. Empat sifat nabi Muhammada Saw itu dapat mewakili akhlak mahmudah.

Untuk sekedar pegangan operatif, demikian kata Prof.Dr.H. Nurcholis Madjid, nilai-nilai akhlak yang patut dipertimbangkan untuk ditanamkan kepada anak didik, antara lain: :Silaturrahmi (Shilatu al-rahim], persaudaraan [al-ukhuwah], persamaan[al-musawwah], adil [ al-‘adl], berbaik sangka [husnu al-zhan], rendah hati [tawadhu’], menepati janji [al-wafa’], lapang dada [al-insyirah], dapat dipercaya [al-amanah], menjaga diri dari syahwah [‘iffah atau ta’affuf], menolong meluruskan [qawamiyah], dermawan [al-munfiqun].




6. Anak Didik
Anak didik dalam pembahasan ini termasuk juga katagori murid, siswa, pelajar, dan mahasiswa yang dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah tilmidz, muta’allim, dan thalib. Adapun dalam bahasa Inggris dikenal istilah student .

Dalam pembahasan anak didik ini, akan dijelaskan, faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan anak didik, tugas anak didik, f'ungsi motivasi bagi anak didik, perpustakaan dan anak didik, dan sistem drop out dan anak didik.

a. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Anak Didik.

Dalam pembahasan pasal ini lebih dahulu kita ketahui bagaimana pendapat Muhammad Abduh tentang fitrah manusia dalam kaitannya dengan perkembangan anak didik. Menurut Muhammad Abduh sebagaimana dikutip oleh Muhammad Imarah, pada umumnya pendidikan sekolah pada masa Kerajaan Utsmani tidak membuahkan hasil apa-apa, dan para lulusan sekolah-sekolah dasar itu tidak memperhatikan terjadinya proses perkembangan fitrah mereka. Terbukti bahwa perilaku mereka tidak mencerminkan kesucian fitrah mereka.

Kritikan Muhammad Abduh di atas tentang pelaksanaan pendidikan di Kerajaan Ustmani tersebut lebih lanjut dapat dipahami dari pendapatnya bahwa setiap individu memiliki potensi fitri yang baik, namun individu tersebut kemudian dapat berubah-rubah corak dan bentuknya sejalan dengan pendidikan yang ditempuh atau dialaminya. Lebih tegas, ia mengatakan bahwa manusia tidak jadi apa-apa kecuali dengan pendidikan dengan memahami ajaran yang dibawa oleh Rasul, baik dan aspek hukum, hikmah, dan lain-lain .

Dari keterangan tentang fitrah manusia tersebut di atas, dapat dipahami bahwa menurut Muhammad Abduh, manusia dalam hal ini anak didik dilahirkan dengan memliki potensi-potensi. Dalam kata lain, manusia lahir ke dunia ini tidak seperti kertas kosong sebagaimana dalam teori tabularasa. Di antara potensi-potensi lahiriyah (bawaan) manusia, khususnya potensi aqliyahnya tidak berkembang begitu saja tanpa ada proses pendidikan. Artinya, potensi aqliyah, tidak berfungsi sempurna tanpa adanya proses pendidikan. Oleh sebab itu, pendidikan adalah sarana untuk mengembangkan potensi aqliyah manusia itu. Pada tahap ini, Muhammad Abduh dekat pada aliran konvergensi daripada aliran nativesme dan empirisme.

Lebih lanjut, dalam membicarakan fitrah manusia, Muhammad Abduh pernah mengutip hadits nabi pada pidato resepsi di al-Jami'ah al-Khariyah "kullu mauludin yuladu ala al-fitrah, faabawahu yuhawwidanihi au yunashshiranihi au yumajjisanihi” kata “yuladu ‘ala al-fitrah” adalah menunjukkan pada potensi bawaan manusia, sedangkan tiga fi’il mudhari itu [yuhawidanihi, yunashshiranihi, dan yumajjisanihi,] mengidentifikasikan suatu proses perkembangan anak didik melalui pendidikan. Potensi bawaan [fitrah] ada yang bersifat aqliyah dan ada yang bersifat nafsiyah.

Fitrah nafsiyah atau ilahiyah manusia sesungguhnya adalah sama, tetapi fitrah aqliyah mereka dapat berbeda. Fitrah aqliyah manusia, erat hubungannya dengan kualitas gizi anak selama dalam kandungan dan selanjutnya disempurnakan dalam masa penyusuan selama dua tahun. Setelah dua tahun kata Andi Hakim Nasution, perkembangan otak akan lebih berkesan dan berpengaruh bagi anak didik dari pada ilmu yang ia sampaikan sebagai alat kecerdasan tidak berarti lagi. Akan tetapi kecerdasan bayi itu akan bertambah melalui kegiatan fisiknya yang berinteraksi dengan lingkungan.

