Kamis, 24 September 2009

Sabar dan Fadilahnya

ARTI SABAR DAN FADILAHNYA

A. Arti Sabar Secara Bahasa (Etimologi)

Kata Shabr terdiri atas huruf shad, ba dan ra, merupakan bentuk mashdar dari kata shabara. Dari segi bahasa, kata shabara memiliki arti, jika diikuti partikel ‘ala berarti sabar atau tabah hati, partikel ‘an berarti amsaka (Manahan atau mencegah), partikel hu berarti akraha wa alzama (memaksa dan mewajibkan), dan partikel bi berarti kafala (mananggung). Sebagai contoh : “Shabartu ‘ala ma akrah wa shabartu ‘an ma uhibb” (saya bersabar atau tabah hati terhadap apa yang saya benci dan menahan atau mencegah diri dari yang saya sukai). Menurut Luwis Ma’luf, shabara diikuti partikel ala bermakna luas: jaru’a (berani), sajja’a (memberi semangat) dan tajallada (memberi kekuatan).

Ibn Manzhur menjelaskan, arti asal dari kata shabr adalah menahan, seperti mengurung binatang, menahan diri, dan mengendalikan diri. Sehubungan dengan ini, maka puasa disebut sabar dan bulan puasa dinamakan bulan sabar (syahr al-shabr) karena orang puasa menahan diri dari makan dan minum dan godaan nafsu selama sebulan penuh. Selanjutnya, Ibn Faris menyebutkan dua arti shabr ; a’la al-sya’i (puncak sesuatu) dan jins min al-hijarah (sejenis batu). Dua arti ini berkaitan dengan arti kata shabara sebelumnya, sebab kedudukan sabar sangat mulia dan orang yang sabar memiliki kekokohan jiwa laksana batu. Kata al-shabr juga berarti konsisiten (al-istiqamat wa al-mudawwamah) dan menunggu (al-intizhar).

Kata shabara melahirkan kata lain: shabara, ashbara, dan ishtabara Kata shabara menunjukkan peningkatan intensitas sabar seperti terkandung dalam firman Allah SWT yang artinya :

Bersabarlah kamu, dan kuatkanlah kesabaran, al-Qur’an surat Ali Imran : 200), shabara berarti menjadi berani seperti ayat yang artinya :

Maka alangkah beraninya mereka menentang api neraka, al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 175, dan ishtabara menunjukkan peningkatan tingkat kesulitan atau lama waktu seperti ayat yang artinya : dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya; al-Qur’an Surat Thaha ayat 132. Hal ini karena ibadah shalat merupakan pekerjaan berat dan diwajibkan sepanjang hidup. Selain itu shabr melahirkan kata ishthibara berarti mengkisas, seperti kata Usman ibn ‘Arfan sewaktu dicela karena memukul ‘Ammar : Hazih yadia li ‘Ammar falyashthabir” (ini kedua tanganku yang memukul ‘Amamar, maka pukullah).

Lawan dari al-sabr adalah al-juz’a (tidak sabar, gelisah, bersedih hati, putus asa, putus harapan, cemas, khawatir, risau). Sebagai contohnya termuat dalam firman Allah SWT SWT yang artinya :

Dan mereka semuanya (dipadang Mahsyar) akan berkumpul menghadap kehadirat Allah SWT , lalu berkata orang-orang yang lemah kepada orang-orang yang sombong “ Sesungguhnya kami dahulu adalah pengikut-pengikutmu, maka dapatkah kamu menghindarkan daripada kami azab Allah SWT (walaupun) sedikit saja ? Mereka menjawab “Seandainya Allah SWT memberi petunjuk kepada kami, niscaya kami dapat memberi petunjuk. Sama saja bagi kita, apakah kitamelarikan diri. (al-Qur’an Surat Ibrahim ayat 21).

Dengan demikian, dari segi bahasa kata shabr memiliki makna positif multidimensional yang sangat dibutuhkan oleh setiap mukmin dalam hidup sosial dan religius, baik secara personal maupun komunal, seperti sikap aktif, konsisten, sosial, motivasi tinggi, disiplin, ketaatan, spiritualitas dan sebagainya.

2. Makna Secara Terminologi

Sebelum mengungkap definisi sabar dalam ajaran imam Imam al-Ghazali , penulis memandang perlu untuk mengemukakan beberapa definisi yang diberikan oleh para tokoh-tokoh sufi sebelumnya. Langkah ini dilakukan sebagai upaya untuk menarik benang merah yang membedakan antara imam Imam al-Ghazali dengan tokoh-tokoh tersebut sehingga dapat diketahui orisinalitas ajarannya.

Menurut ulama al-Muhasibi yang wafat pada tahun 243 H/857.M, sabar adalah “mengurung diri tempat penghambaan (‘ubudiyah) dan memandang rasa gelisah, berarti telah berada di maqam penghambaan (‘ubudiyah)”. Menurut imam Dzu al-Nun yang wafat pada tahun 246.H/861.M, sabar berarti “menghindarkan diri dari pertentangan (al-mukhalafah), tenang sewaktu ditimpa musibah, dan menampakkan diri kaya sewaktu mengalami kefakiran”. Menurut Imam Sahl al Tustari yang wafat pada tahun 283.H/896.M, sabar adalah “menunggu datangnya pertolongan Allah SWT SWT . Menurut imam Al-Junaidi yang wafat tahun 297.H/910.M sabar berarti “ketabahan hati seorang mukmin karena Allah SWT SWT , sehingga berlalu masa-masa yang tidak disukai”. Sedangkan menurut imam al-Makky yang wafat 387.H/1001.M, sabar yaitu “mengendalikan kebutuhan hawa nafsu dan memaksanya mujahadah agar dicapai keridhaan Tuhan.

Berbagai definisi di atas menunjukkan bahwa sabar merupakan upaya pengendalian diri sewaktu mengalami kesulitan dengan cara tidak mengeluh, tidak gelisah, tidak merasa susah, berlaku tenang bahkan sebaliknya menampakkan diri seolah senang dan kaya sewaktu mengalami musibah dan kefakiran. Orang yang mampu menghadapi kesulitan tersebut tergolong sabar sehingga membuatnya dapat mencapai keridhaan Allah SWT . Secara umum terlihat bahwa sabar merupakan upaya seorang hamba Allah SWT untuk mengendalikan diri dalam menghadapi kesulitan hidup.

Imam al-Ghazali pada dasarnya memiliki pandangan yang sama dengan tokoh-tokoh di atas bahwa sabar adalah mengendalikan diri untuk tidak melakukan tindakan tercela dan di luar norma-norma agama dalam segala kondisi hidup yang dihadapi. Kemiripan Imam al-Ghazali secara eksplisit semakin dekat dengan Imam al-Makki bahwa sabar adalah mengendalikan keinginan hawa nafsu sebagai uasaha untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Pengendalian hawa nafsu diperlukan dalam setiap situasi dan kondisi hidup baik dalam keadaan susah maupun dalam keadaan senang.

Kemiripan konsep antara Imam al-Ghazali dengan Imam al-Makki sebenarnya dapat dimengerti karena karya-karya imam al-Makki terutama Qut al-Qutub merupakan inspirasi Imam al-Ghazali sewaktu memasuki dunia sufi, sehingga sangat wajar adanya keterpengaruhan. Meskipun demikian, terdapat hal mendasar yang membedakan antara Imam al-Ghazali dengan imam al-Makki dalam memahami hakikat sabar ini.

Imam al-Ghazali melakukan pemetaan terhadap motivator perbuatan manusia (al-insaan) yang menyebabkan sabar atau tidaknya seseorang. Menurut, motivasi lahirnya perbuatan manusia (al-insaan) dua : motivasi religius berperan sebagai motivator perbuatan baik dan motivasi hawa nafsu berperan sebagai motivator perbuatan buruk. Kedua motivasi ini selalu bertentangan dan berusaha saling mengalahkan. Apabila motivasi religius menang maka seseorang menjadi sabar, dan bila motivasi agama kalah maka seseorang menjadi tidak sabar. Menang atau kalahnya motivasi religius, selain factor adanya pertolongan Allah SWT, adalah ditentukan oleh pilihan yang diambil seseorang. Dalam arti ini manusia (al-insaan) sebenarnya memiliki kebebasan untuk bersabar atau tidak sabar. Imam al-Ghazali berkata” “Sabar adalah keteguhan motivasi religius dalam melawan motivasi hawa nafsu” .

Imam al-Ghazali selanjutnya menjelaskan makna motivasi religius (ba’ats al-din) yakni “suatu sifat (al-Shifah) yang membedakan manusia (al-insaan) dengan binatang (al-bahimiyah) dalam mengendalikan dan menundukkan hawa nafsu”.

Dalam karyanya Mau’izhat al-Mukminin min ihya Ulum al-Din, Imam Muhammad Jamal al-Din al-Qasimi menjelaskan, maksud motivasi religius (ba’ats al-din) adalah “makrifat (ma’rifah) yang diberikan Allah SWT kepada manusia (al-insaan) mengenal Allah SWT dan Rasul-Nya, dan makrifat mengenai kebaikan (al-mashalih) dibalik suatu perbuatan. Adanya makrifat ini membedakan manusia (al-insaan) dengan binatang”.

Secara etimologi, al-Ma’rifah sama dengan al-‘Ilm yaitu mengetahui, mengenal, mengerti. Tetapi dalam terminology kaum sufi, dua kata ini memiliki arti yang berbeda. Al-‘Ilm merupakan pengetahuan manusia (al-insaan) terhadap realitas nyata suatu materi, mengandung kemungkinan salah, dan diperoleh melalui pembelajaran. Sedangkan al-ma’rifah adalah pengetahuan terhadap realitas yang tidak nyata, bukan hasil belajar tetapi merupakan pancaran dari Allah SWT .