Dalam hadits yang menjelaskan tentang fitrah manusia tersebut diatas, dapat dipahami bahwa manusia lahir membawa fitrah. Fitrah lahiriyah berupa potensi aqliyah dan nafsiyah. Kedua fitrah manusia itu berkembang dengan melalui proses pendidikan. Dengan demikian, Muhammad Abduh mengakui pembawaan lahir dan mementingkan proses pendidikan. Jadi jelaslah bahwa Muhammad Abduh sangat dekat dengan aliran konvergensi. Dalam kata lain, proses perkembangan aqliyah dan nafsiyah manusia setelah dua tahun banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan [empiris]

b.Tugas Anak Didik
Tugas sebagai anak didik tentunya bermacam-macam. Ada tugasnya terhadap dirinya, terhadap orang tuanya, terhadap teman-temannya, terhadap gurunya, terhadap pendidikan, dan sebagainya. Tugas anak didik terhadap pendidikan menurut Muhammacl Abduh adalah belajar bersungguh-sungguh. Pendapatnya ini didukung oleh data bahwa ketika ia mengajar di Universitas al-Azhar, mewajibkan mahasiswa bersungguh-sungguh dalam belajar, tidak boleh memiliki kesibukan selainnya.Ia juga mewajibkan mahasiswa untuk mengikuti ujian umum tahunan setelah mereka mengikuti ujian sesuai dengan tingkatan, kepintaran, dan kapasitas keilmuan mereka secara lisan.

Dari uraian tersebut di atas tentang kewajiban belajar dan ujian, dapat dipahami bahwa Muhammad Abduh menerapkan disiplin belajar yang baik. Kemudian sistem ujian umum tahunan yang dimaksud berbentuk tes tulis setelah dilakukan tes lisan untuk melihat kemampuan mahasiswa yang variatif. Konsep disiplin belajar yang diterapkan oleh Muhammad Abduh masih relevan sampai sekarang. Sistem boarding school dan beberapa pesantren di Indonesia juga masih menerapkan system ini. Adapun sistem ujian lisan dan tulis inipun masih banyak diterapkan di sekolah-sekolah di Indonesia.

Dengan demikian, di antara tugas anak didik terhadap pendidikan adalah bersungguh-sungguh belajar.Pendapat Muhammad Abduh ini sifat dengan sifat anak didik yang ditemukakan al-Abrasyi. la berpendapat bahwa diantara sifat anak didik adalah bersungguh-sungguh dan tekun belajar, bahkan untuk mendapat suatu kemuliaan (ilmu) seseorang perlu melakukan sahiru al-lail artinya tidak tidur pada malam hari dengan tujuan lainnya tidak dimasukkan dalam konteks ini.

c.Fungsi Motivasi Bagi Anak Didik
Pada fitrahnya, manusia ingin mulia dan dimuliakan. Salah satu bentuk pemuliaan di sekolah adalah pemberian beasiswa, baik beasiswa prestasi ataupun beasiswa tidak mampu. Dalam hal ini, Muhammad Abduh dalam pembaharuannya di Universitas al-Azhar memberikan beasiswa bagi para mahasiswa berprestasi sebagai motivasi untuk lebih bersemangat lagi dalam belajar. Beasiswa yang diberikan kepada mahasiswa termasuk leaving cost.

Sistem pendidikan yang memberikan beasiswa adalah salah satu bentuk memotivasi anak didik yang masih relevan sampai sekarang.Beasiswa sebagai reword sangat berguna untuk membangkitkan semangat belajar yang berimplikasi pada kompetisi anak didik, karena padu dasarnya manusia ingin lebih mulia dari yang lainnya. Konsep ini jugalah yang tersirat dalam ayat fastabiqul al-khairat. ¬Muhammad Abduh tidak saja memperhatikan kesejahteraan mahasiswa, ia juga memperlihatkan kesejahteraan guru-guru dengan memberikan perumahan khusus untuk mereka bagi mereka juga disediakan kantor-kantor khusus untuk bekerja.

d.Perpustakaan dan Anak Didik
Belajar untuk memperoleh ilmu tentu tidak cukup hanya didapatkan dari guru. Demi memperluas wawasan, anak didik harus senang membaca. Senang membaca, salah satunya dapat dipengaruhi oleh lingkungan. Fasilitas perpustakaan adalah salah satu wadah untuk menciptakan cinta membaca. Dalam kaitannya dengan perpustakaan, Muhammad Abduh dalam pembaharuannya di Universitas Al-Azhar sangat apresiatif terhadap pengembangan, perpustakaan yang menginventarisir buku-buku. Sebagian perpustakaan itu ditempatkan di mesjid-mesjid yang dekat.

Oleh sebab itu, Muhammad Abduh menyediakan anggaran [budget] khusus untuk menambah buku-buku di perpustakaan, sehingga perpustakaan Universitas al-¬Azhar mengoleksi buku-huku dari berbagai ilmu pengetahuan.

Dari penjelasan tersebut di atas tentang perpustakaan, dapat dipahami bahwa lembaga pendidikan tidak bisa terlepas dari perpustakaan, apalagi perguruan tinggi. Di antara fungsi perpustakaan bagi anak didik, yaitu: alat memotivasi untuk cinta membaca, fasilitas untuk memperdalam ilmu, dan membantu anak didik yang tidak mampu membeli buku.

e. Sistem Drop Out dan Anak Didik
Dalam rangka menciptakan kesungguhan belajar anak didik, maka perlu dibuat aturan-aturan, salah satunya adalah sistem droup out. Berkenaan dengan drop out, Muhammad Abduh juga menerapkan sistem ini di Universitas al-Azhar. Paling lama seseorang kuliah di Universitas al-Azhar lima belas tahun. Delapan tahun pertama, mahasiswa bisa mendapatkan ijazah lokal dan empat tahun berikutnya bisa mendapatkan ijazah sarjana.

Dari penjelsan tersebut di atas tentang lama masa kuliah dan sistem drop out, maka menurut penulis dapat disimpulkan bahwa untuk mendapatkan gelar sarjana minimal membutuhkan waktu dua belas tahun. Jika ditarik dalam konteks sistem pendidikan tinggi saat ini, maka masa dua belas tahun bisa sampai pada tingkat doktoral. Sistem drop out ini diberlakukan oleh Muhammad Abduh di Universitas al-Azhar Mesir.

Jika dibandingkan dengan masa studinya dalam menempuh gelar 'Alim di lembaga pendidikan ini, maka Muhammad Abduh dapat dikatagorikan mahasiswa yang sungguh dalam belajar, karena ia dapat menyelesaikan studinya selama sebelas tahun. Sistem drop out, masih sangat diperlukan dan relevan, khususnya bagi masyarakat yang tidak memiliki budaya yang baik, dalam hal ini budaya rajin dan bersungguh-sungguh dalam belajar.

Revealing The Characteristics of Classical Islamic Education Concept

INTRODUCTION


I. BACKGROUND

In Islam, the discussion of education has provided the perfect method of education to mankind necessity, and to do of it, we will begin to talk about system, method, and curriculum. In addition, we need to understand the various terms of these Islamic fundamental methods. Education system is often understood as a pattern of the education process in formal institutions, agencies, and organizations with the transfer of knowledge, the cultural heritage of humanity and history that affect the growth of social, spiritual, and intellectual.

It’s mean that the education system can not be separated from the outside of the systems, such as the political system, rules of procedure system, financial system, and judicial system. Therefore, if we want to understand the Islamic education system for example, it’s required the information that provides social and political construction and the thought from Islamic religious leaders at the specific time-period.

This paper attempts to understand the education system based on Islamic thought and historical construction of the Islamic leaders in particular time. Thus, we will see a substantial and functional relationship between the Islamic education systems with the situation that occurred in a certain period.

2. PURPOSE

The purpose of this manuscript is to find the differences and similarities between the Islamic Educations in the Muhammad prophet’s period, khulafa al-Rasyidin period and The Dynasty of Bani Umayyah and Bani Abasiyyah period. Will reveals the factors that cause the differences among those three periods and also the benefit that we can learn from the concept of Islamic Education in the future.

3. METHODOLOGY

The methodology which’s used is the literature study. The sources that we are used in this writing are as follows: The Islamic Education in House and Public Schools by Abdurrahman Nahlawi; The Islamic Education Facing The 21st Century by Hasan Langgulung; History of Islamic Education by Mahmud Yunus; The Islamic Theology: The Proselyte, Comparison Analysis of History by Harun Nasution. For further details information can be seen at list of literature bellow.

The analysis based on the arguments which has the pattern of the Classical Islamic Education, the methodical steps is done with good deductive method, inductive method. These methods are used primarily in comparatives to construe the section regarding with the essence and the existence of classical Islamic education. To get the validity level of data is used tri-angulasi theory, which is one issue is submitted to a number of informants until gets the saturation point.

DISCUSSION

First of all, we want to explain about the education (tarbiyah) it self by its terminology or literally. If we are referring to the Arabic dictionary, we will find three root-words for Tarbiyah. First, the raba-yurabbu which is means "growing" and "developing". This analogy are following as God's word that means; "And Riba (additional of the wealth) that you provide so that the human wealth is increased, it does not add lap on God’s point of view" (Ar-Rum verse 39).

Second, rabiya-yarba which is compared with the khafiya-yakhfa, the meaning is "growing" and "developing". The phrase is used on Ibn al-'Arabi’s poetry following: "Whoever asks me about myself, indeed my place in Mecca, and in that place I was growing up" (Ibn al-'Arabi’s poetry).

Third, rabba-yurabbu which is compared with the madda-yamuddu, means "repairing", “taking interest”, "setting", “maintaining”, and “paying attention”. The similar expression above of this meaning, we can find in the words of Hasan bin Tasbit who has explained by Ibn Manzhur : "Truly exquisite, when you come up in the garden’s palace on the day of the appearances of the shiny white pearl is cleared by mixing ocean water." According to Ibn Manzhur, The pearl is pearl which is kept inside the shell. He also said that tarabbaba ha'air meaning “kept by ocean water." Based on the analogy, he further said that warabbabtu al-'amra, 'arabbahu rabban warababan means "fix it" and "strengthen it".

Some of the researcher takes the meaning tarbiyah from three of the root-words. In a commentary (tafsir) titled Anwar at-Tanzil wa 'asrar at-Ta'wil, Imam al-Badhawi (died years 685H), basically told that Ar-rab Tarbiyah that means has full meaning is "the thing to reach perfection”. Meanwhile, the “rabb” which is Allah has it, specifically showing the meaning of "very" or "most".

From basic understanding above, we can get conclusion that the education is a pure activity that truly have objectives, and targets. The education are requesting the establishment of tiered-programs through the improvement and the teaching activity according with the systematical sequence which is bring up a child from a development to other upper developments.