Perbedaan antara al-‘Ilm dan ma’rifah dapat dilihat dari penjelasan Imam al-Ghazali . Ibaratnya, menurut Imam al-Ghazali , al-‘Ilm adalah seperti api sedangkan al-ma’rifah sebagai cahaya yang memancar dari api tersebut. Sewaktu seseorang mencapai al-ma’rifah, maka pengetahuannya adalah pengetahuan yang tidak ada keraguan di dalamnya.

Arti al-ma’rifah ini akan lebih jelas bila dilihat penjelasan imam al-Muhasibi. Sewaktu ditanya mengenai al-Ma’rifah ia menerangkan: “engkau mengenal Allah SWT sebagaimana Dia mengenalkan diri-Nya kepadamu”. Keterangan ini secara aksplisit menunjukkan bahwa melalui al-ma’rifah, Allah SWT, secara aktif mengenalkan diri-Nya kepada manusia (al-insaan) sehingga tanpa belajarpun sebenarnya dalam diri manusia (al-insaan) telah tertanam keyakinan akan adanya Allah SWT .

Motivasi religius diberikan Allah SWT sewaktu usia manusia (al-insaan) menjelang baligh. Allah SWT mengutus malaikat hidayah mengajarkan (yahdih) pengetahuan tentang Allah, rasul, dan mashalih. Tetapi berbekal; pengetahuan semata manusia (al-insaan) tidak mampu berbuat baik, ini disebabkan karena dalam dirinya bersemayam kecenderungan berbuat yang lahir dari golongan nafsu. Maka Allah SWT mengutus malaikat penolong bertugas memberi kekuatan (yaqwih) agar manusia (al-insaan) mampu berbuat baik sebagaimana diajarkan malaikat pertama.Melalui dua malaikat itu, kata Imam al-Ghazali , “berarti Allah SWT telah menyediakan pertolongan agar manusia (al-insaan) dapat kembali ke ajaran-Nya, dan memberi kekuatan agar mampu melakukan perbuatan baik dan meninggalkan perbuatan buruk sesuai ajaran-Nya tersebut”.

Dengan demikian, motivasi religius dalam pandangan Imam al-Ghazali merupakan pengetahuan seseorang mengenai agama yang diturunkan Allah SWT melalui wahyu dan disabdakan nabi, serta pengetahuan terhadap kebaikan (dampak positif) dan keburukan (dampak negative) yang dihasilkan oleh suatu perbuatan. Pengetahuan ini mutlak benar, tidak ada keraguan di dalamnya, diperoleh tanpa melalui kegiatan belajar, tetapi merupakan petunjuk yang diberikan Allah SWT melalui dua malaikat yang diutusnya sewaktu seseorang menjelang baligh, yang berfungsi sebagai bekal mentaati-Nya. Adanya pengetahuan ini merupakan faktor yang membedakan manusia (al-insaan) dengan binatang.

Motivasi religius dalam pandangan Imam al-Ghazali bersumber dari pengetahuan yang diberikan Allah SWT setelah seseorang menginjak dewasa. Pandangan ini mengandung pemahaman bahwa motivasi religius sebenarnya menguatkan pengetahuan manusia (al-insaan) terhadap Allah SWT sewaktu masih dalam kandungan ibunya sebagaimana diisyaratkan oleh ayat yang artinya :

Dan ingatlah, sewaktu Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah SWT mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu”. Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Allah SWT ). (al-Qur’an Surat al-A’raf ayat 172).

Berdasarkan ayat di atas dipahami bahwa Allah SWT telah mengenalkan diri-Nya untuk pertama kali kepada seseorang sewaktu ia berada di alam rahim. Selanjutnya Dia mengenalkan diri-Nya untuk kali kedua melalui motivasi religius yang diberikan-Nya sewaktu seseorang dewasa. Dengan demikian, Allah SWT dalam pandangan Imam al-Ghazali telah memberikan pertolongan dan bimbingan kepada manusia (al-insaan) agar selalu berada dijalan-Nya.

Adapun motivasi hawa nafsu (Ba’ats al-hawa atau ba’ats al-syahwah) adalah segala tuntunan hawa nafsu sesuai keinginan-keinginannya (muthlabat al-syahwah bi muqtadhayatiha). Keinginan-keinginan nafsu, kata Imam al-Ghazali selanjutnya adalah perbuatan-perbuatan maksiat. Seluruh bentuk perbuatan maksiat itu terkumpul dalam firman Allah SWT “wa yanha ‘an al-fahsya’ wa al-munkar wa al-baghy (dan Allah SWT melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan) al-Qur’an Surat al-Nahl ayat 90” Berdasarkan ayat yang digunakan Imam al-Ghazali ini dapat dipahami bahwa perbuatan maksiat adalah perbuatan keji (al-Fahsya), perbuatan munkar (al-munkar) dan permusuhan (al-Baghy).

Secara etimologi al-hawa berarti kecintaan (al-hubb), keinginan, kecenderungan, kesukaran, kesenangan (al-mail) dan al-syahwah berarti nafsu, selera, kesukaan, kegemaran, godaan, keinginan (al-rughbah), syahwat bersifat seksual (al-ghulmah), nafsu hewani (al-bahimah) , libido ( al-jinsiyat al-ghariziyah). Sedangkan secara terminology seperti dikemukakan al-Jurjani, al-hawa berarti kecenderungan nafsu terhadap kepada syahwat syahwah yang menyenangkan tanpa ada seruan syara’, dan al-syahwah yakni gerakan nafsu untuk mendapatkan perkara keji.Selain itu, al-Ishfahan menerangkan, al-hawa adalah kecenderungan jiwa atau jiwa yang cebnderung kepada syahwat, sedangkan al-syahwah yakni apa yang diinginkan oleh nafsu. Keinginan dibagi menjadi dua yaitu: keinginan benar yang apabila tidak terpenuhi dapat membahayakan badan seperti makan sat lapar, dan keinginan semu yang apabila tidak dipenuhi tidak merugikan badan.

Lebih jelas perbedaan antara al-hawa dan al-syahwah dapat dilihat dari keterangan imam Muhammad Salim Muhsin. Ia mengatakan : “adapun perbedaan antara al-hawa dan al-syahwah yaitu bahwa al-hawa ditujukan secara khusus pada hal-hal yang menyangkut pendapat dan keinginan. Sedangkan al-syahwah ditujukan dengan usaha memperoleh kelezatan. Oleh karena itu al-syahwah merupakan buah dari al-hawa. Al-hawa lebih khusus dan al-syahwah bersifat lebih umum”.

Ini berarti, ba’its al-hawa atau ba’its al-syahwah adalah dorongan atau keinginan hawa nafsu untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ajaran agama. Dorongan atau keinginan tersebut lahir karena ingin mendapatkan kesenangan dan kepuasan.

Hawa nafsu (al-hawa atau al-syahwah ) merupakan instink yang ada sejak manusia (al-insaan) dilahirkan. Atas dorongan hawa nafsu seorang bayi berbuat untuk memenuhi kebutuhnnya seperti menyusui, menangis, tidur dan sebagainya. Seiring dengan perjalanan waktu, kebutuhannya semakin bertambah. Ia butuh makan, pakaian, tempat tinggal, rumah tangga dan berbagai kebutuhan lainnya.

Hawa nafsu penting kedudukan bagi manusia (al-insaan) . Ia mendorong seseorang berjuang mempertahankan harga diri, membangkitkan semangat, memberi motivasi meraih kesejahteraan, membentuk mental yang kuat, memacu mencapai kesempurnaan dan sebagainya. Bahkan, menurut Imam al-Ghazali , hawa nafsu adalah sumber akhlak mulia dan unsur pencapaian kebahagiaan yang sejati. Namun di sisi lain, hawa nafsu adalah sumber kemaksiatan dan kejahatan. Perbuatan buruk adalah akibat tunduk kepadanya. Kegagalan meraih kesejahteraan duniawi dan kebahagian ukhrawi disebabkan patuh dan tunduk keinginannya. Imam al-Ghazali mengatakan:

Jangan sampai nafsu menipumu dengan angan-angan kosong (al-amani) dan tipu daya, karena diantara karakter (al-thab’) nafsu adalah merasa aman (al-amn), lengah (al-ghaflah), santai (al-rahah), lamabt (al-fatrah) dan malas (al-kasl). Semua ajakannya bathil dan segala sesuatu timbul darinya adalah tipu daya belaka. Nafsu merupakan pangkal segala bencana dan sumber aib. Apabila kami puas dan mengikutinya maka kamu akan celaka. Nafsu tidaklah dapat diarahkan kepada kebaikan.

Adanya dua motivasi di atas menjadikan manusia (al-insaan) lebih istimewa dari malaikat dan binatang. Malaikat tidak memiliki motivasi hawa nafsu sehingga tidak ada potensi untuk berbuat maksiat, yang ada hanya ketundukan semata. Sedangkan binatang tidak memiliki motivasi agama, sehingga, segala aktivitasnya hanya berdasrakan dorongan nafsu.

Sabar, dalam pandangan Imam al-Ghazali, merupakan keputusan seseorang dalam menempatkan dua motivasi ini dalam rangka ketaatan, yaitu meneguhkan, menenangkan dan meninggikan motivasi agama pada saat lahir keinginan untuk berbuat jahat sehingga pada akhirnya yang lahir hanyalah perbuatan baik.