Further more, the author would like to explain some of the terminology that need to explained first before we talk further about the theme above. Construe these terminologies is necessary because it will be assumed and will give the similarity of the views in term to interpret and to explain this theme. First, we will explain about the education system. The terminology of education system is usually understood as a pattern of the process of education in formal institutions, agencies, and organizations that move (transfer) the knowledge and the cultural heritage and history of humanity that affect the growth of social, spiritual, and intellectual.

According to Hasan Langgulung, the education system such as in classical literature of Islamic education was never found. The reason why is the education system is not separate from the systems like the political system (al-nizham al-siyasi), the rules of procedure system (al-nizbam al-idart), the financial system (al-nizbam al-mali), the judicial system (al-nizham al-qadhi), and others. The political system has its own education program to establish political cadres, as well as the rules system, financial, social, etc.

Because the education system that does not stand on its own, to see it is required the information which is present social, political, religious, that happened at a certain time-period so that shows between functional and substantial relationship between the education world and the event that occurs at that time. Even so, in this discussion will only be presented as far as the construction of a community as long as it has a significant correlation with the discussion.

Second, we will explain about terminology of the method of Islamic education. Indeed, the method of education can be grouped into two forms: (1) the acquisition method and (2) the transmission method. The acquisition method is more emphasized as the way which was adopted by the student when they follow the education process, while the transmission methods is more emphasized as the way of teaching conducted by teacher.

Thus, the acquisition method is emphasized to the students while the transmission method is emphasized to the teacher. On this paper, our discussion is only limited on the shape of the transmission method. The reason why is because in many case, thought of classical Islamic education tend to get more priority to the teacher as a subject in education role, not to the students. Teacher is the key factor for assessing the success of Islamic education. Consequently, the classical Islamic education concept is more focusing to the improvement of the teacher.

Third, we will explain about the terminology of the curriculum. The curriculum of classical Islamic education presumably can not be understood as same as a modern educational curriculum. In the curriculum of modern education, national education curriculum, such as in Indonesia is determined by the government with a certain standard that consists of several components: purpose, content, organization, and strategy. The understanding of that part and the components of it are presumably very difficult to be found in the literature of classical Islamic education. Therefore, the curriculum of classical Islamic education in this discussion can be understood as simple as the subject-knowledge that is taught in the education process.

Fourth, we will explain about the terminology of the classical period. The discussion of the classical terminology has a chance to get an open debate regarding: since and until when for the time period? Whether, is it would be seen as the Moslem world point of view or western writers. The western author identify those classical period similar at seventh century until 12th or 13th century as the darkness period (Dark Age). Meanwhile, the Moslem authors identify it as the golden period (al-'ashral-dzahabi).

To obtain the time limit clearly, the author restrict the classical period as same as Moslem writers point of view, such as the restrictions that are doing by Harun Nasution. Further more, the classifying of Islamic history can be grouped at the three of time: (a) The classical period in the year 1250 M - 650 M, since Islam was born until the destruction of Baghdad, (b) the mid-period in the year 1250 M - 1800 M, since Baghdad was destroyed until the emergence of new ideas in Egypt, and (c) the modern period, starting in 1800 M until now. Thus, the classical period at this paper is limited since the prophet Muhammad SAW period until the destroyed of Baghdad by Hulago Khan, precisely on 10 February 1258 M.

Further more, to make simple this discussion, the description will be divided into several periods; the period of Prophet Muhammad SAW, Khulafa al-Rasyidin period, Bani Umayyah period, and Bani 'Abasiyyah period.

1. ISLAMIC EDUCATION AT THE HOLY PROPHET MUHAMMAD SAW PERIOD

The period of the prophet Muhammad SAW can be divided into two periods: Mecca and Medina period. In the first period, is since the prophet sent as messengers until the Hijra to Medina approximately 611-622 M, the Islamic education system was being focused only by the prophet Muhammad Saw. In fact, no one had the authority to give or determine the educational materials rather than him. The prophet was doing the education stealthily (bus-Sirri), particularly to his family, in addition to lectures and speech in the places where was visited by many people (bil Jahri). While the material was provided only around the ayahs (the messages of Allah SWT); 93 ayahs in Al-Quran and a number of instructions from him directly (read: Sunnah and Hadist).

Before Islam comes, kuttab; the jahiliyyah "institutional" education had been established. Hijaz community had learnt to read and write to the community Hirah, the Hirah community had learnt to the Himyariyin community. The people who had first learnt to read and write among the Mecca society were Sufyan Ibn Umayah and Abu Qais ibn 'Abd al-Manaf, who both learned to Bisyr ibn' Abd al-Malik. To both of them, the society of Mecca learned to read and write. Therefore, presumably can be understood when Muhammad to do his mission in Islam (around 610 M), the Quraish society only has 17 men and 5 women who were clever enough to read and write.

In general, The materials of Al-Qu'ran and the advices are explain about the religious study that are focusing on theology and worship, such as faith in God, in His apostles, and days later, and the other kind of worship which is named as prayer. The Zakat itself at that time had not become of educational materials, because the charity was usually understood only as the charity to the poor children and orphans. In addition, the “behavior” material had also been taught so that the human must behave noble behavior with honor and avoid misconduct behavior. The scientific material had not been made as subjects. The prophet Muhammad SAW only gave an encouragement to consider the incident a human, animal, grow plants, and nature.