Sehubungan dengan itu, Jalaluddin Rahmat menerangkan, “sabar menurut Imam al-Ghazali adalah memilih untuk melakukan perintah agama sewaktu dating desakan nafsu. Artinya, kalau nafsu menuntut kita untuk berbuat sesuatu tetapi kita memilih kepada yang dikehendaki Allah SWT maka disitu ada kesabaran. Tidak ada kesabaran, misalnya, kalau kita ini didesak oleh nafsu lalu memenuhi tuntutan nafsu itu”.

Dengan kata lain, dinamakan sabar apabila seseorang mampu melahirkan perbuatan baik disaat timbul dorongan untuk berbuat jahat. Caranya adalah dengan memilih petunjuk agama dan membayangkan efek yang dilahirkan oleh perbuatan jahat tersebut. Misalnya, sewaktu terbesit keinginan mencuri, maka orang yang sabar akan memilih petunjuk agama yang mana agama mengharamkan mengambnil hak orang lain. Dan membayangkan efek negatifnya misalnya memajukan diri dan keluarga jika tertangkap, dihukum massa, penjara, dan sebagainya. Demikian juga dalam hal keinginan berbuat zina orang yang sabar akan memilih petunjuk agama (agama mengharamkan zina) dan membayangkan efek negatifnya (antara lain timbul penyakit mematikan, malu, jatuhnya harga diri). Begitu pula dalam perbuatan-perbuatan maksiat yang lain. Apabila seseorang mampu menempatkan agama dan mashalih di atas keinginan hawa nafsu sehingga terhindar dari berbuat buruk maka telah termasuk orang yang sabar.

Dalam pandangan Imam al-Ghazali sabar pada mulanya merupakan hal. Pada kondisi ini seseorang belum mampu bersabar secara konsisten. Untuk menjadi maqam dibutuhkan latihan (riyadhah) dan kesungguhan (al-mujahadah) sehingga sabar menjadi mudah dilakukan secara konsisten. Apabila telah mudah dan dapat dilakukan dalam segala situasi dan kondisi secara konsisiten maka seseorang telah mencapai maqam sabar. Imam al-Ghazali mengatakan: “Apabila motivasi religius teguh sehingga mampu mengalah kan dorongan syahwat, dan secara kontinu menentang syahwat, berarti telah menang pasukan Allah SWT dan dia termasuk orang yang sabar”.Di lain tempat ia menegaskan : “apabila motivasi religius teguh menghadapi dorongan hawa nafsu sehingga dapat mengalahkannya, maka telah dicapai maqam sabar”

Dari penjelasan di atas terlihat orisinalitas ajaran Imam al-Ghazali mengenai hakikat sabar. Baginya sabar adalah mengendalikan diri dengan cara mengatakan motivasi religius sewaktu muncul godaan yang lahir dari motivasi hawa nafsu.

B. Keutamaan / Fadhilah Sabar

Sabar merupakan akhlak utama yang diajarkan agama Islam. Hal ini dapat dipahami dari banyaknya ayat al-Qur’an dan hadits Nabi yang membicarakannya, baik dalam bentuk perintah, larangan maupun contoh orang-orang sukses karena sikap sabar yang mereka miliki. Bila dibandingkan dengan akhlak Islami lainnya, sabar paling banyak dibicarakan untuk mempraktekkan sikap sabar.

Sikap sabar dibutuhkan dalam segala tempat, waktu dan aktivitas hidup. Tidak ada suatu pun perjuangan, baik yang berorientasi pada kesejahteraan duniawi maupun berorientasi pada kebahagiaan ukhrawi yang tidak membutuhkan kesabaran. Orang yang tidak sabar dalam mewujudkan keinginannya, maka segala usaha yang dilakukan tidak akan membawa hasil yang maksimal. Bahkan kegagalan dalam perjuangan tersebut diasebabkan ketidak sabaran.

Akan tetapi, untuk mempraktekkan sikap ini bukanlah hal yang mudah. Orang yang sabar mesti berjuang keras untuk menundukkan dorongan dan keinginan hawa nafsunya, terutama nafsu emosi dan nafsu syahwat. Oleh sebab itu, pembicaraan ayat al-Qur’an dan hadits Nabi mengenai akhlak sabar, disamping berbentuk perintah, larangan dan contoh tokoh yang sukses, adalah juga menjelaskan keutamaan-keutamaan yang akan diperoleh orang yang sabar. Keutamaan akhlak sabar antara lain adalah;

1. Sabar Merupakan Nama dan Akhlak Allah SWT

Allah SWT memiliki 99 nama yang baik (al-Asma’ al-Husna). Nama-nama ini sekaligus merupakan sifat yang menggambarkan kesempurnaan sifat Allah SWT yang berkaitan dengan kesabaran, yaitu : al-Shabur (Maha Sabar) dan al-Halim (Maha Lembut).

Imam Ibn Manzhur yang wafat pada tahun 711.H menjelaskan, al-Halim sebagai atribut: Allah SWT memiliki pengertian yang sama dengan al-Shabur. Arti yang terkandung dalam al-Halim adalah bahwa Allah SWT tidak murka terhadap pelanggaran orang durhaka, dan dalam al-Shabur bahwa Allah SWT tidak mempercepat hukuman kepada mereka. Perbedaan antara keduanya, orang durhaka mencemaskan hukuman (siksa) dari perbuatan maksiatnya pada al-Shabur, tidak dalam al-Halim
Manusia (al-insaan) diperintahkan berakhlak sesuai akhlak Allah SWT sebagai al-Shabur dan al-Halim. Menurut Imam al-Ghazali , pentingnya seseorang berprilaku seperti nama-nama Allah SWT dapat menghantarkan kepada kesempurnaan (al-kamal) dan kebahagiaan (al-Sa’adah). Allah SWT Maha Adil memberikan aspirasi dan sugesti agar bersikap adil;, Maha Pengasih (al-Rahman) dan Maha Penyayang (al-Rahim) memberi sugesti agar bersikap kasih saying, Maha Sabar (al-Shabur) memberi motivasi agar bersikap sabar, Allah SWT Maha Lembut (al-Halim) memberi contoh untuk penyantun atau lemah lembut dan seterusnya. Imam al-Ghazali berkata: “Kesempurnaan dan kebahagiaan hamba sangat berkaitan dengan tata cara berakhlak (al-takhalluq) dengan akhlak Allah SWT , serta menghiasi diri dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya.

2. Sabar Merupakan Sifat Nabi dan Rasul.

Para nabi dan rasul merupakan orang yang paling berat mendapatkan ujian berdasarkan sebuah hadits yang artinya: Orang yang paling keras mendapatkan ujian adalah para nabi, kemudian para ulama kemudian semisal mereka (tsuma al-amstal), kemudian semisal mereka (fa al-amtsal) Hadits Riwayat Bukhari)

Ujian yang mereka terima dalam bentuk berbeda-beda. Ada yang berbentuk penyakit atau kehilangan keluarga sebagaimana menimpa Ayyub as, ujian untuk taat seperti terjadi pada Ibrahim As, ujian kesedihan seperti dialami Ya’qub As sewaktu berpisah dengan putra kesayangannya Yusuf As dan Benyamin, ujian mengendalikan nafsu syahwat seperti dialami Yusuf As sewaktu digoda oleh Zulaikha, atau berbentuk siksaan dan penganiayaan seperti yang terjadi pada nabi Muhammad Saw.

Mereka semua berhasil menghadapi berbagai ujian tersebut. Al-Qur’an menyatakan bahwa senjata yang mereka gunakan, terutama para rasul yang mempunyai keteguhan hati (ula al-‘azam) yakni Nuh As, Ibrahim As, Musa As, Isa As dan Muhammad Saw adalah sabar.Allah SWT berfirman yang artinya :

Dan sesungguhnya telah didustakan pula rasul-rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar, terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka, sampai datang pertolongan Kami kepada mereka. (al-Qur’an Surat al-An’am ayat 34)

Dalam al-Qur’an surat al-Ahqaq ayat 35 yang artinya :

Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka.

Demikianlah pula halnya orang-orang beriman. Mereka akan senantiasa mendapat berbagai bentuk ujian berupa kesulitan-kesulitan sebagaimana para nabi dan rasul tersebut. Imam al-Ghazali menjelaskan, oerang yang lebih dekat kepada Allah SWT , menginginkan kebaikan, dan konsentarsi untuk menuju akhirat akan mendapatkan ujian lebih berat dan lebih sering , sebab Allah SWT senantiasa menguji hamba yang dicintai. Pandangan ini sesuai dengan firman-Nya:

Apakah manusia (al-insaan) itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan “kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi ? (al-Qur’an Surat al-Ankabut ayat 2).

Karena itu, disinilah letak keutamaan sabar, sebab dasar dari ibadah adalah bersabar, dalam arti sanggup menanggung penderitaan dan kesulitan dalam beribadah tersebut.

3. Orang Sabar Dicintai Allah SWT .

Adanya sikap sabar menjadikan seseorang dicintai Allah SWT , sebab orang yang sabar akan patuh melaksanakan kewajiban (al-Shabr fi Allah) dan konsisten meninggalkan semua larangan Allah SWT dan larangan Rasul-Nya (al-sabr li Allah). Ketaatan untuk menjalankan perintah dan meninggalkan larangan merupakan pekerjaan yang sangat berat sehingga orang yang mampu mengatasinya berhak untuk meraih kecintaan Allah SWT.

Sedangkan orang yang tidak sabar akan mendapatkan kemurkaan. Sebabnya karena mereka tidak mampu melaksanakan kewajiban melaksanakan ibadah dan kewajiban meninggalkan kemaksiatan. Oleh sebab itu, menurut Imam al-Ghazali, kaum murtad yang diganti dalam firman Allah SWT :

Hai oprang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya. (al-Qur’an Surat al-Maidah ayat 54).