In the period in Medina, 622-632 M or 1-11 hijriyyah, education who had done at the first by the prophet Muhammad SAW was building the mosque 'institutional'. Through the mosque, Muhammad SAW provided education and teaches of Islam. He strengthened the unity among the Moslems and scrape out the remnants hostility, especially among the Anshar society and the Muhajirin society. At this period, the ayah of the Qur'an as much as 22 surah had received, 1/3 of the content of Al-Qur’an

In general, educational material has four areas: religious education, moral education, health physical education, and knowledge related to the society. In the religious field, consist of faithful and worship, such as praying, fasting, Hajj, and charity. Behavior education put more emphasis on the moral basis that had been done in the period of Mecca. The physical healthiness education is more emphasis on the application of the values that is understood from applicable worship, such as the meaning wudhu, praying, fasting, and Hajj. While education which is related to the social field, is includes the social, political, economic, and legal. The society was given the education by prophet about the household life, inheritance, civil and criminal law, trade, statesman, and others.

The method that was developed by the prophet Muhammad SAW for the faithful field is the discussion method, hearth to hearth, and must be supported by the rational and scientific evidence. Rational (al-Aql) and scientific limitation are understood regarding the ability of thoughts of those who were invited to do the dialogue. The education methods that were used in the worship materials usually use the precedent method; the prophet Muhammad SAW showed as a precedent, gave guidance and examples, and also a clear practice, so that the community was easy to mimic him. While in the field of morals, the prophet Muhammad SAW read ayahs of the Al-Qur'an which contains the past stories of people then he described the meaning of the stories. Even so, on this behavior material the prophet more focused on the precedent method of morals. Prophet Muhammad SAW was showing in his lives as a man who has the glory and the majesty, whether in speech, deeds, and actions.

2. EDUCATION IN ISLAM AT KHULAFA AL-RASYIDIN PERIOD

(632-661 M / 12-41 Hijriyyah)

Education system in Islam as long as Khulafa Al-Rasyidin period (Abu Bakr, Umar, Usman, and Ali bin Abi Thalib) was done independently, did not managed by the government, except in the Umar bin Khattab caliph who added the curriculum in kuttab institutions. The friends who ware had knowledge of religious, their opened the education board, so that, for example in the Abu Bakr caliph, educational institutions kuttab achieved a meaningful level of progress. The progress of this kuttab institution was happened when people had conquered the Muslim areas and had established contacts with the developed nations. These education institutions had became very important so that the scholars argued that the teaching of Al-Qur'an is fardlu kifayah, if you have already taught, the others should not have to teach them)

According to Mahmud Yunus, when the students finish their education in kuttab levels of education, they continue to a more "high" level which is in the mosque. In mosque, there are two levels; the secondary level and the high level. The difference between those educations is quality of the teacher. At the secondary level, teachers have not reached the status of scholars, while at the high level; teachers are scholars who have deep knowledge and integrity of the piety and the devout that are recognized by the community.

In the secondary level of kuttab educational institution, the method of teaching is done one by one in the boarding school of Islamic (pesantren) tradition; this usual method is called sorogan. While education in the high level of the mosque, were doing in halaqah which was attended together by students. Education center as long as Khulafa al-Rasyidin period, was not only in Medina, but also in other cities, such as Mecca and Medina (Hijaz), Bashrah and Kufah (Iraq), Damsyik and Palestine (Syria), and Egypt (Qohirah). In the centre of this region, Islamic education was grown rapidly.

Educational materials that are taught in the al-Khalifah al-Rasyidin before the Umar ibn Khattab caliph (32 Hijriyyah / 644 M): for kuttab “institutional” are (a) learn to read and write, (b) read the Qur'an and memorize it , (c) learn the specifics practical of Islam, such as how to wudhu, praying, fasting, etc. When Umar ibn Khattab appointed as a caliph, he instructed the people of the city so that children are taught (a) swim, (b) riding a camel, (c) to discharge the arrow, (d) to read and memorize the lyric-poetic and the simple maxim. While the educational materials on the secondary level and high level are consist: (a) al-Qur'an and it meaning, (b) learning hadist and to collect it, and (c) fiqih (tasyri). Sciences and philosophy that were considered at that time, had not been known so it education did not exist. This is a reasonable thing, because remembering that the building of their social community was still in the development of insight to the Islam which were more focusing on the understanding the Al-Qur'an and Hadits literally.

3. EDUCATION IN ISLAM AT THE DYNASTY OF BANI UMAYYAH PERIOD (661-750 M / 41-132 Hijriyyah)

Essentially, Islamic education in the dynasty of Bani Umayyah is almost the same as education in the Khulafa Al-Rasyidin. But there are the differences and the development itself. The attention from the king in education field was showing less than the maximum development which was expected, so that the education did not run by the government setting, but by the scholars who have depth knowledge. Education policy that was issued by the government, was almost did not exist. So, the Islamic education system at that past was still running naturally.

There is any special dynamics that had become the characteristic of Islamic education at that time, when it was opened The Kalam discourse (read: discipline of theology) then was developed in the middle of the community. As understood from the history construction of Banu Umayyah which coincided with the appearance of polemic about the people who had big sinned, discussion about The Kalam discourse can not be avoided at their daily discussion, even though this discourse had been background by political factors. Then, this discussion was bringing out a number of groups that had a paradigm for thinking, independently.

Because of the condition at that time was colored by the political and group’s interest, in education world, especially in the literature world is very vulnerable regarding their identity. However, Arabic literature, both in the field of poetic, speech (khitabah), prose and art, began shows his resurrection. The king was preparing the beautiful meeting halls and can be entered only by the writer-scholars and the leading scholars. It is according to Muhammad 'Athiyah al-Abrasyi : "These central-hall of meeting have a special tradition that should be ignored; if someone enter when the caliph was there, they must dress dapper, clean, and neat. They must sit in a right place, should not guffaw, and do not spit, do not runs and do not exception when asked. They can not be voiced loud and must learn to be a good listener, as he must learn to exchange words politely and give the speaker the opportunity to explain discussion, and avoid using rough words and derisive with laughter. In the central-hall of meeting like this, provided specifics problems that need to be talked, discussed, and debated. "

At this time, can also be witnessed the translation activities from other languages into Arabic language. However, the translation is only limited to the sciences that have practical importance, such as chemistry, medicine, space, science, procedure, and arts building. In general, the movement of this translation is limited; it was doing by certain people and for their own business, wasn’t doing by stimulation from the government and wasn’t being build as an institutional. According to Franz Rosenthal, the person who did this translation was Khalid ibn Yazid, Muawiyah's grandson. In addition to some of the above materials, in this period also seems to perpetuate the sciences that are placed in the past, such as the science of tafsir. Science commentary this would be more and have a strategic significance.

In addition, because of the expansion of Islam to some regions outside the Arab, it brings consequences that the sense of art in Arabic literary had decreased. Beside that, because of many people who converts their belief into Islam, the language of al-Qur'an were being polluted in some of particular community circulation and the meaning of al-Qur'an only had been used for other purposes of that particular community. Pollution of Qur'an is also caused by interpretation factor which is based on Israiliyat and Nasraniyat stories. At the same time, achieved-progress in education field was the knowledge of nahwu that had been developed, this knowledge used to provide punctuation, recording of language rules, and historical of it language. Although there was occurring the differences at inside of making process in nahwu knowledge, but this is a discipline in the characteristics of progress this time.

Beside this tafsir discipline, the hadist and the knowledge of hadist get a serious attention. The importances of hadist chronically that would be responsible both scientifically and morally, was more getting a high of attention. However, the success that had reached was still to find the spirit of hadist, had not reached the stage of codification. The Umar ibn Abd al-Aziz caliph who lead only two years (99-101 Hijriyyah / 717-720 M), ever send a letter to Abu Bakr ibn Muhammad ibn Amir ibn Ham and to other Islamic-scholars, to write and collect hadits. However, until the end of the government period, it was not been applied. Even so, the Umar ibn al-Aziz caliph had initiate to the alternative education methods, which are the Islamic-scholars need to explore the hadits to various places and to people that know about it, which was then considered to be known as the rihlah method.

On law of Fiqh fields, the outline can be divided into two groups, the expert of Al-ra'y group and the expert Ahl al-hadist group. For the first groups developed the Islamic law by using the analogy (read: qiyas) if there is a problem that the law had not been determined. This group was developed in Iraq and was promoted by Syuriah ibn al-Harith (78 H / 697 M, died.), Qais ibn Alqamah (62 H / 681 M, died.), Masruq al-Ajda (63 H / 682 M, died), al-Aswad ibn Yazid (95 H / 913 M, died), then is followed by Ibrahim al- Nahlawi (95 H / 913 M, died), and Amr ibn al-Syurahbil Sya'by (104 H./ 722 M, died). After that, was replaced by Hammad ibn Abi Sulaiman (120 H / 737 M, died) who were became a teacher of Abu Hanifah then.

The second group, Ahl al-hadith, is more consistent on the ayahs literally, even this group was not usual gave the fatwa if there is not have any ayahs of Al-Qur'an or hadist explained. The initiators was included Syihab Ibn al Zuhri (124 H / 741 M, died), and Nafi 'Maula' Abdullah ibn Umar (117 H / 735 M, died), both were the teacher of Imam Malik ibn Anas (117 H / 735 M, died). At this time, the dynamics of the fiqh discipline showed a very meaningful development. This period come up a number of Muslims combatants (mujtahid-mujtahid fiqh). When the end of the Umayyah dynasty, fiqh sect-leaders had been born namely Imam Abu Hanifah in Iraq, (born; 80 H /699 M) and Imam Malik ibn Anas in Medina (born; 96 H / 714 M), while the Imam al-Syafi'i and Imam Ahmad ibn Hanbal was born in the Abbasiyah.

Among the services of Banu Umayah dynasty in education field, according to Prof Dr. Hasan Langgulung, is to emphasize the scientific character of the mosque so that the mosque would be the development center of the science at university in Islamic community. Within this emphasis, in the mosque taught a few kind of knowledge, such as poetic, literature, story of nation's past-story, and theology (knowledge of the Godhead) using the debate methods. Thus, the period between the beginnings of second century until the end of third Hijriyyah century, the era of education mosque was the most brilliant.

4. EDUCATION IN ISLAM AT BANU ABASIYYAH DYNASTY PERIOD

(132-150 H / 656 -1258 M)

Charles Michael Stanton concluded that throughout the period of classical Islam, the determination of the education system and curriculum were in the hands of the Islamic-scholars, groups of people who was read and accepted as authoritative in the matters of religion and law, was not determined by the structure of government who had power at that time. However, this conclusion could not be maintained fully, especially when was faced with the fact the case of al-Mustansiriyah as a madrasah education institutions. It’s similar according the research results of Hisam Nashabe, the goerment were doing the state-control of the influence caused by madrasah, and also conducted investigations at their teaching methods. According this kind of intervention it was possible that the government (state) set a curriculum structure which was run by educational institutions in the large community or society.

To neutralize the debate above, presumably the Stanton’s conclusion was not more aimed at educational institutions that have shape such as madrasah, his conclusion was more aimed at kuttab. The reason why that the education system which was operated by the madrasah, in fact had particular interests, either for sects fiqh interest, or theology interest, or political interests. Further more, in the tradition of classical education; madrasah was built on the basis of someone who was doing wakaf, and usually had the target objectives of each.

According to Hasan 'Abd al-'Al, an expert in Islamic education from Thantha University, on his thesis he mentioned seven institutions that have been established at The Dynasty of Bani Abbasiyah period, especially in the 4th century of Hijriyyah. The seven institutions are: (a) the basic educations (al-kuttab), (b) the mosque institutions (al-masjid), (c) the book-stall traders (c) al-Hawanit al-Waraqin, (d) the place of Islamic-scholars (manazil al-'ulama), (e) the studio of art and literature (al-shalunat al-adabiyah), (f) The library (dawr al-kutub wa dawr al - I1m), and (g) The school of educational institutions (al-madrasah). All these institutions have special characteristics and studies of each. Even so, in general, all institutions can be classified into three levels. First, the base level consists of kuttab, houses, shops, markets, and the palace. Second, the school level schools that include a mosque, art and science studio, as advanced lessons in kuttab. Third, the higher education level which includes a mosque, madrasah, and library, such as Bait al-Hikmah in Baghdad and the Dar al-'Ulum in Cairo.

At the first level; low levels of education, the curriculum which were taught include: (a) to read and memorize it, (b) the specifics core of Islam, such as wudhu, praying, and fasting, (c) to write, (d) the stories of influenced-people, (e) to read and memorize the Islamic-poetics or lyrics, (f) to count, and (g) the specifics of nahwu and sharaf. Even so, the curriculum like this could not be found in other regions, each region were different. For instance, The Ibn Khaldun quoted by Hasan 'Abd al' Al, in Morocco (Maghribi) only taught al-Qur'an and it written (rasm). In Andalusia, were taught al-Qur'an, writing poetic, the spesifics of nahwu and sharaf, and it calligraphy (khath). In Tunisia (Afriqiah) taught al-Qur'an, hadist and the specifics of Islam theology, but rather to the recitation of al-Qur'an.

Time study in kuttab was conducted in the morning until the time of Ashar prayer, start on Saturday until Thursday, while Friday was a holiday. Further more, public holidays were also happen every 1st of Syawal, and three days in Idul Adha festivity. The lesson hours are usually divided by three: First, al-Qur'an lessons starting from the morning until the time Dhuha. Second, the lesson of writing begins at the time Dhuha to Zhuhur time. After that, the children may go home for lunch. Third, other lessons, such as the nahwu, Arabic language, poetic (lyric), math, etc was starting after Zhuhur until the end of the day (Ashar). At this lowest-level, did not use the classical system, so that there ware no benches, tables, and board. The teacher who taught the students, need to take turns one by one. Likewise, there was no standard book used.

So that, the basic education level, the method used was a method of repetition and recitation. Which mean, the teacher repeat reading of al-Qur'an in front of students and students were required to follow them, and then know very well that reading by their memorize. In fact, this memorizing session was not limited to the al-Qur'an or hadist material, but also in other knowledge. It was no exception to versify Islamic-lyrics lessons, the teacher taught the lyric with a song (wazn), so that it was an easy way for most students were able to memorize it vastly.

In the middle education level, were provided lessons as follows: (a) Al-Qur'an, (b) The Arabic language and literature, (c) fiqh, (d) tafsir, (e) hadist, (f) nahwu / sharaf / balaghah, (g) exact sciences, (h) mantiq, (i) astronomy, (j) history, (k) natural sciences, (1) medical science, (m) music. As well as at low level of education, the curriculum at secondary level of education in some areas or regions was also different.

According to Hasan 'Abd al-'Al, the methodology tailored to the material which was concerned. According to him, the outline of teaching method was being divided into two methods. First, the teaching method of Islamic religious field (al-manhaj al-diniy al-adabiy) was applied to the following materials: (a) Fiqh (Ulm al-fiqh), (b) grammar (Nabw al-Ulm), (c) theology (Ulm al-Kalam), (d) writing (al-kitabah), (e) lyrics (arudh), (f) history (Ulm al-akhbar, especially Islamic history). Second, the teaching method of intellectual field (manhaj al'ilmiy Ilm al-adabiy), which included sports (al-riyadhah), exact-sciences (al-thabi'iyah), philosophy (al falasafah), medicine (tbibb), and music that had been translated into Arabic, and the knowledge of language and religions.

The high levels of education was looked have differences in their educational institutions respectively. However, in general, higher education institutions have a two-level faculty: First, the faculty of religion knowledge and the faculty of language and literature of Arabic. This faculty was reviewed the following sciences: (a) the tafsir of Al-Qur'an, (b) Hadist, (c) Fiqh and Ushul al-Fiqh, (d) Nahwu / Sharaf, (e) Balaghah, (f) the language and literature of Arabic. Second, the faculty of wisdom (philosophy), this faculty were studying: (a) mantiq, (b) natural sciences and chemical, (c) music, (d) exact sciences, (e) geometry, (f) astronomy, (g) theology, (h) zoology, (i) phyto-sciences, and (j) medical science. All these subjects were taught in universities and had not held a specialization of particular subjects. That specialization was determined after graduate from university, based on their talent and tendency of each after teaching practice in several years.

This was evidenced by Ibn Sina, according to the paper wrote by Thabaqat Athibba; after Ibn Sina completed the secondary level of his education in 17 years of age, he learned more than 1.5 years. He was repeating of reading the mantiq and philosophy, and then exact sciences and natural sciences. Then, he reviewed theology by reading the book the Ma Warn al-Thabi'ah (metaphysics) of Aristoteles, and also the book of al-Farabi. Ibn Sina has the opportunity to read literatures in the library of al-Amir, such as medical books, Arabic language, versification (lyrics), fiqh, etc. Those literatures were read so that he gets a satisfactory result. He finished study there in 18 years of age. This is also valid as to others.

The methods that were used in educational institutions were hadaqah. Teacher sitting on a mat or floor, surrounded by students, then teachers provide materials to all students who attend. Number of students who will follow was depending on who was the teacher. If the teacher was the great Islamic-scholar who had great credibility, many students will come. However, if the teacher was only new scholars who had not any credibility, only a few students will come, and perhaps halaqah were closed. According to Charles Michael Stanton, before they were teaching the material, he must prepare ta’liqah first. Ta'liqah organized by individual teachers consist syllabus and notes that they already had when they were a student, or by results of reading, and opinions about the material concerned. Ta'liqah contains the details of the materials and lessons which can be delivered for four years period. Student copied ta'liqah was in the process of dictation, most of their rihlah were downright copying. However, some of the others add on a copy of this ta'liqah with their opinions separately, so that their ta'liqah was expected as personal reflection on lecture material delivered.

According to Hasan 'Abd al-'Al, methods of education that was done on the levels of this high-level method include the following: First, the lecture method (al-muhadlarah). In this method, the teacher delivered the materials to all students with repeated-back so that students know very well what he/she say. On this method, divided into two ways, dictation methods (al-imla) and asking to the teacher methods (al qiraat wa al-Sheikh al-aw'ardl). Second, the discussion method (al-munadzarah), which was on this method, was used to test the arguments that can be asked so it can be tested. This method by the Mu'tazilah was to be one of the most important bases in his education system. Third, the long-distance correspondent method (al ta'lim bil-murasilah) which was this method was one of the methods used by students who ask for a problem to the teachers who have long-distance between them by writing, and teachers provided the answer in writing as well.

Fourth, the rihlah scientific method which was this method was done by the students both individually and groups by visiting the teachers to their house and usually who has long-distance far way, to discuss about a topic. The teachers who were teachers were usually considered have an expertise in their field. Students who have completed education, has a certificate awarded if they were have passed the test and able to answer questions asked during the test examination (munaqasah). The certificate provided sometimes in verbal or written. This certificate was not provided by the school, but by teachers who had educated them. Which mean, if they already hold the certificate, they allowed to hand down or delivered the lessons to other students.


CONCLUSION AND SUGGESTIONS

Indeed, the description above has shown that education in the Islamic classical period have characteristics of each. Those characteristics probably were influenced by the purpose of education at the period. During the prophet Muhammad SAW period until the dynasty of Bani Umayyah period, seen the goal of education for Islamic religious beneficial, so that the educational material, also in the religious issues only. Mean while, during the dynasty of Bani Abbasiyah period, the regions of Islam expanded, the problems and the development of civilizations was high enough; the goal of education was not simply for religious issues but also to have other interests, such as economic interest and group’s interest.

The movement on the methods field is caused by variety of discipline knowledge that is demanding the effectiveness methodology of teaching. Of course, the religious materials will use a different method compare with the exact sciences materials. At the beginning, because of the material is relatively only a few that already known, so that the methodology is more limited when it compared with education in dynasty of Bani Abasiyyah. In general, the management of the education system in the classic period seems more determined by the strength of the Islamic-scholars (who have an intellectual commitment) rather than the strength of the government or country (the person who has the power). Both the prophet Muhammad SAW and the dynasty of Bani Abasiyyah, the religious leaders have the authority to determine the system of education. This is different when the education system is a system that is used madrasah. In the madrasah, which usually have the authority powers in the management of education is the influence or the person who gives the property of wakaf.

The Classical Islamic Education is very important to be a reference to spread and grow education of Islamic and education for national development in general education at the present time such as Islamic Education Boarding School (Pondok Pesantren Bersama), and the on going beneficial until the end of life (utlubul ilama minal Mahdi ilaal lahdi).