Adalah akibat mereka berpikir rendah, tidak mencerminkan kecintaan kepada Allah SWT , lebih mencintai keburukan nafsu dan berpaling dari petunjuk-Nya. Muhammad Imam al-Ghazali menerangkan:

“Awal murtadan adalah rasa berat melaksanakan kewajiban dan senang dengan maksiat, selanjutnya hati cenderung memusuhi orang yang berada di jalan benar. Apakah nafsu dan kebatilan telah menjajah jiwa, maka seseorang menjadi ingkar terhadap Islam”.Artinya, orang yang tidak sabar menghadapi beratnya ibadah, tunduk kepada nafsu yang mengajak berbuat dosa maka akan menjadi jauh dari limpahan cinta Allah SWT.
Kecintaan terhadap Allah SWT dengan cara bersabar menjalankan beratnya ibadah dan beratnya meninggalkan larangan, akan menyebabkan lahirnya kecintaan Allah SWT sebagaimana dinyatakan dalam ayat suci al-Qur’an yang artinya :

Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (al-Qur’an Surat Ali Imran ayat 31).

Orang beriman yang melakukan perbuatan maksiat, menurut Imam al-Ghazali bukan karena mereka tidak mencintai Allah SWT . Tetapi akibat keberadaan mereka dalam tirani hawa nafsu. Sedangkan ketaatan, adalah realisasi kecintaan seorang hamba kepada Tuhan yang dicintai.

4. Sabar Mendatangkan Kesuksesan.

Terdapat banyak ayat al-Qur’an yang menyatakan bahwa Allah SWT akan membantu orang yang sabar, misalnya dalam ayat al-Quran yang artinya :

Ya (Cukup), jika kamu bersabar dan bertaqwa dan mereka dating menyerang kamu dengan sesewaktu itu juga, niscaya Allah menolong kamu dengan lima ribu Malaikat yang memakai tanda. (al-Qur’an Surat Ali Imran ayat 125)

Ayat di atas menginsyaratankan, apabila orang yang berada di medan perang bersabar, maka Allah SWT akan menurunkan bantuan sehingga mereka dapat meraih kemenangan. Ini sejalan dengan hadits nabi Saw:

“sesungguhnya kemenangan (al-nasr) akan diraih apabila disertai kesabaran”.

Kesabaran sangat dibutuhkan dalam perjuangan. Seseorang yang berada dalam pencarian, akan cepat berhasil apabila disertai kesabaran. Sabar membuat seseorang memiliki mental yang kuat sehingga mampu mengatasi kesulitan-kesulitan. Dalam konteks perjalanan seoprang sufi menuju Tuhan, maka seorang salik tidak dapat meraih derajat kedekatan tersebut tanpa dilandasi sifat sabar.

Banyak ayat menyatakan bahwa Allah SWT bersama orang yang sabar, misalnya al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 249 dan al-Qur’an Surat Al-Anfal ayat 46. Ibn al-Qayyim menerangkan, arti kebersamaan Tuhan dengan hamba-Nya yang sabar adalah kebersamaan bersifat khusus yang berarti : menjaga (al-hifzh), memenagkan (an-nashr) dan menguatkan (al-ta’yid), bukan kebersamaan yang bersifat umum yaitu: mengetahui (al-‘ilm) dan meliputi (al-ihathah). Keterangan ini menunjukkan bahwa Allah SWT mengetahui dan pengetahuan-Nya meliputi semua makhluk. Namun keistimewaan orang yang sabar dibandingkan orang yang tidak sabar adalah bahwa Allah SWT melindungi dan membantu perjuangan mereka.

5. Sabar Membawa Kebaikan

Terdapat banyak ayat al-Qur’an menyatakan bahwa sabar merupakan perbuatan baik dan orang sabar akan mendapat ganjaran lebih baik. Misalnya ayat-ayat al-Qur’an sebagai berikut yang artinya:

Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (al-Qur’an Surat Al-Nahl ayat 96.

Dan ayat al-Qur’an surat Al-Zumar ayat 10 yang artinya :

Katakanlah: Hai Hamba-hamba-Ku yang beriman, bertaqwalah kepada Tuhanmu”. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.

Dalam al-Qur’an Surat al-Qashash ayat 54 dinyatakan yang artinya sebagai berikut :

Mereka itu diberi pahala dua kali disebabkan kesabaran mereka, dan mereka menolak kejahatan dengan kebaikan, dan sebagian dari apa yang telah Kami rezkikan kepada mereka, mereka nafkahkan.

Ayat-ayat di atas menunjukkan bahwa sabar adalah perbuatan baik. Semua pekerjaan, baik berorientasi pada kesejahteraan hidup duniawi atau kebahagian ukhrawi, akan menjadi lebih baik hasilnya jika disertai kesabaran. Orang yang sabar akan mendapatkan pahala tanpa batas, di luar dugaan dan hitungan manusia (al-insaan) .

Selain beberapa keutamaan di atas, masih banyak keutamaan yang akan didapati orang yang sabar, antara lain :

1. Allah SWT menyampaikan berita gembira kepada orang yang sabar dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 155, yang artinya : Dan sungguh Kami akan mencoba kamu dengan sesuatu dari ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan, dan sampaikanlah berita gembira kepada orang yang sabar.

2. Orang sabar akan mendapatkan keberuntungan baik di dunia maupun di akhirat al-Qur’an Surat al-Qashash ayat 70, Dan Dialah Allah, tiada Tuhan melainkan Dia. Bagi-Nya segala pujian di dunia dan di akhirat. Dan bagi-Nyalah hokum dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan

3. Orang sabar akan mendapatkan keberuntungan baik di dunia maupun di akhirat al-Qur’an Surat Fusshilat ayat 35, yang artinya : Dan tiadalah ia dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar, dan tidalah ia dianugrahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar

4. Orang sabar akan mendapatkan keberuntungan baik di dunia maupun di akhirat al-Qur’an Surat al-Thallaq ayat 3, yang artinya : dan Dia akan memberikan rezeki kepadanya dengan tiada terkira. Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Dia mencukupkannya.Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan-Nya. Sungguh Allah menjadikan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.


5. Orang sabar akan mendapatkan keberuntungan baik di dunia maupun di akhirat al-Qur’an Surat Hud ayat 49, yang artinya : Demikianlah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) di antara berita-berita gaib yang sebelumnya engkau dan kaummu tidak mengetahui. Maka bersabarlah, sesungguhnya kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertaqwa.

6. Orang sabar akan mendapatkan keberuntungan baik di dunia maupun di akhirat al-Qur’an Surat al-A’raf ayat 137, yang artinya : Dan Kami pusakakan kepada kaum yang lemah (ditindas) itu bagian timur bumi dan bagian baratnya yang telah Kami berkati di dalamnya. Dan telah sempurnalah perkataan Tuhanmu yang terbaik untuk Bani Israil disebabkan kesabaran mereka. Dan kami hancurkan apa yang telah diperbuat Fir’aun dan kaumnya dan apa yang telah mereka bangun.

7. Orang sabar selalu menjadi pemimpin al-Qur’an Surat al-Sajadah ayat 24, yang artinya : Dan Kami jadikan di anatara mereka iman-iman yang memberikan petunjuk dengan perintah Kami tatkala mereka sabar, dan adalah mereka yakin kepada ayat-ayat Kami.

8. Orang sabar mendapat kedudukan tinggi dalam surga al-Qur’an Surat al-Furqan ayat 75, yang artinya : Mereka itulah yang akan dibalas dengan derajat yang tinggi dengan sebab kesabaran mereka, dan mereka disambut di dalamnya dengan penghormatan dan keselamatan

9. Orang sabar mendapatkan karamah,al-Qur’an Surat Al-Ra’ad ayat 24, yang artinya : (dengan ucapan)”Keselamatan atas kamu dengan kesabaran kamu, maka inilah sebaik-baik tempat kesudahan”.

10. Hanya orang sabar yang mengambil pelajaran dari ayat-ayat Tuhan al-Qur’an Surat Ibrahim ayat 5, yang artinya : Dan sungguh Kami telah mengutus Musa dengan ayat-ayat Kami, “Keluarkankanlah kaummu dari gelap kepada terang dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah SWT . Sesungguhnya pada yang demikian itu sebagai tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap orang penyabar lagi bersyukur.
11. Hanya orang sabar yang mengambil pelajaran dari ayat-ayat Tuhan Saba’ ayat 19, yang artinya : Maka mereka berkata, “Ya Tuhan kami, jauhkanlah jarak perjalanan kami.” Dan mereka menganiaya diri mereka sendiri, lalu Kami jadikan mereka buah pembicaraan dan Kami hancurkan mereka sehancur-hancurnya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi tiap-tiap orang yang sabar lagi bersyukur.
12. Hanya orang sabar yang mengambil pelajaran dari ayat-ayat Tuhan Al-Syura ayat 32-33). Yang artinya : Dan diantara tanda-tanda (kekua- saan)-Nya, perahu-perahu (yang berlayar) di laut seperti gunung-gunung . 33. Jika Allah menghendaki, Dia akan menenangkan angin, maka jadilah (perahu-perahu itu) tetap di atas permukaannya. Sesungguhnya pada yang demikian itu menjadi tanda-tanda (kekuasaan Allah ) bagi setiao orang yang banyak bersabar lagi banyak bersyukur.

13. Sabar juga disandingkan dengan prinsip-prinsip Islam dan iman, seperti, taqwa, tawakal, syukur, amal shaleh dan rahmat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar