Minggu, 08 November 2009

PSIKOLOGI AGAMA MENURUT IMAM AL-GHAZALI

Oleh : DR.H.Ridjaluddin.FN.,M.Ag
Dosen FAI Uhamka Jakarta


A. PEMAHAMAN PSIKOLOGI AGAMA

Psikologi yang membahas tentang olah jiwa, perbaikan akhlak, dan terapi akhlak tercela; Al-Ghazali sebagai pembaharu dan pengagas yang tidak bertaklid kepada filosofi sebelumnya, Al-Ghazali punya cara yang efektif dalam memperbaharui prilaku manusia. Dia telah mendahului para psikolog dan para ahli psikoanalisa modern. Sangat memperhatikan studi tentang jiwa ( ma'rifat an-nafs ) adalah jalan mengenal Tuhan ( ma'rifatullah ), Ma'arij al-Quds Fi Madarij Ma'rifat an-nafs . Terlihat keagungan sang pemilik (Allah) kebenaran dan kesempurnaan adalah ma'rifat jiwa (ma'rifat an – nafs) Sabda Nabi Muhammad;

"Man arafa nafsahu faqad arafa rabbahu, artinya: Barang siapa mengetahui akan dirinya, sesungguhnya ia mengetahui akan tuhan-Nya (pemelihara-Nya)".

Firman Allah SWT dalam al-Qur'an surat Fushillat ayat (41) ayat 53 yang menyatakan sebagai berikut :

سَنُرِيهِمْ ءَايَاتِنَا فِي اْلأَفَاقِ وَفِي أَنفُسِهِمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ

"Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda–tanda (kekuasaan) kami disegenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur'an itu benar ".

Dan surat Adz-Dzariyat (51) ayat 20-21 yang menyatakan sebagai berikut :

وَفِي اْلأَرْضِ ءَايَاتٌ لِّلْمُوقِنِينَ {} وَفِي أَن
فُسِكُمْ أَفَلاَ تُبْصِرُونَ

“Dan di bumi ada tanda-tanda (kekuasaan) Allah bagi orang-orang yang yakin. Dan juga pada diri kami sendiri, maka apakah kamu tidak memperhatikan ?”.

Mengenal Tuhannya; sifat-sifat perbuatan-perbuatanya, susunan alam, malaikat, langkah syetan, misi kerasulan, metode wahyu, metode mu'jizat, akhirat, puncak kebahagiaan (ghayat as-Sa'adah), yang tidak lain pertemuannya dengan Allah :

"Araftu rabbi bi rabbie laula rabbie lammaa araftu rabbie " yang artinya "aku mengetahui Tuhan dengan pengetahuanku (berpikir) tentang Tuhan jika tidak karena Tuhan aku belum mengetahui Tuhan."

Jiwa menurut Al-Ghazali, mengikuti pendapat Ibnu Sina, Al-Farabi dan Aristoteles tentang jiwa: Jiwa tumbuh- tumbuhan, jiwa hewan dan jiwa manusia. Al-Ghazali sangat terpengaruh pemikiran-pemikiran Aristoteles.

Al-Ghazali berkata : Jiwa adalah kesempurnaan pertama, tidak bersifat buatan. Kata Aliyin ( mekanistik ) bahwa jiwa memiliki alat-alat tertentu yang dipakai kesempurnaan nya (sama dengan pendapat Ibnu Sina ) dalam definisi jiwa, yang fungsi-fungsi kemanusiaan bersifat fisik dan psikis.

Sebelum melangkah kepada pembahasan tentang tazkiyat al-naf's (pembersihan jiwa ) menurut Al Ghazali, ada baiknya di ketahui lebih dahulu konsepsi Al-Ghazali tentang manusia dan jiwa manusia, apakah hakikat manusia itu ? Dan apakah yang di maksud dengan jiwa itu sendiri ? Hal ini disebabkan pembahasan tentang tazkiyat al-nafs terkait erat dengan masalah jiwa manusia itu sendiri.

Menurut Al-Ghazali, manusia itu tersusun dari unsur materi dan immateri atau jasmani dan rohani yang berfungsi sebagai abdi dan khalifah di bumi. Sungguhpun demikian, ia lebih menekankan pengertian hakikat kejadian manusia pada rohani dan jiwa manusia itu sendiri. Manusia itu pada hakikatnya adalah jiwanya. Jiwalah yang membedakan manusia dengan makhluk - makhluk Allah lainnya. Dengan jiwa, manusia biasa merasa, berfikir, berkemauan, dan berbuat lebih banyak. Tegasnya, jiwa itulah menjadi hakikat yang hakiki dari manusia karena: sifatnya yang latif, rohani, rabbani, dan abadi sesudah mati.

Keselamatan dan kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat banyak tergantung pada keadaan jiwanya. Sebab jiwa merupakan pokok dari agama, asas bagi orang yang berjalan menuju Allah, serta tempat bergantung ketaatan atau kedurhakaan manusia kepada Allah. Jiwalah yang pada hakikatnya taat, durhaka, atau ingkar kepada Allah. Jadi, unsur jiwa sangat di tekankan. Oleh Imam Al-Ghazali dalam konsepnya tentang manusia dari unsur badan ( materi ).

B. JIWA MENURUT PEMIKIRAN AL-GHAZALI.

Untuk menunjuk kepada pengertian jiwa itu ia menggunakan istilah yaitu an-nafs, al-ruh, al-`aql, dan al- qalb. Keempat istilah itu di tinjau dari segi kejiwaan hampir sama artinya tetapi dari segi fisik berbeda arti. Menurut Imam Al- Ghazali keempat istilah itu masing-masing memiliki dua arti yaitu arti khusus dan umum. Arti pertama, Al-qalb adalah al- qalb al-jasmani atau al-lahm al-sanubari, yaitu daging khusus yang berbentuk seperti jantung pisang yang terletak di sebelah dalam dada sebelah kiri. Qalb dalam pengertian yang pertama ini erat hubungannya dengan ilmu kedokteran dan tidak banyak menyangkut maksud agama serta kemanusiaan. Qalb itu juga ada pada hewan. Kedua, dalam pengertian jiwa yang bersifat latif, rohaniah, rabbaniah, dan mempunyai hubungan dengan qalb jasmani. Qalb dalam pengertian kedua inilah yang merupakan hakikat manusia karena sifat dan keadaannya yang bisa merasa, kemauan, berfikir, mengenal, beramal, ditunjukan perintah dan larangan, serta pahala dan siksa Allah.

Istilah kedua ar-ruh (roh). Arti pertama ruh adalah jisim yang latif ( halus ), dan bersumber di dalam qalb al–jasmani (kalbu jasmani ). Roh ini memancar ke seluruh tubuh melalui nadi, urat, dan darah. Cahaya pancarannya membawa kehidupan manusia, seperti ia dapat merasa, mengenal dan befikir. Ibaratnya seperti cahaya lampu yang menerangi seluruh rumah, cahaya hidup yang di hasilkan roh memancarkan sinarnya ke dalam tubuh.

Dalam istilah kedokteran arti pertama ini di sebut roh jasmani yang terbit dari panas gerak qalb yang menghidupi manusia. Arti kedua dari roh ialah roh rohani yang bersifat kejiwaan, yang memiliki daya rasa, kehendak, dan berfikir, seperti pengertian al-qalb yang kedua. Roh dalam pengertian kedua inilah yang dimaksud ayat al-Qur' an sebagai berikut:

وَيَسْئَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي
وَمَآأُوتِيتُم مِّنَ الْعِلْمِ إِلاَّ قَلِيلاً

" Mereka bertanya kepada engkau tentang roh. Katakan: Roh itu urusan Tuhanku, dan tidaklah kamu diberi ilmu tentangnya, kecuali sedikit sekali ". ( QS Al-Isra’(17) : 85 )

Istilah ketiga adalah al - nafs (jiwa). Arti pertama al-nafs ialah kekuatan hawa nafsu yang terdapat dalam diri manusia yang merupakan sumber bagi timbulnya akhlak tercela. Inilah pengertian nafsu yang di maksud ahli tasawuf umumnya. Jika mereka mengatakan: " Mari berjihad melawan hawa nafsu!", maksudnya adalah berjihad melawan kekuatan nafsu syahwat perut, kemaluan (faraj), dan marah, ketiga syahwat itu merupakan sumber bagi timbulnya akhlak dan sifat tercela. Arti kedua al-nafs ialah jiwa rohani yang bersifat latif, rabbani, dan kerohanian.

Al-nafs dalam pengertian kedua inilah yang merupakan hakikat, diri, dan zat dari manusia. Al-nafs dalam pengertian kedua di atas memiliki tiga sifat dan tingkatan yang berbeda sesuai dengan perbedaan keadaannya masing-masing. Al-nafs yang memiliki ketenangan dan ketentraman dalam mengemban amanat Allah dan tidak mengalami kegoncangan disebabkan tantangan yang ditimbulkan oleh hawa nafsu di sebut al- nafs al-muthma'inat ( jiwa yang tenang). Kepada jiwa ini Allah SWT menghimbau dengan himbauan sebagai berikut:

يَاأَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ {} ارْجِعِي إِلىَ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَةً {} فَادْخُلِي فيِ عِبَادِي {} وَادْخُلِي جَنَّتِي

"Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan perasaan ridha lagi diridhai, dan masuklah di dalam golongan hamba-hamba-Ku serta surga-Ku ".(QS.Al-Fajr (89): 29 ).

Kalau al-nafs dalam pengertian kedua kembali kehadirat Allah, maka al-nafs dalam pengertian pertama tidak, karena keadaannya yang tidak tenang dan menyerupai sifat syetan. Selanjutnya, al-nafs yang tidak memiliki ketenangan yang sempurna karena menjadi pendorong timbulnya hawa nafsu dan sekaligus juga penantang disebut al-nafs al- lauwamat, yaitu jiwa yang masih mau menyalahkan dirinya ketika lalai dalam mengingat dan beribadah kepada Allah. Kepada jiwa al-lauwamat ini Allah bersumpah dalam ayat berikut :

وَلآأُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ

Tidak! Aku bersumpah dengan al-nafs yang menyalahkan diri sendiri. (QS.Al-Qiyamat (75) :2)

Akhirnya, al-nafs yang menenggelamkan dirinya dalam kejahatan, mengikuti nafsu marah, syahwat, perut, dan godaan setan dinamakan al-nafs al-ammarat (jiwa yang jahat karena suka mendorong orang berbuat dosa ). Kepada jiwa ini Allah mengingatkan manusia sebagai berikut:

وَمَآأُبَرِّئُ نَفْسِي إِنَّ النَّفْسَ لأَمَّارَةٌ بِالسُّوء
ِ إِلاَّ مَارَحِمَ رَبِّي إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَّحِيمٌ

"Aku bukan membebaskan diriku dari kesalahan, sesungguhnya nafsu itu suka menyuruh orang berbuat jahat, kecuali orang (al-nafs) yang di rahmati Tuhanku sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang ".(QS.Yusuf (12) : 53).

Nafsu yang suka menyuruh kepada kejahatan itu ialah al-nafs dalam pengertian pertama yang memiliki sifat tercela. Sedang al-nafs dalarn pengertian kedua adalah hakikat, diri, dan zat manusia karena memiliki sifat latif, rabbani, dan rohani. Istilah keempat ialah akal juga memiliki dua makna. Makna pertama ialah ilmu tentang hakikat segala sesuatu. Dalam pengertian ini akal dapat diibaratkan sebagai sifat ilmu yang bertemapt di jiwa ( al-qlabu ). Jadi, pengertian akal pada tingkat pertama ini di tekankan pada ilmu dan sifatnya. Aka1 dalam pengertian kedua adalah akal rohani yang memperoleh ilmu pengetahuan itu sendiri (al-mudrak Ii al-`ulum ).Akal itu tidak lain adalah jiwa (al-qalb) yang bersifat latif, rabbani, dan rohani yang merupakan hakikat, diri dan zat manusia.

Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa istilah al- qalb, al-ruh, al-nafs, dan al-`aql dalam pengertian pertama berbeda, dan dalam perngertian kedua banyak persamaan. Dalam pengertian pertama al-qalb berarti kalbu jasmani, al- ruh yang berarti roh jasmani yang latif, al-nafs yang berarti hawa nafsu dan sifat pemarah, serta al-‘aql yang berarti ilmu. Sedang dalam pengertian kedua, keempat istilah itu sama artinya, yaitu jiwa yang bersifat latif, rabbani, dan rohani yang merupakan hakikat, diri dan zat dari manusia. Oleh karena itu, manusia dalam pengertian pertama (fisik) tidak kembali kepada Allah dan dalam pengertian kedua (jiwa) kembali kepada-Nya.

Dalam menjelaskan jiwa dalam pengertian kedua, Al-Ghazali mengibaratkan manusia sebagai sebuah kerajaan. Sebagai kerajaan rajanya adalah jiwa, wilayahnya adalah tubuh, serta alat indera dan anggota badan lainnya sebagai tentaranya. Akal sebagai wazir, serta hawa nafsu dan sifat marah sebagai polisinya. Raja dan wazir selalu berusaha membawa manusia kejalan yang baik dan di ridhai Allah. Sebaliknya, hawa nafsu dan sifat marah selalu mengajak manusia ke jalan yang sesat dan di murkai Allah. Agar tercipta ketenangan dan kebahagian dalam kerajaan (diri manusia), kekuasaan raja dan wazir harus berada di atas kekuasaan hawa nafsu dan sifat marah. Kalau sebaliknya yang terjadi , pertanda kerajaan itu akan runtuh dan binasa.

Dari perumpamaan di atas jelas bahwa jiwa dalam pengertian yang kedua merupakan hakikat, diri dan zat manusia karena fungsinya yang besar dalam kehidupan, penentu nasib baik atau buruknya manusia di dunia dan akhirat. lbarat kerajaan atau kendaraan, jiwa adalah raja atau pengemudi yang amat menentukan keselamatan atau kesengsaraan rakyat atau penumpangnya.

C.PEMBAGIAN JIWA MENURUT PENDAPAT AL-GHAZALI.

Al-Ghazali membagi fungsi jiwa dalam tiga bagian, sama dengan Ibnu Sina, yaitu jiwa tumbuh-tumbuhan (nabatah), hewan (hayawanat), dan manusia (al-Insan). Masing-masing jiwa ini memiliki daya yang tidak sama. Jiwa nabatah memiliki jiwa makan, tumbuh, dan berkembang. Jiwa hewan memiliki jiwa gerak, tangkap, dan khayal. Jiwa manusia memiliki jiwa daya akal, praktis, dan teoritis. Daya praktis erat hubungannya dengan hal-hal yang bersifat badani (amal), dan daya teoritis berkaitan dengan hal-hal yang bersifat abstrak (ilmu). Dengan kata lain, daya praktis menimbulkan akhlak, dan daya teoritis membuahkan ilmu. Daya teoritis terbagi menjadi empat tingkatan :

• Pertama, tingkatan akal materiil yang hanya mempunyai potensi untuk berfikir dan belum terlatih sedikitpun.
• Kedua, akal bi al-milkat yang telah terlatih berfikir tentang hal-hal yang abstrak.
• Ketiga, akal aktual yang dapat berfikir tentang hal-hal yang abstrak.
• Keempat, akal qudsi sebagai tingkatan akal yang paling tinggi, yaitu dapat berfikir tentang ha1-hal yang abstrak dengan mudah dan sanggup menerima limpahan ilmu pengetahuan dari Allah.

Dengan demikian, menurut Al Ghazali manusia sebagai makhluk Allah yang paling sempurna jika dibandingkan dengan makhluk lainnya. Sebagai halnya Ibnu Sina, Al-Ghazali juga berpendapat bahwa akhlak dan sifat seseorang sangat tergantung pada jenis jiwa yang berkuasa atas dirinya sehingga bisa saja akhlak dan sifat orang tersebut dapat menyerupai nabati dan hewan. Jika jiwa insani yang berpengaruh dan berkuasa, akan terbentuk manusia insanul kamil. Menurut Al-Ghazali, jiwa yang merupakan hakikat, diri, dan zat manusia itu adalah jauhar ( substansi ) rohani, bukan `aradh ( aksiden ) dan bersih dari sifat kebendaan. Jiwa mempunyai wujud sendiri yang terlepas dari badan. Wujud dan hakikat jiwa berasal dari alam gaib, sedang wujud dan hakikat badan berasal dari dalam materi. Badan itu bukan tempatnya jiwa karena sesuatu yang bersifat jauhar (substansi, zat, hakikat) tidak mendiami suatu tempat tertentu.

Badan itu adalah alat bagi jiwa, sedangkan badan tidak bisa memperalat jiwa. Karena terdapat perbedaan mendasar dan besar antara jiwa dan badan dalam wujud dan hakikat, dalam fungsi dan sifatnya juga terdapat perbedaan yang besar. Jiwa bersifat baqa, sedang badan dalam wujudnya bersifat fana.

Kalau Al-Ghazali menekankan unsur kejiwaan dalam konsepsinya tentang manusia, pandangnnya itu berarti hakikat, zat, dan inti kehidupan manusiat terletak pada unsur kejiwaannya. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika ia sangat menaruh perhatian pada soal kebahagiaan dan kesempurnaan jiwa serta ketinggian akhlak manusia dalam hidupnya. Menurut Hasan Langgulung, pandangan Al-Ghazali mengenai jiwa erat hubungannya dengan ilmu jiwa (psikologi) Pemikiran-pemikirannya tentang kejiwaan dalam Islam kalau dikaji secara mendalam akan sampai pada kesimpulan bahwa ia adalah " psikologi muslim terbesar".

Pengaruhnya dalam psikologi dan pemikirannya tentang pembagian jiwa dan fungsi dalam psikologi dan mempengaruhi psikologi modern. Pendapat tentang motivasi, pembentukan kebiasaan, kemauan, pengamatan, ingatan, dan daya khayal, merupakan sumbangan yang besar terhadap perkembangan psikologi modern. Lebih dari itu ia mengkaji jiwa sebagai substansi rohani dari manusia, suatu kajian yang belum mampu dilakukan para psikologi modern dewasa ini. Prof Dr.Hj Zakiyah Darajat mengenai ajaran Islam tentang kejiwaan di bandingkan dengan pemikiran Al-Ghazali tentang kejiwaan menyimpulkan bahwa Al-Ghazali adalah tokoh penting dalam ilmu jiwa atau " psikologi Agung " yang karya-karyanya tentang ilmu jiwa bersumber kepada Al-Qur'an dan hadits.

Kesimpulan tentang Al Ghazali tidak bisa dipisahkan dari ketinggian konsepsi Al Ghazali tentang manusia serta pendapatnya tentang jiwa dan akhlak. Sebab, ia tidak saja menganggap ilmu jiwa sebagai ilmu tingkah laku tetapi menganggapnya sebagai ilmu yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, temasuk aspek kehidupan manusia, dan aspek ketuhanan (Agama) merupakan bagian ilmu jiwa di samping ilmu akhlak.

Ditekankannya unsur jiwa dalam konsepsi Al-Ghazali tentang manusia sama sekali tidak berarti ia mengabaikan unsur jasmani manusia. Unsur ini juga dipentingkan karena rohani sangat memerlukan jasmani dalam melaksanakan kewajibannya beribadah kepada Allah dan menjadi khalifah-Nya di bumi. Seseorang tidak akan mungkin sampai kepada Allah dan beramal dengan baik selama jasmaninya tidak sehat.

Kehidupan jasmani yang sehat merupakan jalan kepada kehidupan rohani yang baik. Dengan menghubungkan kehidupan jasmani dengan kehidupan dunia, dunia akan menjadi ladang bagi kehidupan akhirat, dan merupakan salah satu manzilnya hidayah Allah. Karena kehidupan dunia (jasmani ) merupakan tangga bagi kehidupan akhirat (rohani), memelihara, membina, mempersiapkan, dan memenuhi keperluannya agar tidak binasa adalah juga perlu (wajib ).

Sungguhpun Al-Ghazali mengatakan bahwa wujud dan hakikat jiwa jauh berbeda dengan wujud dan hakikat badan. Hal ini berarti antara keduanya terdapat hubungan saling mempengaruhi yang terjadi melalui al- ruh. Jiwa harus berhubungan dengan badan karena manusia adalah makhluk metafisik.

Oleh karena itu, ia mengibaratkan manusia sebagai sebuah kerajaan atau kendaraan yang sedang berjalan yang menghendaki keseimbangan dalam perjalanannya. Katakanlah seperti raja dengan kerajaannya, begitu juga jiwa dengan badan. Warga kerajaan seperti daya - daya jiwa (nalar, nafsu, dan amarah) bekerja sama di bawah perintah raja. Sebagai rakyat (anggota-anggota badan) dan tentara (emosi) harus melakukan tugasnya sesuai dengan perintah jiwa.

Al-Ghazali menukilkan pendapat Ibnu Sina, Al-Farabi sebelumnya dalam bukunya " An-Najat wal Ahwal an-nafs":

• Akal potensial (hayulani) sebagai stimulasi rasional kepada manusia misalnya; untuk belajar menulis,
• AkaI property/kepemilikan ( bilmalakah ) pembenaran tanpa usaha; al-ilm adh-Dharuriyah, pengantar menuju hal-hal yang rasional yang kedua,
• Aka1 Aktual (bil fi'li) hal-hal rasional yang tersimpan serta dapat dimunculkan kembali kapan saja tanpa beban dan usaha.
• Akal mustafad ( akal kudus ) keluar dari daya untuk berubah menjadi aksi sebagai akibat hubungan dengan akal.

Akal mustafad, jenis hewan dan manusia mengalami proses kesempurnaan, daya manusia mirip dengan seluruh prinsip eksistensi. Akal haluyani (akal potensial) tidaklah sama pada manusia, jiwa manusia adalah berbeda dengan masing-masing orang sesuai keadaannya. Jiwa memancar dari prinsip-prinsip sesuai dengan kesiapan. Jiwa seorang yang dungu tidak pernah mengalami proses berfikir yang sama.

Dalam hal jiwa pada manusia Al-Ghazali sangat mengkaitkan dengan beberapa hal, Akal Teoritis, Dorongan dan Emosi, dan Kesatuan Jiwa Manusia :

Akal Teoritis, Dalam al-Qur’an surat an-Nur (24) ayat: 35 dinyatakan bahwa Allah SWT menegaskan sbb:

اللهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ

“Allah adalah cahaya bagi langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya adalah seperti lubang yang didalamnya ada pelita”

Adapun lengkapnya ayat tersebut adalah sebagai berikut :

اللهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ الْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُوقَدُ مِن شَجَرَةٍ مُّبَارَكَةٍ زَيْتُونَةٍ لاَّشَرْقِيَّةٍ وَلاَغَرْبِيَّةٍ يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ نُّورٌ عَلَى نُورٍ يَهْدِي اللهُ لِنُورِهِ مَن يَشَآءُ وَيَضْرِبُ اللهُ اْلأَمْثَالَ لِلنَّاسِ وَاللهُ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌ

Al-Ghazali menafsirkan ayat tersebut dengan mengatakan Misykat (lubang yang tembus) adalah perumpamaan akal haluyani (akal potensial). Jika misykat siap ditempati cahaya, maka jiwa secara fitrah siap menerima cahaya akal. Dengan ide-ide yang tepat, maka ia bagaikan pohon memiliki cabang-cabang yang banyak, demikian juga ide mempunyai berbagai seni seni jika kuat bagaikan minyak zaitun yang meneranginya, bagaikan lampu.

Jika hal-hal rasional sampai kepadanya, maka ia adalah cahaya diatas cahaya atau akal mustafad diatas akal fitrah. Ia merupakan cahaya yang berasal dari amru rabbihi diatas cahaya kenabian. Allah memberi petunjuk untuk cahaya-Nya kepada orang-orang yang di kehendaki. Penisbatan akal aktif kejiwa layaknya penisbatan matahari ke mata kita. Mata dapat melihat karena cahaya matahari begitu pula jiwa dapat berfikir jika cahaya akal aktif menyinarinya.

Pengetahuan indra sebagai langkah awal untuk memperoleh pengetahuan rasional. Jiwa rasional menelaah gambar-gambar indrawi diberi makna-makna dalam prespektif akal aktif. Akal manusia dengan tabiatnya siap untuk menangkap semua stimulasi rasional. Perenungan jiwa terhadap hal-ha1 yang abstrak menjadi perenungan yang paling utama, paling jelas dan paling nikmat. Badan kadang-kadang menjadi penghalang terhadap kenikmatan yang paling mulia.

Dorongan dan Emosi, Emosi menjadi isi daya hasrat manusia, syahwat dan emosi untuk memuaskan segala kebutuhannya ; makan, minum, pakaian, menikah, mempertahankan diri, menolak bahaya, balas dendam. Al-Ghazali berpendapat 4 sifat dalam dirinya; Subuiyyah (hewan buas), Bahimiyah (hewan liar), Syaitoniyah (syetan,iblis), rabbaniyah (ketuhanan). Jika emosi menguasai dirinya maka ia akan berprilaku seperti binatang jika rabbaniyah ada pada dirinya, maka dia menganggap dirinya memiliki sifat ketuhanan, sangat cinta kekuasaan, kebesaran kediktatoran, lepas dari ubudiyah, merasa berilmu dan berpengetahuan padahal dirinya kosong akan ilmu, ambisi tinggi dan seterusnya. Empat sifat mengandung dorongan fitrah, bakat, maka Al-Ghazali memasukan akhlak yang bersumber dari dorongan bakat ke dalam empat sifat yang dimilki manusia.

Kesatuan Jiwa Manusia, Akal mustafad adalah pemimpin absolut yang dilayani semua daya jiwa yang lain, sebagai tujuan akhir. Akal aktual dilayani akal bilmalakah (akal kepemilikan), dilayani akal haluyani (akal potensial). Akal mustafad, akal aktual, akal bilmalakah, akal haluyani, semua itu dalam tingkatan akal teoritis. Akal teoritis, dilayani akal praktis yang mengatur badan dalam menyempurnakan akal teoritis.

Akal praktis dilayani wahan ( khayal dan fantasi ) dilayani 2 daya sebelumnya (daya hewan) dan daya sesudahnya (memori) daya fantasi dilayani 2 daya (daya khayalan dan fantasi) daya hasrat mentaati perintah-perintah daya fantasi yang mendorong bergerak. Khayalan dilayani indra kolektif dan panca indra, daya hasrat dilayani syahwat, dan emosi dilayani oleh penggerak aktif. Jiwa manusia bekerja dalam kerjasama total, satu kesatuan yang utuh melaksanakan berbagai fungsi kejiwaan. Urutannya ialah, akal mustafad, akal aktual, akal bilmalakah, akal haluyani, akal teoritis, akal praktis, wahan (khayal dan fantasi), daya hewan dan daya memori.

Metode Al-Ghazali dalam memperbaiki Prilaku

Al-Ghazali menjadikan kasus sehat dan sakit pada badan sebagai contoh untuk menjelaskan kasus sehat dan sakit pada jiwa. Normalitas pada akhlak merupakan kesehatan jiwa, dan kecenderungan untuk menjauhi normalitas adalah penyakit dan gangguan. Dari beberapa uraian Al-Ghazali tentang hubungan jiwa dengan badan bahwa yang dikehendakinya adalah terciptanya keserasian antara keduanya. Dengan kata lain, ia tidak menginginkan adanya ketidakserasian antara jiwa dalam konsep manusia dan pendidikan, penyebabnya tidak bisa terlepas dari situasi dan kondisi yang mengitarinya, seperti krisis yang melanda masyarakat di bidang agama, sosial, politik, intelektual, moral, dan spiritual, maupun krisis yang melanda dirinya sendiri tidak dapat merasakan kabahagiaan dengan kemewahan materiil yang dicapai. Ditekankannya unsur kejiwaan dalam memperbaiki masyarakat sama sekali tidak terlepas dari usahanya untuk mengharmoniskan kedua unsur kehidupan manusia tersebut.

Sebab, dalam perjalanan hidupnya, Al-Ghazali adalah sosok manusia yang tidak merasa puas dengan metode ilmu yang terlalu mementingkan logika. Ditengah-tengah kemasyhurannya sebagai ilmuwan di bidang filsafat, fiqih, dan ilmu pengetahuan umum lainnya, ia merasa kegelisahan batinnya. Di tengah kemewahan hidup dan kelengkapan fasilitas yang di perolehnya sebagai ahli ilmu kerajaan, jiwanya merasakan kehampaan yang mengakibatkannya menekuni dunia tasawuf secara total. Situasi dan kandisi itu sangat mempengaruhi corak pemikirannya tentang jiwa dan hakikat kehidupan. Konsep insanul kamil (manusia sempurna) menurut Al Ghazali adalah muthi'at (orang yang taat kepada Allah dan rasul-Nya). Ketaatan dan insanul kamil adalah dua nama yang wujud, hakikatnya bersamaan, dan sama sekali tidak terdapat perbedaan yang prinsipil.Alhamdulillah

PSIKOLOGI AGAMA MENURUT IMAM AL-GHAZALI

Oleh : DR.H.Ridjaluddin.FN.,M.Ag
Dosen FAI Uhamka Jakarta


A. PEMAHAMAN PSIKOLOGI AGAMA

Psikologi yang membahas tentang olah jiwa, perbaikan akhlak, dan terapi akhlak tercela; Al-Ghazali sebagai pembaharu dan pengagas yang tidak bertaklid kepada filosofi sebelumnya, Al-Ghazali punya cara yang efektif dalam memperbaharui prilaku manusia. Dia telah mendahului para psikolog dan para ahli psikoanalisa modern. Sangat memperhatikan studi tentang jiwa ( ma'rifat an-nafs ) adalah jalan mengenal Tuhan ( ma'rifatullah ), Ma'arij al-Quds Fi Madarij Ma'rifat an-nafs . Terlihat keagungan sang pemilik (Allah) kebenaran dan kesempurnaan adalah ma'rifat jiwa (ma'rifat an – nafs) Sabda Nabi Muhammad;

"Man arafa nafsahu faqad arafa rabbahu, artinya: Barang siapa mengetahui akan dirinya, sesungguhnya ia mengetahui akan tuhan-Nya (pemelihara-Nya)".

Firman Allah SWT dalam al-Qur'an surat Fushillat ayat (41) ayat 53 yang menyatakan sebagai berikut :

سَنُرِيهِمْ ءَايَاتِنَا فِي اْلأَفَاقِ وَفِي أَنفُسِهِمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ

"Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda–tanda (kekuasaan) kami disegenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur'an itu benar ".

Dan surat Adz-Dzariyat (51) ayat 20-21 yang menyatakan sebagai berikut :

وَفِي اْلأَرْضِ ءَايَاتٌ لِّلْمُوقِنِينَ {} وَفِي أَن
فُسِكُمْ أَفَلاَ تُبْصِرُونَ

“Dan di bumi ada tanda-tanda (kekuasaan) Allah bagi orang-orang yang yakin. Dan juga pada diri kami sendiri, maka apakah kamu tidak memperhatikan ?”.

Mengenal Tuhannya; sifat-sifat perbuatan-perbuatanya, susunan alam, malaikat, langkah syetan, misi kerasulan, metode wahyu, metode mu'jizat, akhirat, puncak kebahagiaan (ghayat as-Sa'adah), yang tidak lain pertemuannya dengan Allah :

"Araftu rabbi bi rabbie laula rabbie lammaa araftu rabbie " yang artinya "aku mengetahui Tuhan dengan pengetahuanku (berpikir) tentang Tuhan jika tidak karena Tuhan aku belum mengetahui Tuhan."

Jiwa menurut Al-Ghazali, mengikuti pendapat Ibnu Sina, Al-Farabi dan Aristoteles tentang jiwa: Jiwa tumbuh- tumbuhan, jiwa hewan dan jiwa manusia. Al-Ghazali sangat terpengaruh pemikiran-pemikiran Aristoteles.

Al-Ghazali berkata : Jiwa adalah kesempurnaan pertama, tidak bersifat buatan. Kata Aliyin ( mekanistik ) bahwa jiwa memiliki alat-alat tertentu yang dipakai kesempurnaan nya (sama dengan pendapat Ibnu Sina ) dalam definisi jiwa, yang fungsi-fungsi kemanusiaan bersifat fisik dan psikis.

Sebelum melangkah kepada pembahasan tentang tazkiyat al-naf's (pembersihan jiwa ) menurut Al Ghazali, ada baiknya di ketahui lebih dahulu konsepsi Al-Ghazali tentang manusia dan jiwa manusia, apakah hakikat manusia itu ? Dan apakah yang di maksud dengan jiwa itu sendiri ? Hal ini disebabkan pembahasan tentang tazkiyat al-nafs terkait erat dengan masalah jiwa manusia itu sendiri.

Menurut Al-Ghazali, manusia itu tersusun dari unsur materi dan immateri atau jasmani dan rohani yang berfungsi sebagai abdi dan khalifah di bumi. Sungguhpun demikian, ia lebih menekankan pengertian hakikat kejadian manusia pada rohani dan jiwa manusia itu sendiri. Manusia itu pada hakikatnya adalah jiwanya. Jiwalah yang membedakan manusia dengan makhluk - makhluk Allah lainnya. Dengan jiwa, manusia biasa merasa, berfikir, berkemauan, dan berbuat lebih banyak. Tegasnya, jiwa itulah menjadi hakikat yang hakiki dari manusia karena: sifatnya yang latif, rohani, rabbani, dan abadi sesudah mati.

Keselamatan dan kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat banyak tergantung pada keadaan jiwanya. Sebab jiwa merupakan pokok dari agama, asas bagi orang yang berjalan menuju Allah, serta tempat bergantung ketaatan atau kedurhakaan manusia kepada Allah. Jiwalah yang pada hakikatnya taat, durhaka, atau ingkar kepada Allah. Jadi, unsur jiwa sangat di tekankan. Oleh Imam Al-Ghazali dalam konsepnya tentang manusia dari unsur badan ( materi ).

B. JIWA MENURUT PEMIKIRAN AL-GHAZALI.

Untuk menunjuk kepada pengertian jiwa itu ia menggunakan istilah yaitu an-nafs, al-ruh, al-`aql, dan al- qalb. Keempat istilah itu di tinjau dari segi kejiwaan hampir sama artinya tetapi dari segi fisik berbeda arti. Menurut Imam Al- Ghazali keempat istilah itu masing-masing memiliki dua arti yaitu arti khusus dan umum. Arti pertama, Al-qalb adalah al- qalb al-jasmani atau al-lahm al-sanubari, yaitu daging khusus yang berbentuk seperti jantung pisang yang terletak di sebelah dalam dada sebelah kiri. Qalb dalam pengertian yang pertama ini erat hubungannya dengan ilmu kedokteran dan tidak banyak menyangkut maksud agama serta kemanusiaan. Qalb itu juga ada pada hewan. Kedua, dalam pengertian jiwa yang bersifat latif, rohaniah, rabbaniah, dan mempunyai hubungan dengan qalb jasmani. Qalb dalam pengertian kedua inilah yang merupakan hakikat manusia karena sifat dan keadaannya yang bisa merasa, kemauan, berfikir, mengenal, beramal, ditunjukan perintah dan larangan, serta pahala dan siksa Allah.

Istilah kedua ar-ruh (roh). Arti pertama ruh adalah jisim yang latif ( halus ), dan bersumber di dalam qalb al–jasmani (kalbu jasmani ). Roh ini memancar ke seluruh tubuh melalui nadi, urat, dan darah. Cahaya pancarannya membawa kehidupan manusia, seperti ia dapat merasa, mengenal dan befikir. Ibaratnya seperti cahaya lampu yang menerangi seluruh rumah, cahaya hidup yang di hasilkan roh memancarkan sinarnya ke dalam tubuh.

Dalam istilah kedokteran arti pertama ini di sebut roh jasmani yang terbit dari panas gerak qalb yang menghidupi manusia. Arti kedua dari roh ialah roh rohani yang bersifat kejiwaan, yang memiliki daya rasa, kehendak, dan berfikir, seperti pengertian al-qalb yang kedua. Roh dalam pengertian kedua inilah yang dimaksud ayat al-Qur' an sebagai berikut:

وَيَسْئَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي
وَمَآأُوتِيتُم مِّنَ الْعِلْمِ إِلاَّ قَلِيلاً

" Mereka bertanya kepada engkau tentang roh. Katakan: Roh itu urusan Tuhanku, dan tidaklah kamu diberi ilmu tentangnya, kecuali sedikit sekali ". ( QS Al-Isra’(17) : 85 )

Istilah ketiga adalah al - nafs (jiwa). Arti pertama al-nafs ialah kekuatan hawa nafsu yang terdapat dalam diri manusia yang merupakan sumber bagi timbulnya akhlak tercela. Inilah pengertian nafsu yang di maksud ahli tasawuf umumnya. Jika mereka mengatakan: " Mari berjihad melawan hawa nafsu!", maksudnya adalah berjihad melawan kekuatan nafsu syahwat perut, kemaluan (faraj), dan marah, ketiga syahwat itu merupakan sumber bagi timbulnya akhlak dan sifat tercela. Arti kedua al-nafs ialah jiwa rohani yang bersifat latif, rabbani, dan kerohanian.

Al-nafs dalam pengertian kedua inilah yang merupakan hakikat, diri, dan zat dari manusia. Al-nafs dalam pengertian kedua di atas memiliki tiga sifat dan tingkatan yang berbeda sesuai dengan perbedaan keadaannya masing-masing. Al-nafs yang memiliki ketenangan dan ketentraman dalam mengemban amanat Allah dan tidak mengalami kegoncangan disebabkan tantangan yang ditimbulkan oleh hawa nafsu di sebut al- nafs al-muthma'inat ( jiwa yang tenang). Kepada jiwa ini Allah SWT menghimbau dengan himbauan sebagai berikut:

يَاأَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ {} ارْجِعِي إِلىَ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَةً {} فَادْخُلِي فيِ عِبَادِي {} وَادْخُلِي جَنَّتِي

"Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan perasaan ridha lagi diridhai, dan masuklah di dalam golongan hamba-hamba-Ku serta surga-Ku ".(QS.Al-Fajr (89): 29 ).

Kalau al-nafs dalam pengertian kedua kembali kehadirat Allah, maka al-nafs dalam pengertian pertama tidak, karena keadaannya yang tidak tenang dan menyerupai sifat syetan. Selanjutnya, al-nafs yang tidak memiliki ketenangan yang sempurna karena menjadi pendorong timbulnya hawa nafsu dan sekaligus juga penantang disebut al-nafs al- lauwamat, yaitu jiwa yang masih mau menyalahkan dirinya ketika lalai dalam mengingat dan beribadah kepada Allah. Kepada jiwa al-lauwamat ini Allah bersumpah dalam ayat berikut :

وَلآأُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ

Tidak! Aku bersumpah dengan al-nafs yang menyalahkan diri sendiri. (QS.Al-Qiyamat (75) :2)

Akhirnya, al-nafs yang menenggelamkan dirinya dalam kejahatan, mengikuti nafsu marah, syahwat, perut, dan godaan setan dinamakan al-nafs al-ammarat (jiwa yang jahat karena suka mendorong orang berbuat dosa ). Kepada jiwa ini Allah mengingatkan manusia sebagai berikut:

وَمَآأُبَرِّئُ نَفْسِي إِنَّ النَّفْسَ لأَمَّارَةٌ بِالسُّوء
ِ إِلاَّ مَارَحِمَ رَبِّي إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَّحِيمٌ

"Aku bukan membebaskan diriku dari kesalahan, sesungguhnya nafsu itu suka menyuruh orang berbuat jahat, kecuali orang (al-nafs) yang di rahmati Tuhanku sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang ".(QS.Yusuf (12) : 53).

Nafsu yang suka menyuruh kepada kejahatan itu ialah al-nafs dalam pengertian pertama yang memiliki sifat tercela. Sedang al-nafs dalarn pengertian kedua adalah hakikat, diri, dan zat manusia karena memiliki sifat latif, rabbani, dan rohani. Istilah keempat ialah akal juga memiliki dua makna. Makna pertama ialah ilmu tentang hakikat segala sesuatu. Dalam pengertian ini akal dapat diibaratkan sebagai sifat ilmu yang bertemapt di jiwa ( al-qlabu ). Jadi, pengertian akal pada tingkat pertama ini di tekankan pada ilmu dan sifatnya. Aka1 dalam pengertian kedua adalah akal rohani yang memperoleh ilmu pengetahuan itu sendiri (al-mudrak Ii al-`ulum ).Akal itu tidak lain adalah jiwa (al-qalb) yang bersifat latif, rabbani, dan rohani yang merupakan hakikat, diri dan zat manusia.

Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa istilah al- qalb, al-ruh, al-nafs, dan al-`aql dalam pengertian pertama berbeda, dan dalam perngertian kedua banyak persamaan. Dalam pengertian pertama al-qalb berarti kalbu jasmani, al- ruh yang berarti roh jasmani yang latif, al-nafs yang berarti hawa nafsu dan sifat pemarah, serta al-‘aql yang berarti ilmu. Sedang dalam pengertian kedua, keempat istilah itu sama artinya, yaitu jiwa yang bersifat latif, rabbani, dan rohani yang merupakan hakikat, diri dan zat dari manusia. Oleh karena itu, manusia dalam pengertian pertama (fisik) tidak kembali kepada Allah dan dalam pengertian kedua (jiwa) kembali kepada-Nya.

Dalam menjelaskan jiwa dalam pengertian kedua, Al-Ghazali mengibaratkan manusia sebagai sebuah kerajaan. Sebagai kerajaan rajanya adalah jiwa, wilayahnya adalah tubuh, serta alat indera dan anggota badan lainnya sebagai tentaranya. Akal sebagai wazir, serta hawa nafsu dan sifat marah sebagai polisinya. Raja dan wazir selalu berusaha membawa manusia kejalan yang baik dan di ridhai Allah. Sebaliknya, hawa nafsu dan sifat marah selalu mengajak manusia ke jalan yang sesat dan di murkai Allah. Agar tercipta ketenangan dan kebahagian dalam kerajaan (diri manusia), kekuasaan raja dan wazir harus berada di atas kekuasaan hawa nafsu dan sifat marah. Kalau sebaliknya yang terjadi , pertanda kerajaan itu akan runtuh dan binasa.

Dari perumpamaan di atas jelas bahwa jiwa dalam pengertian yang kedua merupakan hakikat, diri dan zat manusia karena fungsinya yang besar dalam kehidupan, penentu nasib baik atau buruknya manusia di dunia dan akhirat. lbarat kerajaan atau kendaraan, jiwa adalah raja atau pengemudi yang amat menentukan keselamatan atau kesengsaraan rakyat atau penumpangnya.

C.PEMBAGIAN JIWA MENURUT PENDAPAT AL-GHAZALI.

Al-Ghazali membagi fungsi jiwa dalam tiga bagian, sama dengan Ibnu Sina, yaitu jiwa tumbuh-tumbuhan (nabatah), hewan (hayawanat), dan manusia (al-Insan). Masing-masing jiwa ini memiliki daya yang tidak sama. Jiwa nabatah memiliki jiwa makan, tumbuh, dan berkembang. Jiwa hewan memiliki jiwa gerak, tangkap, dan khayal. Jiwa manusia memiliki jiwa daya akal, praktis, dan teoritis. Daya praktis erat hubungannya dengan hal-hal yang bersifat badani (amal), dan daya teoritis berkaitan dengan hal-hal yang bersifat abstrak (ilmu). Dengan kata lain, daya praktis menimbulkan akhlak, dan daya teoritis membuahkan ilmu. Daya teoritis terbagi menjadi empat tingkatan :

• Pertama, tingkatan akal materiil yang hanya mempunyai potensi untuk berfikir dan belum terlatih sedikitpun.
• Kedua, akal bi al-milkat yang telah terlatih berfikir tentang hal-hal yang abstrak.
• Ketiga, akal aktual yang dapat berfikir tentang hal-hal yang abstrak.
• Keempat, akal qudsi sebagai tingkatan akal yang paling tinggi, yaitu dapat berfikir tentang ha1-hal yang abstrak dengan mudah dan sanggup menerima limpahan ilmu pengetahuan dari Allah.

Dengan demikian, menurut Al Ghazali manusia sebagai makhluk Allah yang paling sempurna jika dibandingkan dengan makhluk lainnya. Sebagai halnya Ibnu Sina, Al-Ghazali juga berpendapat bahwa akhlak dan sifat seseorang sangat tergantung pada jenis jiwa yang berkuasa atas dirinya sehingga bisa saja akhlak dan sifat orang tersebut dapat menyerupai nabati dan hewan. Jika jiwa insani yang berpengaruh dan berkuasa, akan terbentuk manusia insanul kamil. Menurut Al-Ghazali, jiwa yang merupakan hakikat, diri, dan zat manusia itu adalah jauhar ( substansi ) rohani, bukan `aradh ( aksiden ) dan bersih dari sifat kebendaan. Jiwa mempunyai wujud sendiri yang terlepas dari badan. Wujud dan hakikat jiwa berasal dari alam gaib, sedang wujud dan hakikat badan berasal dari dalam materi. Badan itu bukan tempatnya jiwa karena sesuatu yang bersifat jauhar (substansi, zat, hakikat) tidak mendiami suatu tempat tertentu.

Badan itu adalah alat bagi jiwa, sedangkan badan tidak bisa memperalat jiwa. Karena terdapat perbedaan mendasar dan besar antara jiwa dan badan dalam wujud dan hakikat, dalam fungsi dan sifatnya juga terdapat perbedaan yang besar. Jiwa bersifat baqa, sedang badan dalam wujudnya bersifat fana.

Kalau Al-Ghazali menekankan unsur kejiwaan dalam konsepsinya tentang manusia, pandangnnya itu berarti hakikat, zat, dan inti kehidupan manusiat terletak pada unsur kejiwaannya. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika ia sangat menaruh perhatian pada soal kebahagiaan dan kesempurnaan jiwa serta ketinggian akhlak manusia dalam hidupnya. Menurut Hasan Langgulung, pandangan Al-Ghazali mengenai jiwa erat hubungannya dengan ilmu jiwa (psikologi) Pemikiran-pemikirannya tentang kejiwaan dalam Islam kalau dikaji secara mendalam akan sampai pada kesimpulan bahwa ia adalah " psikologi muslim terbesar".

Pengaruhnya dalam psikologi dan pemikirannya tentang pembagian jiwa dan fungsi dalam psikologi dan mempengaruhi psikologi modern. Pendapat tentang motivasi, pembentukan kebiasaan, kemauan, pengamatan, ingatan, dan daya khayal, merupakan sumbangan yang besar terhadap perkembangan psikologi modern. Lebih dari itu ia mengkaji jiwa sebagai substansi rohani dari manusia, suatu kajian yang belum mampu dilakukan para psikologi modern dewasa ini. Prof Dr.Hj Zakiyah Darajat mengenai ajaran Islam tentang kejiwaan di bandingkan dengan pemikiran Al-Ghazali tentang kejiwaan menyimpulkan bahwa Al-Ghazali adalah tokoh penting dalam ilmu jiwa atau " psikologi Agung " yang karya-karyanya tentang ilmu jiwa bersumber kepada Al-Qur'an dan hadits.

Kesimpulan tentang Al Ghazali tidak bisa dipisahkan dari ketinggian konsepsi Al Ghazali tentang manusia serta pendapatnya tentang jiwa dan akhlak. Sebab, ia tidak saja menganggap ilmu jiwa sebagai ilmu tingkah laku tetapi menganggapnya sebagai ilmu yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, temasuk aspek kehidupan manusia, dan aspek ketuhanan (Agama) merupakan bagian ilmu jiwa di samping ilmu akhlak.

Ditekankannya unsur jiwa dalam konsepsi Al-Ghazali tentang manusia sama sekali tidak berarti ia mengabaikan unsur jasmani manusia. Unsur ini juga dipentingkan karena rohani sangat memerlukan jasmani dalam melaksanakan kewajibannya beribadah kepada Allah dan menjadi khalifah-Nya di bumi. Seseorang tidak akan mungkin sampai kepada Allah dan beramal dengan baik selama jasmaninya tidak sehat.

Kehidupan jasmani yang sehat merupakan jalan kepada kehidupan rohani yang baik. Dengan menghubungkan kehidupan jasmani dengan kehidupan dunia, dunia akan menjadi ladang bagi kehidupan akhirat, dan merupakan salah satu manzilnya hidayah Allah. Karena kehidupan dunia (jasmani ) merupakan tangga bagi kehidupan akhirat (rohani), memelihara, membina, mempersiapkan, dan memenuhi keperluannya agar tidak binasa adalah juga perlu (wajib ).

Sungguhpun Al-Ghazali mengatakan bahwa wujud dan hakikat jiwa jauh berbeda dengan wujud dan hakikat badan. Hal ini berarti antara keduanya terdapat hubungan saling mempengaruhi yang terjadi melalui al- ruh. Jiwa harus berhubungan dengan badan karena manusia adalah makhluk metafisik.

Oleh karena itu, ia mengibaratkan manusia sebagai sebuah kerajaan atau kendaraan yang sedang berjalan yang menghendaki keseimbangan dalam perjalanannya. Katakanlah seperti raja dengan kerajaannya, begitu juga jiwa dengan badan. Warga kerajaan seperti daya - daya jiwa (nalar, nafsu, dan amarah) bekerja sama di bawah perintah raja. Sebagai rakyat (anggota-anggota badan) dan tentara (emosi) harus melakukan tugasnya sesuai dengan perintah jiwa.

Al-Ghazali menukilkan pendapat Ibnu Sina, Al-Farabi sebelumnya dalam bukunya " An-Najat wal Ahwal an-nafs":

• Akal potensial (hayulani) sebagai stimulasi rasional kepada manusia misalnya; untuk belajar menulis,
• AkaI property/kepemilikan ( bilmalakah ) pembenaran tanpa usaha; al-ilm adh-Dharuriyah, pengantar menuju hal-hal yang rasional yang kedua,
• Aka1 Aktual (bil fi'li) hal-hal rasional yang tersimpan serta dapat dimunculkan kembali kapan saja tanpa beban dan usaha.
• Akal mustafad ( akal kudus ) keluar dari daya untuk berubah menjadi aksi sebagai akibat hubungan dengan akal.

Akal mustafad, jenis hewan dan manusia mengalami proses kesempurnaan, daya manusia mirip dengan seluruh prinsip eksistensi. Akal haluyani (akal potensial) tidaklah sama pada manusia, jiwa manusia adalah berbeda dengan masing-masing orang sesuai keadaannya. Jiwa memancar dari prinsip-prinsip sesuai dengan kesiapan. Jiwa seorang yang dungu tidak pernah mengalami proses berfikir yang sama.

Dalam hal jiwa pada manusia Al-Ghazali sangat mengkaitkan dengan beberapa hal, Akal Teoritis, Dorongan dan Emosi, dan Kesatuan Jiwa Manusia :

Akal Teoritis, Dalam al-Qur’an surat an-Nur (24) ayat: 35 dinyatakan bahwa Allah SWT menegaskan sbb:

اللهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ

“Allah adalah cahaya bagi langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya adalah seperti lubang yang didalamnya ada pelita”

Adapun lengkapnya ayat tersebut adalah sebagai berikut :

اللهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ الْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُوقَدُ مِن شَجَرَةٍ مُّبَارَكَةٍ زَيْتُونَةٍ لاَّشَرْقِيَّةٍ وَلاَغَرْبِيَّةٍ يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ نُّورٌ عَلَى نُورٍ يَهْدِي اللهُ لِنُورِهِ مَن يَشَآءُ وَيَضْرِبُ اللهُ اْلأَمْثَالَ لِلنَّاسِ وَاللهُ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌ

Al-Ghazali menafsirkan ayat tersebut dengan mengatakan Misykat (lubang yang tembus) adalah perumpamaan akal haluyani (akal potensial). Jika misykat siap ditempati cahaya, maka jiwa secara fitrah siap menerima cahaya akal. Dengan ide-ide yang tepat, maka ia bagaikan pohon memiliki cabang-cabang yang banyak, demikian juga ide mempunyai berbagai seni seni jika kuat bagaikan minyak zaitun yang meneranginya, bagaikan lampu.

Jika hal-hal rasional sampai kepadanya, maka ia adalah cahaya diatas cahaya atau akal mustafad diatas akal fitrah. Ia merupakan cahaya yang berasal dari amru rabbihi diatas cahaya kenabian. Allah memberi petunjuk untuk cahaya-Nya kepada orang-orang yang di kehendaki. Penisbatan akal aktif kejiwa layaknya penisbatan matahari ke mata kita. Mata dapat melihat karena cahaya matahari begitu pula jiwa dapat berfikir jika cahaya akal aktif menyinarinya.

Pengetahuan indra sebagai langkah awal untuk memperoleh pengetahuan rasional. Jiwa rasional menelaah gambar-gambar indrawi diberi makna-makna dalam prespektif akal aktif. Akal manusia dengan tabiatnya siap untuk menangkap semua stimulasi rasional. Perenungan jiwa terhadap hal-ha1 yang abstrak menjadi perenungan yang paling utama, paling jelas dan paling nikmat. Badan kadang-kadang menjadi penghalang terhadap kenikmatan yang paling mulia.

Dorongan dan Emosi, Emosi menjadi isi daya hasrat manusia, syahwat dan emosi untuk memuaskan segala kebutuhannya ; makan, minum, pakaian, menikah, mempertahankan diri, menolak bahaya, balas dendam. Al-Ghazali berpendapat 4 sifat dalam dirinya; Subuiyyah (hewan buas), Bahimiyah (hewan liar), Syaitoniyah (syetan,iblis), rabbaniyah (ketuhanan). Jika emosi menguasai dirinya maka ia akan berprilaku seperti binatang jika rabbaniyah ada pada dirinya, maka dia menganggap dirinya memiliki sifat ketuhanan, sangat cinta kekuasaan, kebesaran kediktatoran, lepas dari ubudiyah, merasa berilmu dan berpengetahuan padahal dirinya kosong akan ilmu, ambisi tinggi dan seterusnya. Empat sifat mengandung dorongan fitrah, bakat, maka Al-Ghazali memasukan akhlak yang bersumber dari dorongan bakat ke dalam empat sifat yang dimilki manusia.

Kesatuan Jiwa Manusia, Akal mustafad adalah pemimpin absolut yang dilayani semua daya jiwa yang lain, sebagai tujuan akhir. Akal aktual dilayani akal bilmalakah (akal kepemilikan), dilayani akal haluyani (akal potensial). Akal mustafad, akal aktual, akal bilmalakah, akal haluyani, semua itu dalam tingkatan akal teoritis. Akal teoritis, dilayani akal praktis yang mengatur badan dalam menyempurnakan akal teoritis.

Akal praktis dilayani wahan ( khayal dan fantasi ) dilayani 2 daya sebelumnya (daya hewan) dan daya sesudahnya (memori) daya fantasi dilayani 2 daya (daya khayalan dan fantasi) daya hasrat mentaati perintah-perintah daya fantasi yang mendorong bergerak. Khayalan dilayani indra kolektif dan panca indra, daya hasrat dilayani syahwat, dan emosi dilayani oleh penggerak aktif. Jiwa manusia bekerja dalam kerjasama total, satu kesatuan yang utuh melaksanakan berbagai fungsi kejiwaan. Urutannya ialah, akal mustafad, akal aktual, akal bilmalakah, akal haluyani, akal teoritis, akal praktis, wahan (khayal dan fantasi), daya hewan dan daya memori.

Metode Al-Ghazali dalam memperbaiki Prilaku

Al-Ghazali menjadikan kasus sehat dan sakit pada badan sebagai contoh untuk menjelaskan kasus sehat dan sakit pada jiwa. Normalitas pada akhlak merupakan kesehatan jiwa, dan kecenderungan untuk menjauhi normalitas adalah penyakit dan gangguan. Dari beberapa uraian Al-Ghazali tentang hubungan jiwa dengan badan bahwa yang dikehendakinya adalah terciptanya keserasian antara keduanya. Dengan kata lain, ia tidak menginginkan adanya ketidakserasian antara jiwa dalam konsep manusia dan pendidikan, penyebabnya tidak bisa terlepas dari situasi dan kondisi yang mengitarinya, seperti krisis yang melanda masyarakat di bidang agama, sosial, politik, intelektual, moral, dan spiritual, maupun krisis yang melanda dirinya sendiri tidak dapat merasakan kabahagiaan dengan kemewahan materiil yang dicapai. Ditekankannya unsur kejiwaan dalam memperbaiki masyarakat sama sekali tidak terlepas dari usahanya untuk mengharmoniskan kedua unsur kehidupan manusia tersebut.

Sebab, dalam perjalanan hidupnya, Al-Ghazali adalah sosok manusia yang tidak merasa puas dengan metode ilmu yang terlalu mementingkan logika. Ditengah-tengah kemasyhurannya sebagai ilmuwan di bidang filsafat, fiqih, dan ilmu pengetahuan umum lainnya, ia merasa kegelisahan batinnya. Di tengah kemewahan hidup dan kelengkapan fasilitas yang di perolehnya sebagai ahli ilmu kerajaan, jiwanya merasakan kehampaan yang mengakibatkannya menekuni dunia tasawuf secara total. Situasi dan kandisi itu sangat mempengaruhi corak pemikirannya tentang jiwa dan hakikat kehidupan. Konsep insanul kamil (manusia sempurna) menurut Al Ghazali adalah muthi'at (orang yang taat kepada Allah dan rasul-Nya). Ketaatan dan insanul kamil adalah dua nama yang wujud, hakikatnya bersamaan, dan sama sekali tidak terdapat perbedaan yang prinsipil.Alhamdulillah

KESEHATAN MENTAL DALAM PSIKOLOGI AGAMA

Oleh : DR.Ridjaluddin.FN.,M.Ag.
Dosen FAI Uhamka Jakarta

A. KESEHATAN MENTAL

Kesehatan mental sebagai ilmu merupakan salah satu cabang termuda dari ilmu jiwa yang tumbuh pada akhir abad ke-13, namun demikian dalam ajaran agama yang diwahyukan oleh Allah telah terlebih dahulu membahas tentang hakikat jiwa, penyakit jiwa dan kesehatan jiwa yang telah disampaikan oleh para Rasul Allah. Ilmu kesehatan mental merupakan ilmu kesehatan jiwa yang membahas kehidupan rohani yang sehat, dengan memandang pribadi manusia suatu totalitas psikofisik yang kompleks.

Sesuai dengan kemajuan, ilmu pengetahuan, pengertian terhadap kesehatan mental juga mengalami kemajuan. Sebelumnya, pengertian tentang kesehatan mental bersifat terbatas, dan sempit, terbatas pada gangguan dan penyakit jiwa. Dengan pengertian ini, kesehatan mental hanya dianggap perlu bagi orang yang mengalami gangguan jiwa saja. Padahal kesehatan mental tersebut diperlukan bagi setiap orang yang menginginkan ketentraman dan kebahagiaan.

Mental mempunyai pengertian yang sama dengan jiwa, nyawa, sukma, roh dan semangat. Prof.Dr. Hj Zakiyah Darajat, mengartikan kesehatan mental adalah terhindarnya orang dari gejala-gejala pcnyakit jiwa. Dengan demikian dapat diartikan bahwa orang yang sehat mentalnya adalah orang yang terhindar dari segala gangguan dan penyakit jiwa. Dalam pengertian yang luas kesehatan mental dapat diartikan sebagai terwujudnya keserasian yang sungguh-sungguh antara fungsi ¬fungsi kejiwaan dan terciptanya penyesuaian diri antara manusia dengan dirinya sendiri dan lingkungannya, berlandaskan keimanan serta bertujuan untuk mencapai hidup yang bermakna dan bahagia di dunia dan di akhirat.

Mustafa Fahmi mengemukakan dua pola dalam mendefinisikan kesehatan mental: Pertama: pola negatif, bahwa kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari segala neurosis (gangguan kejiwaan) dan psikosis (gejala penyakit jiwa), Kedua: pola positif, bahwa kesehatan mental adalah kemampuan individu dalam penyesuaian terhadap diri sendiri dan terhadap lingkungan sosialnya.

Hanna Jumhana Bastaman mengartikan kesehatan mental dengan menyebut empat pola yang terkandung dalam kesehatan mental, pertama pola simtomatis, yaitu pala yang berkaitan dengan gejala dan keluhan, gangguan atau penyakit nafsaniah. Kedua pola penyesuaian diri, yaitu pola yang berkaitan dengan keaktifan seseorang dalam memenuhi tuntutan lingkungan tanpa kehilangan harga diri. Atau memenuhi kebutuhan pribadi tanpa mengganggu hak-hak orang lain. Kesehatan mental berarti kemampuan seseorang untuk menyesuaikau diri secara aktif terhadap lingkungan sosialnya. Ketiga pola pengembangan potensi, yaitu pola yang berkaitan dengan kualitas khas insani, seperti kreatifitas, praduktifitas, kecerdasan, tanggung jawab dan sebagainya. Kesehatan mental berarti kemampuan individu untuk memfungsikan potensi-potensi manusiawinya secara maksimal sehingga ia memperoieh manfaat bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain. Keempat adalah pola agama, yaitu pola yang berkaitan dengan ajaran agama. Kesehatan mental adalah kemampuan individu untuk melaksanakan ajaran agama secara benar dan baik dengan landasan keimanan dan ketakwaan.

Dengan demikian fungsi-fungsi jiwa seperti pikiran, perasaan, sikap jiwa, pandangan dan keyakinan hidup harus dapat saling membantu dan bekerja sama satu dengan lainnya sehingga dapat tercapai keharmonisan yang dapat menjauhkan orang dari perasaan ragu dan bimbang serta terhindar dari kegelisahan dan pertentangan batin. Keharmonisan antara fungsi jiwa dan tindakan tegas itu dapat dicapai antara lain dengan keyakinan akan ajaran agama, keteguhan dalam mengindahkan norma-norma sosial, hukum, moral dan sebagainya.

B. HUBUNGAN AGAMA DAN KESEHATAN MENTAL

Hubungan antara kejiwaan dan agama dalam kaitanya dengan hubungan antara agama sebagai keyakinan dan kesucian jiwa terletak pada sikap penyerahan diri seseorang kepada sesuatu kekuasaan Yang Maha Tinggi. Sikap pasrah serupa itu akan memberikan sikap optimis pada seseorang sehingga akan muncul perasaan positip seperti bahagia, rasa senang, puas, merasa sukses, merasa dicintai atau rasa aman. Sikap emosi yang demikian merupakan kebutuhan manusia sebagai makluk yang bertuhan. Setiap ajaran agama mewajibkan penganutnya untuk melaksanakan ajaran agamanya secara rutin, karena bentuk dan cara pelaksanaan ibadah akan berpengaruh dalam menanamkan keluhuran budi yang pada puncaknya akan memberi rasa bahwa hidup menjadi lebih bermakna.

Makna hidup paripurna bersifat mutlak dan universal, serta dapat dijadikan landasan dan sumber makna hidup pribadi. Bagi orang yang tidak atau kurang penghayatan terhadap agama, mungkin saja pandangan falsafah atau ideologi tertentu dianggap memiliki nilai nilai universal dan paripurna. Sedangkan bagi penganut agama, maka Tuhan merupakan sumber nilai Yang Maha Sempurna dengan agama sebagai perwujudan tuntunan-Nya.

Pandangan Islam Terhadap Kesehatan Mental

Pandangan Islam terhadap kesehatan mental antara lain dapat dilihat dari peranan Islam bagi kehidupan manusia, yang dapat dikemukakan sebagai berikut:
a). Agama Islam memberikan tugas dan tujuan bagi hidup dan kehidupaa manusia di dunia dan akhirat dalam Al Qur'an disebutkan untuk beribadah kepada Allah, sebagaimana firmannya dalam al-Qur'an ditegaskan sebagai berikut: 'Dan tidak Aku jadikan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku" (QS. Adz Dzariyat (51) : 56).Dalam ayat lain disebutkan tugas manusia untuk menjadi khalifah-Nya di muka bumi, yang maksudnya : "Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat " Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi……… "

Dengan demikian manusia mempunyai beban amanat dari Allah untuk melaksanakan syariat-Nya serta untuk mengatur dan mengolah segala apa yang ada di bumi ini dengan baik. Agar tujuan tersebut dapat tercapai jika manusia dilengkapi dengan berbagai potensi yang harus dikembangkan dan dimanfaatkan sesuai dengan aturan Allah. Kesehatan mental dalam pandangan Islam adalah pengembangan dan pemanfaatan potensi- potensi tersebut semaksimal mungkin, dengan niat ikhlas beribadah hanya kepada Allah. Dengan melaksanakan konsep ibadah dan khalifah dalam Islam, manusia dapat menumbuhkan dan mengembangkan potensi jiwa dan memperoleh mental yang sehat. Islam memberikan bimnbingan dan petunjuk kepada manusia dalam melaksanakan tugas kekhalifahan dan untuk mencapai hidup bahagia di dunia dan akhirat.

b).Ajaran Islam memberikan bantuan kejiwaan kepada manusia dalam menghadapi cobaan dan mengatasi kesulitan hidupnya, seperti dengan cara sabar dan shalat, dalam firman Allah S WT dalam al-Qur`an yang menegaskan sebagai berikut: "Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar ". (QS Al Baqarah (2): 153).

Pada umumnya sabar sering diartikan sebagai keteguhan hati dalam menghadapi cobaan dan kesulitan, ser-ta keuletan menghadapi cita-cita. Dengan belajar untuk menanamkan rasa sabar dalam hati dan mau melaksanakan shalat dengan baik dan khusyuk, insya Allah setiap manusia akan dapat menghadapi musibah dengan jiwa yang tenang dan merasa terbantu mengatasi kesulitan hidupnya.
c).Ajaran Islam membantu orang dalam menumbuhkan dan membina pribadinya, yakni melaiui pengnayatan nilai-nilai ketakwaan dan keteladanan yang diberikan Nabi Muhammad saw. Dengan membaca sejarah hidup Rasulullah serta mempelajari dan menghayati seluruh aspek kepribadian Rasulullah akan dapat membangkitkan semangat hidup, menentramkan jiwa dan menumbuhkan sifat-sifat luhur.

d).Ajaran Islam memberikan tuntunan kepada akal agar benar dalam berpikir melalui bimbingan wahyu (kitab suci Al- Qur'an al Karim).

e). Ajaran Islam beserta seluruh petunjuk yang ada yang ada di dalamnya merupakan obat bagi jiwa atau penyembuh segala penyakit hati yang terdapat dalam diri manusia (rohani). Firman Allah SWT dalam al-Qur'an al-Kariem ditegaskan sebagai berikut : "Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu nasihat (agama) dari Tuhanmu sebagai penyembuh bagii penyakit yang ada di dalam, dada (rohani), sebagai petunjuk serta rahmat bagi orang yang beriman". (QS. Yunus (10) : 5 7).

f). Ajaran Islam memberikan tuntunan bagi manusia dalam mengadakan hubungan yang baik, baik hubungan dengan diri sendiri, hubungan dengan Tuhan, hubungan dengan orang lain, maupun hubungan dengan, alam dan lingkungan, seperti yang terdapat dalam ajaran akidah, syari'at, dan akhlak.

g).Agama Islam berperan dalam mendorong orang untuk berbuat baik dan taat, serta mencegahnya dari berbuat jahat dan maksiat. Firman Allah SWT dalam al-Qur'an al-Kariem yang menegaskan:

"Barang siapa melakukan perbuatan baik dari lelaki dan perempuan dan ia beriman maka kami hidupkan, dia dengan penghidupan yang baik, dan akan kami balas dengan balasan yang baik dari apa yang telah mereka kerjakan". (QS: An¬-Nahl (16) : 97).

h).Ajaran Islam dapat memenuhi kebutuhan psikis manusia. Peranan agama Islam dapat membantu manusia dalam mengobati jiwanya dan mencegahnya dari gangguan kejiwaan serta mernbina kodisi kesehatan mental. Dengan menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran Islam manusia dapat memperoleh kebahagiaan dan kesejahteraan dalam hidup.

C. KESEHATAN MENTAL DALAM AL QUR'AN

Kebenaran al-Qur'an sebagai sumber ajaran Islam bersifat hakiki dan tidak ada keraguan di dalamnya, karena ia diturunkan oleh Allah. Oleh karena itu setiap orang yang beriman ataupun orang yang mempergunakan akal sehatnya pasti akan menerima dan mengakui kebenaran apapun yang diungkapkan di dalamnya.

Sebagai kitab suci yang berisi petunjuk dan penjelas, di dalamnya banyak terdapat ayat-ayat yang berkaitan dengan kesehatan mental dengan berbagai istilah yang digunakan sebagai sesuatu yang hendak dicapai oleh setiap manusia. Dalam al-Qur'an juga terdapat ayat-ayat yang berkaitan dengan uraian definisi kesehatan mental, yang meliputi hubungan manusia dengan dirinya sendiri, dengan sesama manusia, dengan lingkungan dan dengan Allah, yang semuanya ditujukan untuk mendapatkan hidup yang lebih berarti dan akan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Al-Qur'an secara jelas selalu menyatakan dengan kalimat;

“aamanu wa aamilu al shalihaat” di berbagai tempat. Kalimat tersebut menggunakan kata kerja (fi'il). Dalam konteks ini tidaklah salah kalau kalimat tersebut dianalogikan dengan mengembangkan dan memanfaatkan potensi manusia. Berikut adalah contoh ayat-ayat yang bekaitan dengan potensi - manusia yang harus dikembangkan dan dimanfaatkan: 1.Yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan dirinya sendiri (hablun min al-nafs). Dalam hubungan ini manusia mengembangkan dan memanfaatkan potensinya dalam bentuk amr ma'ruf wa nahi munkar atau sebaliknya mengumbar hawa nafsu yang ada pada dirinya. Firman Allah SWT dalam al-¬Qur'an sebagai berikut :
"Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar serta beriman kepada Allah”. (QS. Ali Imron (3) :110). Demikian pula dalam firman. A1lah SWT dalam al-Qur'an sebagai berikut :

"Maka pernahkah kamu melihat arang yang menjadikan hawa nafsu sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah rnengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat. Maka mengapa kamu tidak mengambill pelajaan? (QS .AI Jaatsiyah (45) : 23)

2.Yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan sesama manusia (habl min an-nas), manusia mengembangkan dan memanfaatkan potensinya dalam bentuk menjalin persaudaraan, atau malah sebaliknya. Firman Allah SWT dalam al-Qur'an sebagai berikut :

“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. (QS. Al¬Fath (48) :29).

3. Ayat-ayat yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan alam jagat raya (habl min al-alam), dimana manusia mernpunyai kecenderungan untuk mengembangkan dan memanfaatkan potensinya dalam bentuk kelestarian dan memanfaatkan alam serta isinya atau sebaliknya, merusak. Firman Allah SWT dalam al-Qur'an al-Kariem sebagai berikut :
"Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung". (Qs. Al Jumu'ah: (62) :10)

Dilain ayat Allah SWT berfirman dalam al-Qur'an al-Kariem sebagai berikut : “Telah narnpak kerusakan di darat dan di laut di sebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) dari perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar”. (QS Ar Rum(30) : 41).

4.Sedangkan yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan Allah SWT (habl min Allah), manusia mempunyai kecenderungan untuk mengembangkan dan memanfaatkan potensinya dalarn bentuk beribadah kepada Allah atau sebaliknya mengingkari-Nya. Firman Allah SWT dalam al-Qur'an menyatakan sebagai berikut : "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku" (QS. Adz-Dzariyat : 56).

Selain beberapa ayat di atas, dalam A1 Qur'an banyak juga terdapat ayat-ayat yang mengemukakan tentang kebahagiaan, ketentraman, kedamaian dan sebagainya. Beberapa contoh ayat dimaksud adalah : 1.Ayat yang berkaitan dengan kebahagiaan, Firman Allah SWT dalam al-Qur'an sebagai berikut : "Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan (kenikmatan) duniawi dan berbuat baik (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. " (QS. Al Qashash (28) : 77)

Pada ayat di atas Allah memerintahkan orang Islam untuk mencari kebahagiaan akhirat dan kenikmatan dunia dengan jalan berbuat baik dan menjauhi perbuatan munkar. Hal tersebut merupakan faktor penting dalam usaha pembinaan kesehatan mental. 2.Ayat yang berkaitan dengan ketenangan jiwa, firman Allah SWT dalam al-Qur'an sebagai berikut : "Allah-lah yang telah menurunkan ketenangan jiiva di dalam hati orang-orang mukmin, supaya keimanan mereka bertambah disamping keimanan mereka yang sudah ada"( QS. A1 Fath (48): 4)

Dari ayat di atas Allah mensifati diri-Nya bahwa Dia¬lah Tuhan Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana dan dapat memberikan ketenangan jiwa ke dalam hati orang yang beriman. Kesehatan mental dapat diartikan sebagai tewujudnya keserasian yang sungguh-sungguh antara fungsi ¬fungsi kejiwaan dan terciptanya penyesuaian diri antara manusia dengan dirinya sendiri dan lingkungannya, berlandaskan keimanan dan ketakwaan, serta bertujuan untuk mencapai hidup yang bermakna dan bahagia di dunia dan di akhirat.

Untuk pembinaan dan pengembangan kesehatan mental manusia membutuhkan agama. Dengan agama manusia dapat terbantu dalam mengatasi persoalan hidup yang berada di luar kesanggupan dirinya sebagai manusia yang lemah. Ajaran Islam membantu orang dalam menumbuhkan dan membina pribadinya, yakni melalui penghayatan nilai-niiai ketakwaan dan keteladanan yang diberikan Nabi Muhammad Saw. Dalam al-Qur'an juga terdapat ayat-ayat yang berkaitan dengan uraian definisi kesehatan mental, yang meliputi hubungan manusia dengan dirinya sendiri, dengan sesama manusia, dengan lingkungan dan dengan Allah SWT.Ayat :
وَمَاخَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنسَ إِلاَّلِيَعْبُدُونِ

'Dan tidak Aku jadikan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku" (QS. Adz Dzariyat (51) : 56)

يَآأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ إِنَّ اللهَ مَعَ الصَّابِرِينَ

"Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar ". (QS Al Baqarah (2): 153).
:

يَآأَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَآءَتْكُم مَّوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَشِفَآءٌ لِّمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ

"Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu nasihat (agama) dari Tuhanmu sebagai penyembuh bagii penyakit yang ada di dalam, dada (rohani), sebagai petunjuk serta rahmat bagi orang yang beriman". (QS. Yunus (10) : 5 7).

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَاكَانُوا يَعْمَلُونَ

"Barang siapa melakukan perbuatan baik dari lelaki dan perempuan dan ia beriman maka kami hidupkan, dia dengan penghidupan yang baik, dan akan kami balas dengan balasan yang baik dari apa yang telah mereka kerjakan". (QS: An¬-Nahl (16) : 97).
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَلَوْءَامَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُمْ مِّنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرَهُمُ الْفَاسِقُونَ

"Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar serta beriman kepada Allah”. (QS. Ali Imron (3) :110)

Demikian pula dalam firman. A1lah SWT dalam al-Qur'an sebagai berikut :

أَفَرَءَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَن يَهْدِيهِ مِن بَعْدِ اللهِ أَفَلاَ تَذَكَّرُونَ

"Maka pernahkah kamu melihat arang yang menjadikan hawa nafsu sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah rnengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat. Maka mengapa kamu tidak mengambill pelajaan? (QS .AI Jaatsiyah (45) : 23)

مُّحَمَّدُُ رَّسُولُ اللهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّآءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَآءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلاً مِّنَ اللهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِم مِّنْ أَثَرِ السُّجُودِ

“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. (QS. Al¬Fath (48) :29).

وَإِذَا رَأَوْا تِجَارَةً أَوْ لَهْوًا انفَضُّوا إِلَيْهَا وَتَرَكُوكَ قَآئِمًا قُلْ مَاعِندَ اللهِ خَيْرُُ مِّنَ اللَّهْوِ وَمِنَ التِّجَارَةِ وَاللهُ خَيْرُ الرَّازِقِينَ

"Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung". (Qs. Al Jumu'ah: (62) :10)


ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

“Telah narnpak kerusakan di darat dan di laut di sebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) dari perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar”. (QS Ar Rum(30) : 41).
:

وَمَاخَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنسَ إِلاَّلِيَعْبُدُونِ

"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku" (QS. Adz-Dzariyat : 56).


وَابْتَغِ فِيمَآءَاتَاكَ اللهُ الدَّارَ اْلأَخِرَةَ ولاَتَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِن كَمَآأَحْسَنَ اللهُ إِلَيْكَ وَلاَتَبْغِ الْفَسَادَ فِي اْلأَرْضِ إِنَّ اللهَ لاَيُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ

"Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan (kenikmatan) duniawi dan berbuat baik (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. " (QS. Al Qashash (28) : 77)

هُوَ الَّذِي أَنزَلَ السَّكِينَةَ فِي قُلُوبِ الْمُؤْمِنِينَ لِيَزْدَادُوا إِيمَانًا مَّعَ إِيمَانِهِمْ وَلِلَّهِ جُنُودُ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَكَانَ اللهُ عَلِيمًا حَكِيمًا

"Allah-lah yang telah menurunkan ketenangan jiiva di dalam hati orang-orang mukmin, supaya keimanan mereka bertambah disamping keimanan mereka yang sudah ada"( QS. A1 Fath (48): 4)

Sabtu, 07 November 2009

Abu Ubaid dabn Pemikiran Ekonominya.

ABU UBAID DAN
PEMIKIRAN EKONOMINYA

Oleh DR.H.Ridjaluddin.FN.,M.Ag
Dosen FAI Uhamka Jakarta

A. PENDAHULUAN

Pendekatan sejarah sosial dalam pemikiran hukum Islam ialah pendekatan bahwa setiap produk pemikiran hukum Islam pada dasarnya merupakan hasill interaksi antara si pemikir dengan lingkungan sosio-kultural atau sosio¬politiknya. Oleh karena itu, produk pemikirannya itu sebenarnya bergantungan kepada lingkungannya itu. Pendekatan ini memperkuat alasannya dengan menunjuk kepada kenyataan sejarah bahwa produk-produk pemikiran yang sering dianggap sebagai hukum Islam itu sebenarnya tidak lebih dari hasil interpretasi tersebut. Menurut Atho Mudzar, pendekatan ini penting sedikitnya karena dua hal; pertama, untuk meletakkan produk pemikiran hukum Islam itu pada tempat seharusnya; kedua, untuk memberikan tambahan keberanian kepada pemikir hukum Islam sekarang untuk tidak ragu-ragu bila merasa perlu melakukan perubahan terhadap suatu produk pemikiran hukum. Sejarah telah membuktikan bahwa umat Islam di berbagai penjuru dunia telah melakukanya tanpa sedikitpun merasa keluar dari hukum Islam. Pendekatan sejarah sosial bertugas menelusuri bukti ¬bukti sejarah itu.

Sedikitnya ada empat jenis produk hukum Islam yang ada selama ini, yaitu Kitab-Kitab fiqh, keputusan-keputusan pengadilan agama, peraturan perundangan di negeri-negeri muslim, dan fatwa-fatwa ulama.` Masing-masing produk pemikiran hukum itu mempunyai ciri khasnya sendiri. Kitab fikih merupakan hasil nalar fuqaha yang dideduksi dari sumber yang otentik, kemudian dikembangkan secara berkelanjutan dalam rentang waktu yang panjang.Ia disosialisasikan dan memberi makna Islami terhadap pranata sosial yang baru.; Produk fuqaha ini sangat besar pengaruhnya di kalangan umat Islam, sehingga terdapat kecenderungan bahwa fikih identik dengan hukum Islam. Kitab-Kitab fikih sebagai jenis produk pemikiran hukum Islam yang pertama sifatnya menyeluruh dan meliputi semua aspek hukum Islam sehingga diantara cirinya cenderung kebal terhadap perubahan karena revisi terhadap sebagiannya dianggap mengganggu keutuhan isi keseluruhannya. Sejarah telah membuktikan bahwa meskipun ketika ditulis Kitab-Kitab fikih itu tidak dimaksudkan untuk diberlakukan secara umum di suatu negeri, dalam kenyataan beberapa buku fikih tertentu telah diperlakukan sebagai Kitab undang-undang. Demikian pula Kitab-Kitab itu ditulis oleh pengarangnya tidak secara eksplisit disebut masa berlakunya sehingga cenderung dianggap berlaku sepanjang masa, hal ini merupakan perwujudan kaidah al mukhafazhah 'ala al-qadim ash-shalih wa al-'akhdza bi al jadid al-ashlah (memelihara hal lama yang baik dan meraih hal baru yang lebih baik).

Tulisan ini mencoba menganalisis sebuah Kitab fikih. Seperti dikatakan oleh A. Dzazuli, bahwa Kitab fiyih dapat dipilah menjadi beberapa bidang yaitu: ibadah, ahwal syakh shiyyah, mu’amalah, jinayah,aqliy,uh, siyasah. Pembidangan hukum Islam ini sejalan dengan perkembangan pranata sosial sebagai norma yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan manusia dalam kehidupan individual dan kolektif. Karenanya semakin kompleks kebutuhan manusia maka semakin beragam pula pranata sosial sehingga menuntut perkembangan pemikiran tiqih clan pembidangan hukum Islam. Berkaitan dengan hal ini melahirkan apa yang disebut fiqih pendidikan, fiqih lingkungan dan lain-lain, yang oleh Ali Yafie disebut sebagai "Fiqih .Sosial". Fiqih sosial ini merupakan respon pemikir hukum Islam dalam memberi makna Islami terhadap pertumbuhan dan perkembangan pranata-pranata sosial di Indonesia.

Tuliasn ini menganalisis sebuah produk hukum Islam yaitu Kitab Al Amwal karya Abu Ubaid, Kitab ini menjadi pilihan karena secara substansi berisi pemikiran hukum Islam dari masa klasik, sesuai dengan adanya pembidangan di atas maka Kitab ini dapat dikatakan sebagai rujukan dalam pembentukan "Fiqh ekonomi". Hal ini karena pemikiran Abu Ubaid didasarkan atas sumber-sumber otentik berupa Qur'an dan Hadist untuk kemudian dapat dimaknai dalam pembentukan pranata sosial berupa pengembangan institusi ckonomi yang sangat dibutuhkan manusia pada saat ini. Tentu saja dalam tulisan ini akan digunakan pendekatan sejarah sosial hukum Islam Abu Ubaid, Biografi, Latar Belakang dan Pendekatannya.

1. Biografi Singkat dan Karya Abu Ubaid

Abu Ubaid dilahirkan di Basrah, di propinsi Khurasan (Barat Laut Afghanistan) pada tahun 154 H dari ayah keturunan Byzantium, maula dari suku Ard. Nama aslinya al-Qosim bin Salam bin Miskin bin Ubaid al¬- Azdhi dan wafat tahun 224 H di Makkah.

Beliau belajar pertama kali di kota asalnya, lalu pada usia 20-an pergi ke Kufah. Basrah, dan Baghdad untuk belajar tata bahasa Arab, qira'ah, tafsir, hadis dan fikih (di mana tidak dalam satu bidang pun ia bermadzhab tetapi mengikuti dari paham tengah campuran). Setelah kembali ke Khurasan, la mengajar dua keluarga yang berpengaruh. Pada tahun 192 H, Thabit ibn Nasr ibn Malik (gubernur yang ditunjuk Harun al Rasyid untuk propinsi Thughur) menunjuknya sebagai qadi di Tarsus sampai 210 H. Kemudian ia tinggal di Baghdad selama 10 tahun, pada tahun 219 H, setelah berhaji ia tinggal di Mekkah sampai wafatnya.

Dalam pandangan ulama lainnya, seperti Qudamah Assarkhasy mengatakan, di antara Syafi'i, Ahmad Ibnu _Hambal, Ishaq, dan Abu Ubaid, maka Syafi'i adalah orang yang paling ahli di bidang fiqih (faqih), Ibnu Hambal paling wara(hati-hati), Ishaq paling huffadz (kuat hafalannya) dan Abu Ubaid yang paling pintar bahasa Arab (ahli Nahwu)". Sedangkan menurut Ibnu Rohubah: "kita memerlukan orang seperti Abu Ubaid tetapi dia tidak memerlukan kita". Dalam pandangan Ahmad bin Hambal, Abu Ubaid adalah orang yang bertambah kebaikannya setiap harinya. Menurut Abu Bakar bin Al-¬Anbari, Abu Ubaid membagi malamnya pada 3 bagian, 1/3 nya untuk tidur, 1/3 nya untuk shalat malam dan 1/3 nya untuk mengarang. Bagi Abu Ubaid satu hari mengarang itu lebih utama baginya dari pada menggoreskan pedang di jalan Allah. Menurut lshaq, Abu Ubaid itu yang terpandai diantara aku. Syafi'i dan Ahmad bin Hambal. Dari pendapat-pendapat tersebut terlihat bahwa Abu Ubaid cukup diperhitungkan dan memiliki reputasi yang tinggi di antara para ulama pada masanya.Ia hidup semasa dengan para Imam besar sekaliber Syafi'i dan Ahmad bin Hambal. Kesejajarannya ini membuat Abu Ubaid menjadi seorang mujtahid mandiri dalam arti tidak dapat diidentikkan pada satu mazhab tertentu.

Hasil karyanya ada sekitar 20, baik dalam bidang ilmu Nahwu, Qawaidah, Fiqh, Syair dan lain-lain. Yang terbesar dan terkenal adalah Kitab Al-Amwal dalam bidang Fikih. Kitab al-Amwal dari Abu Ubaid merupakan suatu karya yang lengkap tentang keuangan negara dalam Islam. Buku ini sangat kaya dengan sejarah perekonomian dari paruh pertama abad kedua Hijrah. Buku ini juga merupakan rangkuman (compendium) tradisi ash (authentic) dari Nabi dan Atsar para sahabat dan tabi'in tentang masalah ekonomi.Dalam bukunya tersebut Abu `Ubaid tidak hanya mengungkapkan pendapat orang lain tetapi juga mengemukakan pendapatnya sendiri.

2. Latar Belakang dan Pendekatannya

Agak sulit melacak latar belakang kehidupan Abu Ubaid, tetapi dari beberapa literatur yang ada mengatakan beliau hidup semasa Daulah Abbasiyah mulai dari Khalifah al Mahdi (158/775 M). Dalam penelitian Nejatullah Siddiqi, masa al Mahdi ini ditemukan tiga tokoh terkenal yang menuliskan karyanya di bidang ekonomi adalah, Abu Ubaid (w.224/834 H), Imam Ahmad bin Hambal (164-241 M/780-855 M) serta Harist bi Asad al Muhasibi (165-243 11/781-857 M). Sedangkan pada masa Abbasiyah pertama ini keseluruhannya ditemukan lebih dari 200 orang pemikir yang terdiri dari selain fuqaha juga filosuf dan sufi. Masa Abbasiyah ini merupakan puncak kegemilangan dunia Islam atau masa renaisance. Sebagaimana diketahui bahwa dasar-dasar pemerintahan Daulah Abbasiyah dibangun oleh 'Abu al-Abbas dan Abu Ja'far al-Manshur. Puncak keemasan dari dinasti ini terletak pada tujuh khalifah sesudahnya yaitu al-Mahdi (775-785 M), al-Hadi (775-786 M), Harun al-Rasyid (786-809 M), al-Makmun (813-833 M), al-Mu'tashim (833-842 M), al-Wasiy (842-847 M), dan al-Mutawakkil (847-861 M) pada masa al-Mahdi perekonomian mulai meningkat dengan meningkatnya hasil pertambangan seperti emas, perak, tembaga dan besi dimana Bashrah menjadi pelabuhan yang penting. Baghdad merupakan kota yang kosmopolit saat itu, penduduknya sangat heterogen dari berbagai etnis, suku, ras, dan agama.

Popularitas Daulat Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun al-Rasyid (786-809 M) dan putranya al-Makmun. Kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan serta kesusasteraan berada pada zaman keemasannya. Penerjemahan buku-buku Yunani ke dalam bahasa Arab pun dimulai. Orang-orang dikirim ke Kerajaan Romawi, untuk membeli "Manuscript". Pada mulanya hanya buku-buku mengenai kedokteran, kemudian meningkat mengenai ilmu pengetahuan lain dan filsafat. Ia juga banyak mendirikan sekolah. Salah satu karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan Baitul Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar.

Dinasti Abbasiyah pada periode pertama lebih menekankan pada pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam dari pada perluasan wilayah. Inilah perbedaan pokok antara Bani Abbas dengan Bani Umayah. Pengaruh dari kebudayaan bangsa yang sudah maju tersebut, terutama melalui gerakan terjemahan, bukan saja membawa kemajuan di bidang pengetahuan, tetapi juga ilmu pengetahuan agama. Dalam bidang tafsir dikenal dua metode yaitu pertama Tafsir bi al-Ma'tsiar (interpretasi tradisional dengan bersumber dari Nabi dan para sahabat). Kedua Tafsir bi al-Ra'yi (metode rasional yang lebih banyak bertumpu pada pikiran dari pada hadis dan pendapat sahabat.

Imam mazhab hukum yang empat hidup pada masa pemerintahan Abbasiyah pertama. Imam Abu Hanifah (700-767 M) dalam pendapat-pendapat hukumnya dipengaruhi oleh perkembangan yang terjadi di Kufah, kota yang berada di tengah-tengah kebudayaan Persia yang kehidupan masyarakatnya telah mencapai tingkat kemajuan yang lebih tinggi. Karena itu, madzhab ini lebih banyak menggunakan pemikiran rasional dari pada Hadis. Muridnya, Abu Yusuf menjadi Qadhi al-Qudhat di zaman Harun ar-Rasyid. Berbeda dengan Abu _Hanifah, Imam Malik (713-795 M) banyak menggunakan Hadis dan tradisi Masyarakat Madinah. Pendapat dua tokoh ini ditengahi oleh Imam Syafi' i (767-820 M ) dan Imam Ahmad bin Hambal (780-855 M).

Pengaruh gerakan terjemahan terlihat dalam perkembangan ilmu pengetahuan umum, terutama di bidang astronomi, kedokteran, filsafat, kimia dan sejarah. Dalam lapangan astronomi dikenal dengan nama al-Fazari, sebagai astronom Islam yang pertama kali menyusun astrolobe. Dalam kedokteran dikenal nama ar-Razi dan Ibnu Sina. Dalam bidang optik Abu Ali al-Hasan Ibn al-Faitami, yang di Eropa terkenal dengan nama Al-Hazen. Di bidang matematika terkenal dengan nama Muhammad bin Musa al-Khawarizmi yang juga mahir dalam bidang astronomi. Dialah yang menciptakan ilmu Aljabar. Dalam bidang sejarah terkenal nama al-Mas'udi, yang juga ahli dalam ilmu Geografi.

Abu Ubaid adalah salah seorang dari para fuqaha yang menggeluti bidang ekonomi dalam hal ini aturan keuangan public.Ia juga banyak menangani berbagai kasus pertanahan dan perpajakan selama di Tarsus, di sana ia memperlihatkan kemampuannya dalam hal administrasi dan pencatat diwan resmi. Alih bahasa yang dilakukannya terhadap kata-kata dari bahasa Persi ke bahasa Arab menunjukkan bahwa ia banyak menguasai bahasa tersebut. Menurut (Jottschalk,'' pemikiran `Abu `ilbaid ada kemungkinan sangat dipengaruhi oleh pemikiran `Abu Amr `Abdurrahman Ibn Amr al Azwa'i, karena seringnya pengutipan kata-kata Amr dalam al-Amwal, serta dipengaruhi oleh pemikiran ulama-ulama Syariah lainnya selama ia menjadi pejabat di Tarsus.

Awal pemikirannya dalam Kitab al-Amwal dapat ditelusuri dari pengamatan yang dilakukan Abu Ubaid terhadap militer, politik, dan masalah fiskal yang dihadapi administrator pemerintahan di propinsi-propinsi perbatasan pada masanya. Berbeda dengan Abu Yusuf ; Abu Ubaid tidak menyinggung masalah kelangkaan sistemik dan penanggulangannya. Namun, Kitab al-Amwal dapat dikatakan lebih kaya dari Kitab al-kharaj dari sisi kelengkapan hadis serta kesepakatan-kesepakatan tentang hukum berdasarkan atsar (tradisi asli) dari para sahabat. tubi 'in, serta tabi ' at-tabi’in. Abu Ubaid tampaknya lebih menekankan standar politik etis penguasa (rezim) daripada membicarakan sarat-sarat etisiensi teknis dan manajerial penguasa. Filosof Abu Ubaid lebih kepada pendekatan teknis dan profesional berdasarkan aspek etika daripada penyelesaian permasalahan sosio-politis-ekonomis dengan pendekatan praktis.

Dengan tidak menyimpang dari tujuan keadilan dan keberadaban, yang lebih membutuhkan rekayasa sosial, Abu Ubaid lebih mementingkan aspek rasio/nalar dan spiritual Islam yang berasal dari pendekatan holistik dan teologis terhadap kehidupan manusia sekarang dan nantinya, baik sebagai individu maupun masyarakat. Atas dasar itu Abu Ubaid menjadi salah seorang pemuka dari nilai-nilai tradisional, pada abad III hijriah/abad IX M, yang berpendapat bahwa revitalisasi dari sistem perekonomian adalah melalui reformasi terhadap akar-akar kebijakan keuangan serta institusinya dengan berdasarkan al Qur’an dan al Hadist. Dengan kata lain, umpan balik dari teori sosio-politik-ekonomi Islam yang secara umum berasal dari sumber-sumber yang suci, al-Qur’an dan Hadist mendapatkan tempat eksklusif serta terekspresikan dengan kuat pada pemikirannya.

Meskipun fakta menunjukkan bahwa Abu Ubaid adalah seorang ahli fikih yang independen, moderat, dan handal dalam berbagai bidang keilmuan membuat beberapa ulama Syafi'i dan Hambali mengklaim bahwa Abu Ubaid adalah berasal dari kelompok madzhab mereka. Tetapi dalam Kitab al-Amwal tidak ada disebut nama Abu Abdul1ah Muhammad ibn Idris asy-Syafi'i maupun nama Ahmad Ibn Hambal, melainkan ia sangat sering mengutip pandangan Malik ibn Anas dan pandangan sebagian besar ulama madzhab Syafi'i lainnya.Ia juga mengutip beberapa ijtihad Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad ibn al¬ Hasan asy-Syaibani.

Sementara itu tuduhan yang dilontarkan oleh Husain ibn Ali al Karabisi seperti yang dikemukakan oleh Hasan ibn Rahman ar-Ramharmudzi, bahwa Abu Ubaid melakukan plagiat terhadap Kitab fikih karyanya dari pandangan dan persetujuan asy-Syafi'i, adalah sangat sulit untuk dibuktikan kebenarannya, hal itu bukan hanya karena Abu Ubaid dan asy-Syafi’i belajar dari sumber yang sama tetapi mereka juga belajar satu sama lainnya, sehingga tidak mustahil jika terdapat kesamaan atau hubungan dalam pandangan-pandangan mereka. Bahkan, kadangkala Abu Ubaid mengambil posisi yang berseberangan dengan asy¬Syafi'i tanpa menyebut nama.

B. KITAB AL-AMWAL; ISI FORMAT DAN METODOLOGI

Kitab al-'Amwal dibagi dalam beberapa bagian dan bab, dimulai dengan bab pendahuluan singkat dari kesepakatan para imam (penguasa) dan subyek satu sama lainnya dengan referensi khusus untuk kebutuhan pemerintahan yang adil. Abu Ubaid mengatakan bahwa seorang pemimpin itu wajib memusyawarahkan keputusan-keputusan ekonomi pada kaum muslimin serta bertanggung jawab atas perekonomian kaum muslimin. Sedangkan rakyat berkewajiban mengontrol pemerintah di dalam melaksanakan kebijakan ekonomi. Beliau juga mengatakan bahwa pelaku ekonomi harus seorang yang bertakwa kepada Allah dan jujur.

Dilanjutkan dengan bab tambahan yang berjudul jenis penerimaan yang dipercayakan pada imam (penguasa) atas nama publik dan dasar-dasarnya di dalam Kitab dan Sunnah.

Tampak bahwa Kitab al- Amwal secara khusus memusatkan perhatian pada keuangan publik (Public Finance), akan tetapi dapat dikatakan bahwa sebagian besar materi yang ada di dalamnya membahas administrasi pemerintahan secara umum. Kitab al Amwal menekankan beberapa issu mengenai perpajakan dan hukum serta hukum administrasi dan hukum internasional. Hal tersebut membuat Kitab ini menjadi sumber pengembangan yang sangat diperhitungkan untuk pemikiran ekonomi legal pada dua awal abad Islam.

Jika merujuk pada format dan metodologi buku tersebut, di dalam setiap babnya. Ayat serta hadis Nabi SAW, kesepakatan pada sahabat, tabi'in serta at-tabit tabi’in ditampilkan bersama dengan pendapat Al- Fiqih. Abu Ubaid sendiri adalah seorang ahli hadis yang telah lama mendalami ilmu Hadis dan sistematikanya serta melakukan tela'ah mendalam terhadap mata rantai penyampaiannya. Abu Ubaid telah melakukan verifikasi atas hadis-hadis tersebut serta melakukan kritik terhadap mata rantainya jika dipandang perlu. Terkadang ia melakukan penyingkatan beberapa riwayat serta memberikan interpretasi pribadinya dengan tidak menuliskan teks aslinya. Ia membahas hal-hal yang masih diragukan, menjelaskan hal-hal yang kurang jelas tersebut. Kadang-kadang ia mengklasifikasikan isu-isu dan menuliskan atsar yang berhubungan dengannya. Di lain kesempatan, ia mengklasifikasikan atsar beserta kesimpulannya. Walaupun begitu ada beberapa bab yang hanya terdiri dari kumpulan hadis-hadis tanpa diserta komentar atau pembahasan apapun.

Ibrahim al Harbi (murid dari Abu Ubaid) mengatakan bahwa salah satu titik kelemahan dari kitab al-'Amwal adalah terletak pada sedikitnya jumlah hadis yang diulas. Namun begitu, tidak adil apabila hanya melihatnya dari sisi itu karena keunggulan Abu Ubaid adalah penguasaannya yang sangat baik terhadap hadis sehingga ia mampu memilih hadis-hadis yang relevan, bahkan beberapa kali Abu Ubaid menyebutkan lebih banyak hadisnya dari pada pembahasannya.
Walaupun Abu Ubaid adalah orang yang sangat mengikuti sunnah Nabi, akan tetapi ia juga memanfaatkan logika dan memakai rasio (ra'yu). Dalam setiap isu ia selalu mengacu pada atsar (hadis) serta pendapat ulama lainnya mengenai hadis yang berkaitan, kemudian ia melakukan kritik terhadapnya dari sisi kekuatan atau kelemahannya. Kemudian ia memilih salah satu pendapat yang ada ataupun membuat ijtihad sendiri, didukung dengan bukti-bukti. Kadangkala ia membiarkan pembaca kitabnya untuk bebas memilih pandangannya ataupun dari salah satu alternatif dari pandangan yang ia anggap layak. Abu Ubaid dianggap sebagai seorang mujtahid yang independen karena kehandalannya dalam mendeduksi hukum-hukum dari nash (al-Qur'an dan Hadis), serta menghasilkan suatu peraturan/kaidah keuangan (financial maxims) yang sistematik, terutama mengenai perpajakan, pada masa pembentukan madzhab hukum.

Referensi utama Abu Ubaid, sebagaimana ulama muslim lainnya, adalah al-Qur'an dan Sunnah Nabi, baginya otoritas al-Qur'an adalah di atas al-hadits. Walaupun sebenarnya al-hadis adalah penjelasan dari al-Qur'an.Penjelasan dari para sahabat, tabi'in dan at-ta'bi at-tabi'in dipandangnya sederajat lebih rendah dibanding hadis. Namun, ia akan mengesampingkannya apabila dipandang bertentangan dengan hadis; secara prinsip tradisi dari orang lain adalah tidak sebanding jika dihadapkan dengan tradisi Nabi. Dalam kondisi yang terdapat hukum atau keputusan berbeda terhadap kasus yang berulang (sama), apa yang terakhir dilakukan atau diputuskan oleh Nabi Muhammad SAW, itu yang lebih diutamakan. Tingkat pemahaman Abu Ubaid terhadap keduanya (al-Qur'an dan Hadis) membuatnya mampu untuk menuangkan keduanya di dalam beberapa buku seperti al¬Nasikh wa al-Mansukh , fi al-qur'an al-aziz wumafihi min al-Qur’an was as sunan, gharib al-Qur'an, ma 'ani al-Qur'an, gharib al-Hadits, yang merupakan penjelasan (tafsir) dan interpretasi (ta'wil) dari al-Qur'an dan al-Hadits.

Abu Ubaid mengatakan bahwa aturan umum dari sunnah dapat dispesifikasi dengan sunnah itu sendiri, tidak dengan menggunakan ra'yu. Sunnah dapat dibatalkan dengan sunnah yang lainnya atau dengan ayat dari al-Qur'an. Sumber ketiga yang digunakan Abu Ubaid adalah `ijma al¬`Rimmah (kesepakatan).Tampak bahwa Abu Ubaid sangat membatasi penggunaan analogi, di mana ia hanya menggunakannya jika tidak terdapat landasan yang jelas dari al-Qur'an dan sunnah. Hukum untuk kasus-kasus yang mempunyai sifat berbeda tidak boleh dianalogikan (disamakan) satu sama lainnya, sehingga hanya analogi kategoristik dan struktural yang dapat ditemukan dalam metode hukum. Juga setiap hukum dari sunnah dibatasi untuk hal yang ditentukan (oleh sunnah itu sendiri) dan tidak dapat dianalogikan (atau disamakan) dengan yang lain.

Abu Ubaid tidak memberikan pandangannya pada suatu kasus jika ia tidak menemukan landasannya di dalam al¬Qur'an dan hadis, walaupun begitu ia memberikan tempat bagi mayashid asy-syari'ah dalam melakukan ketetapan hukum¬-hukum. Sehubungan dengan ini, manfaat bagi publik (ul¬muslahah al-'ammah) merupakan penentu akhir dalam memilih alternatif dari ijtihad.Ia juga membagi keputusan hukum yang kontroversial menjadi terakreditasi dan tidak terakreditasi dengan merujuk pada otoritas dan ulama yang ternama saja. Preferensi Abu Ubaid terhadap pendapat para ulama yang kontroversial yang telah lama membuktikan bahwa ia memberi ruang pada ta 'amul (hukum adat atau tradisi).

C. PANDANGAN EKONOMI MENURUT ABU UBAID

1. Filosofi Hukum dari Sisi Ekonomi

Jika isi buku Abu Ubaid dievaluasi dari sisi filsafat hukum maka akan tampak bahwa Abu Ubaid menekankan keadilan sebagai prinsip utama. Baginya, pengimplementasian dari prinsip ini akan membawa kepada kesejahteraan ekonomi dan keselarasan sosial. Pada dasarnya ia memiliki pendekatan yang berimbang kepada hak-hak individual, publik dan negara; jika kepentingan individual berbenturan dengan kepentingan publik maka ia akan berpihak pada kepentingan publik.

Tulisan-tulisan Abu Ubaid lahir pada masa kuatnya Dinasti Abbasiyah dan tidak ada masalah legitimasi, sehingga pemikirannya seringkali menekankan pada kebijakan khalifah untuk membuat keputusan (dengan kehati-hatian). Khalifah diberikan kebebasan memilih diantara alternatif pandangannya asalkan dalam tindakannya itu berdasarkan pada ajaran Islam dan diarahkan pada kemanfaatan kaum Muslim, yang tidak berdasarkan pada kepentingan pribadi. Sebagai contoh, Abu Ubaid berpendapat bahwa zakat dari tabungan dapat diberikan pada negara ataupun penerimanya sendiri, sedangkan zakat komoditas harus diberikan kepada pemerintah, jika tidak maka kewajiban agama diasumsikan tidak ditunaikan.

Lebih jauh, pengakuannya terhadap otoritas Imam dalam memutuskan, untuk kepentingan publik seperti membagi tanah taklukan pada para penakluk ataupun membiarkan kepemilikannya pada penduduk setempat atau lokal, adalah termasuk dalam hal tersebut. Mirip dengan itu setelah mengungkap alokasi dari khams, ia menyebutkan bahwa imam yang adil dapat memperluas batasan-batasan yang telah ditentukan apabila mendesaknya kepentingan publik. Akan tetapi di lain pihak, Abu Ubaid dalam pembahasannya secara tegas menekankan bahwa pembendaharaan negara tidak boleh disalahgunakan atau dimanfaatkan oleh penguasa untuk kepentingan pribadinya. Perbendaharaan negara harus digunakan untuk kepentingan atau kemanfaatan publik.
Saat membahas tentang tarif atau persentase untuk pajak tanah dan poll-tax, ia menyinggung tentang pentingnya keseimbangan antara kekuatan finansial dari subyek non Muslim, dalam finansial modern disebut sebagai "capacity to pay" (kemampuan membayar) dan juga memperhatikan kepentingan para penerima Muslim. Pasukan Muslim atau karayan Muslim yang lewat di atas tanah subjek non Muslim dilarang untuk ditarik uang atau biaya yang melebihi apa yang diperbolehkan oleh perjanjian perdamaian.

la membela pendapat bahwa tarif pajak kontraktual tidak dapat dinaikkan tapi dapat diturunkan jika terjadi ketidakmampuan membayar serius. Lebih jauh Abu Ubaid mengatakan jika permohonan pembebasan hutang disaksikan oleh saksi muslim, maka komoditas komersial subyek muslim setara dengan jumlah hutangnya itu akan dibebaskan dari cukai ia juga menjelaskan beberapa bab untuk menekankan, di satu sisi bahwa pengumpul kharaj, jizyah, zakat tidak boleh menyiksa subyeknya dan di sisi lain bahwa para subyek harus memenuhi kewajiban finansialnya secara teratur dan pantas (wajar).

Dengan perkataan lain, Abu Ubaid berupaya untuk menghentikan terjadinya diskriminasi atau penindasan dalam perpajakan serta terjadinya penghindaran terhadap pajak. Pada beberapa kasus ia tidak merujuk pada kharaj yang dipelopori oleh khalifah umar ataupun ia melihat adanya permasalahan dalam meningkatkan ataupun menurunkannya berdasarkan situasi dan kondisi membuat kita berpikir bahwa Abu Ubaid mengadopsi keberagaman aturan atau hukum karena perbedaan waktu atau periode tidak dapat dielakkan). Namun, betapapun keberagaman tersebut terjadi hanya sah apabila aturan atau hukum tersebut diputuskan melalui suatu ijtihad yang didasarkan pada nash.

2.Dikotomi Badui (masyarakat desa) ke masyarakat kota

Abu Ubaid menegaskan bahwa berbeda dengan kaum badui, kaum urban atau perkotaan: l ) ikut terhadap keberlangsungan Negara dengan berbagi kewajiban administrasi dari semua muslim; 2) memelihara dan memperkuat pertahanan sipil melalui mobilisasi jiwa dan harta mereka; 3) menggalakkan pendidikan dan pengajaran melalui pembelajaran dan pengajaran al-Qur’an dan sunnah dengan penyebaran) keunggulan kualitas isinya; 4) melakukan kontribusi terhadap keselarasan sosial melalui pembelajaran dan penerimaan hudud (prescribed finalties); 5 ) memberikan contoh universalisme Islam dengan shalat berjamaah pada waktu Jum'at dan Id.

Singkatnya disamping keadilan Abu Ubaid mengembangkan suatu negara Islam yang berdasarkan administrasi pertahanan, pendidikan, hukum dan cinta. Karakteristik tersebut hanya diberikan oleh Allah kepada kaum Urban, kaum Badui biasanya tidak meyumbang pada kewajiban publik sebagaimana kewajiban kaum urban, tidak dapat menerima manfaat pendapatan fai seperti kaum urban, mereka tidak berhak menerima tunjangan dan provisi dari negara, mereka memiliki hak klaim sementara terhadap penerimaan. fai hanya pada saat terjadi tiga kondisi krisis seperti saat invasi atau penyerangan rnusuh, kekeringan yang dahsyat, dan kerusuhan sipil.'

Abu Ubaid memperluas aturan ini pada masyarakat pegunungan dan pedesaan, sementara ia memberikan kepada anak-anak perkotaan hak yang sama dengan orang dewasa terhadap tunjangan walaupun kecil yang berasal dari pendapatan,fai yang mungkin karena menganggap mereka (anak-anak) sebagai penyumbang potensial terhadap kewajiban publik yang terkait. Lebih lanjut Abu Ubaid mengakui adanya hak dari para budak perkotaan terhadap jatah yang bukan tunjangan.

Dari semua ini Abu Ubaid membedakan antara kehidupan para badui dengan kultur menetap perkotaan dan mengembangkan komunitas muslim atas dasar perhargaan martabat perkotaan. Solidaritas serta kerjasama merasakan kohesi sosial berorientasi urban dan komitmen vertikal dan horizontal sebagai unsur esensial dari stabilitas sosio politik dan makroekonomi. Namun, mekanisme yang disebut di atas meminjam banyak dari universalisme Islam membuat kultur perkotaan unggul dan dominan dibanding kehidupan nomaden. Tetapi cukup mengejutkan bahwa Abu Ubaid tidak dapat mengambil langkah selanjutnya dan berspekulasi pada isu-isu pembagian kerja (division of labour), surplus produksi, pertukangan dan lainnya dalam hubungan dengan organisasi perkotaan untuk kerjasama. Sebenarnya, dalam hal ini analisa Abu Ubaid lebih jelas dari sisio-politis dibanding ekonomi. Dari apa yang dibahas sejauh ini dapat terbukti bahwa Abu Ubaid selalu memelihara keseimbangan antara hak-hak dengan kewajiban-kewajiban warganegara.

3.Kepemilikan : Pandangan Kebijakan Perbaikan Pertanian

Abu Ubaid rnengakui adanya kepemilikan pribadi dan publik karena pendekatan terhadap kepemilikan tersebut sudah sangat dikenal dan dibahas secara luas oleh banyak ulama. Sesuatu yang baru dalam hubungan antara kepemilikan dengan kebijakan perbaikan pertanian ditemukan oleh Abu Ubaid secara implisit. Menurutnya, kebijakan pemerintahan seperti itu terhadap tanah gurun dan deklarasi resmi terhadap kepemilikan individual dari tanah tandus atau tanah yang sedang diusahakan kesuburannya atau diperbaiki sebagai insentif untuk meningkatkan produksi pertanian, maka tanah yang diberikan dengan persyaratan untuk ditanami dibebaskan dari kewajiban membayar pajak. Jika dibiarkan sebagai insentif untuk meningkatkan produksi pertanian, maka tanah yang diberikan dengan persyaratan untuk ditanami dibebaskan dari kewajiban membayar pajak, jika dibiarkan menganggur selama tiga tahun berturut-turut akan didenda dan kemudian akan dialihkan kepemilikannya oleh Imam. Bahkan tanah gurun yang termasuk dalam himu (tanah pribadi), pribadi dengan maksud untuk direklamasi jika tidak ditanami dalam periode yang sama dapat ditempati oleh orang lain dengan proses yang sama. Pemulihan yang sebenarnya adalah pada saat tanah tersebut ditanami setelah diairi, manakala tandus, kering atau rawa-rawa.

Adalah tidak cukup dalam kepemilikan sepetak tanah mati dan yang terkandung di dalamnya hanya dengan menggali sebuah sumur lalu meninggalkannya begitu saja; setelah itu jika tidak. diberdayakan atau ditanami tiga tahun berturut-turut hanya harim dari sumber air tersebut yang dapat dimiliki, sedangkan yang lainnya menjadi terbuka untuk direklamasi dan selanjutnya ditempati orang lain. Jadi, menurut Abu Ubaid sumber dari publik seperti sumber air, pada rumput penggembalaan dan tambang minyak tidak boleh pernah dimonopoli seperti pada himu (tanam pribadi). Semua ini hanya dapat dimasukkan ke dalam kepemilikan negara yang digunakan untuk pelayanan masyarakat.

4. Pertimbangan Kepentingan

Setelah merujuk pada banyak pendapat tentang seberapa besar seseorang berhak menerima zakat. Abu Ubaid sangat tidak setuju dengan mereka yang berpendapat bahwa pembagian yang sama antara delapan kelompok dari penerima zakat dan cenderung untuk meletakkan suatu batas tertinggi (ceiling) terhadap penerimaan perorangan. Bagi Abu Ubaid yang paling penting adalah memenui kebutuhan dasar seberapapun besarnya serta bagaimana menyelamatkan orang-orang dari kelaparan dan kekurangan,tetapi pada waktu yang sama Abu Ubaid tidak memberikan hak penerimaan kepada orang yang memiliki 40 dirham (harta lain yang setara) di samping pakaian, rumah dan pelayan (yang ia anggap sebagai suatu standar hidup minimum). Abu Ubaid menganggap bahwa seseorang yang memiliki 200 dirham (jumlah minimum wajib zakat) sebagai orang kaya sehingga ada kewajiban zakat terhadap orang tersebut.

Karenanya pendekatan ini mengindikasikan adanya tiga tingkatan sosio ekonomi pengelompokan yang terkait dengan status zakat yaitu kalangan kaya yang terkena wajib zakat, kalangan menengah yang tidak terkena wajib zakat tetapi juga tidak berhak menerima zakat, kalangan penerima zakat (mustahik). Berkaitan dengan itu ia mengemukakan pentingnya distribusi kekayaan melalui zakat. Secara umum Abu Ubaid mengadopsi prinsip bagi setiap orang adalah menurut kebutuhannya masing-masing (likulli wahidin hasba hajatihi) dan ia secara mendasar lebih condong pada prinsip "bagi setiap orang adalah menurut haknya'", pada saat ia membahas jumlah zakat (pajak) yang dibagi kepada pengumpulnya (pengelola) atas kebijakan Imam.

5.Fungsi Uang

Abu Ubaid mengakui adanya dua fungsi uang ¬yang tidak mempunyai nilai intrinsik sebagai standar dari nilai pertukaran (standard of exchange value) dan sebagai media pertukaran (medium of exchange). Tampak jelas bahwa pendekatan ini menunjukkan dukungan Abu Ubaid terhadap teori ekonomi mengenai yang logam, ia merujuk pada kegunaan umum dan relatif konstannya nilai emas dan perak dibanding dengan komoditas yang lain. Jika kedua benda tersebut digunakan sebagian komoditas maka nilainya akan dapat berubah-ubah pula karena dalam hal tersebut keduanya akan memainkan peran yang berbeda sebagai barang yang harus dinilai atau sebagai standar penilaian dari barang lainnya. Walaupun Abu Ubaid tidak menyebutkan fungsi penyimpanan nilai (store of 'value) dari emas dan perak, ia secara implisit mengakui adanya fungsi tersebut ketika membahas tentang jumlah tabungan minimum tahunan yang wajib terkena zakat dan jumlah zakatnya.

Abu Ubaid mengungkap sebuah bab terpisah untuk penimbangan dan pengukuran yang digunakan di dalam menghitung beberapa kewajiban finansial dalam kaitannya memenuhi kewajiban agama atau benda, yang juga merupakan ciri khusus dari Kitab al Amwal di antara buku-buku lain sejenis ini. Dalam bab lain diceritakan usaha khalifah Abdul Malik bin Marwan dalam melakukan standarisasi dari berbagai mata uang yang ada dalam sirkulasi.

Melalui pendekatan sejarah sosial dapat dilihat bahwa sebuah produk pemikiran hukum Islam pada dasarnya merupakan hasil interaksi pemikir itu sendiri dengan lingkungan sosio-kultural atau sosio-politiknya. Demikian hal ini juga tampak dalam pemikiran Abu Ubaid. Kondisi pemerintahan Dinasti Abbasiyah yang sangat legitimate dan situasi keilmuan yang kondusif telah memberikan warna dalam pemikiran Abu Ubaid. Dalam hubungan antara penguasa dengan rakyat Abu Ubaid lebih menempatkan pada otoritas dan kebijakan penguasa. Ia rupanya begitu percaya dan yakin terhadap khalifah akan membuat keputusan yang adil dan senantiasa berorientasi pada kepentingan rakyat. Hal ini sangat wajar karena para khalifah pada masanya secara integritas dan kapabilitas dapat menjalankan tugasnya dengan baik.

Abu Ubaid menekankan keadilan sebagai prinsip utama. Baginya, pengimplementasian dari prinsip ini akan membawa kepada kesejahteraan ekonomi dan keselarasan sosial. Pada dasarnya ia memiliki pendekatan yang berimbang kepada hak-hak individual, publik, dan negara; jika kepentingan individual berbenturan dengan kepentingan publik maka ia akan berpihak pada kepentingan publik. Inti dari pemikiran Abu Ubaid adalah memberikan panduan etik dan moral dalam hal distribusi keuangan publik (public .finance) secara adil.

Metode Abu Ubaid adalah kerangka kerja doktrinal, wawasan analitis dan rekomendasi kebijakan dalam kaitan terhadap tujuan-tujuan syari'ah serta kontes sosial dan sejarahnya. Ia mampu mengartikulasikan ajaran hukum yang langsung bersumber dari nash yaitu al-Qur'an dan hadis, serta utsur sahabat, dan tradisi masa awal Islam itu dapat dMilai dan diaplikasikan sesuai dengan kepentingan masanya.

Abu Ubaid hidup pada suasana Baghdad yang kosmopolit dan heterogen dimana persoalan masyarakat juga lebih kompleks dibandingkan wilayah lainnya. Suasana yang kondusif dan tradisi ilmiah membuat para ulama yang hidup di wilayah itu cenderung menggunakan Ra'yu, hal ini terlihat misalnya pada pemikiran Imam Abu Hanifah. Berbeda dengan lmam Malik yang hidup di Wilayah Hijaz, penduduk di wilayah ini dekat dengan pusat kekuasaan Nabi dan Khulafa Rasyidin dimana penyebaran hadis lebih banyak dan lebih lengkap daripada wilayah lainnya. Bagi Abu Ubaid, meskipun cukup lama tinggal di Baghdad tetapi ia sangat handal dan menguasai hadis. Karenanya dalam pemikirannya senantiasa mengikuti sunnah Nabi, akan tetapi ia juga memanfaatkan logika dan memakai rasio, meski sangat hati-hati. Abu Ubaid berpendapat bahwa aturan umum dari sumah dapat dispesifikasi dengan sunnah itu sendiri, tidak dengan menggunakan ra’yu (rasio). Sunnah dapat dibatalkan dengan sunnah yang lainnnya atau dengan ayat al-Qur'an. Sumber ketiga yang digunakan Abu Ubaid adalah ijma al¬'Ummah (kesepakatan). Tampak bahwa Abu Ubaid sangat membatasi penggunaan analogi dimana ia hanya menggunakannya jika tidak terdapat landasan yang jelas dari al-Qur"an dan sunnah. Hukum untuk kasus-kasus yang mempunyai sifat berbeda tidak boleh dianalogikan satu sama lainnya, sehingga hanya analogi kategoristik dan struktural yang dapat ditemukan dalam metode hukum. Juga setiap hukum dari sunnah dibatasi untuk hal yang ditentukan (oleh sunnah itu sendiri) dan tidak dapat dianalogikan dengan yang lain.
Abu Ubaid tidak memberikan pandangannya pada suatu kasus jika ia tidak menemukan landasannya di dalam al¬Qur'an dan hadis, walaupun begitu ia memberikan tempat bagi maqasid asy-syari'ah dalam melakukan ketetapan hukum. Sehubungan dengan ini, manfaat bagi publik (al-maslahah al¬-Ummah) merupakan penentu akhir dalam memilih alternatif dari ijtihad. Ia juga membagi keputusan hukum yang kontroversial menjadi terakreditasi dan tidak terakreditasi dengan merujuk pada otoritas dan ulama yang ternama saja. Preferensi Abu Ubaid terhadap pendapat para ulama yang kontroversial yang telah lama diaplikasikan membuktikan bahwa ia memberi ruang pada hukum adat atau tradisi.

Pemikiran Abu Ubaid merupakan rujukan dalam pengembangan ekonomi modern, bahkan berdasarkan analisa para pemikir ekonomi muslim kontemporer, Adam Smith dengan karyanya "The Wealth of Nation" sangat dipengaruhi oleh pemikiran Abu Ubaid dalam Kitab al-Amwal ini, padahal jarak antara keduanya cukup jauh. Tugas peneliti dan pemikir selanjutnya adalah menggali kembali khazanah fikih klasik yang lain sehingga dapat dimaknai nilainya dan diaplikasikan ke dalam konteks kehidupan saat ini.(m.PPs IAIN)

SUMBER BACAAN
HM. Atho Mudzar, "Pendekatan:Sejarah Sosial dalam Pemikiran Hukum Islam", Artikel pada Mimbar Hukum, Jakarta: Departemen Agama, 1992,

Atho Mudzar, "Pengaruh Faktor Sosial Budaya terhadap Hukum Islam ", tulisan dalam buku Hukum Islam dalam Tuntunan Masyarakat Indonesia. (Cik Hasan Baasri [ed.]), Jakarta: Logos, 1998,

Cik Hasan Basri. "Aspek-aspek Sosiologis Hukum Islam di Indonesia ".

Dzazuli, Ilmu Fiqh (Sebuah Pengantar), Indonesia, Bandung: Orba Shakti, 1991, 1994,

Ali Yafie, Menggasa Fiqih Sosial, Bandung: Mizan, 1998

Rifa'at al Awdiy, Min al Turast al Iqtishad li al Muslimin, Kuliah Tijarah-Jami'ah al Azhar, Mekah: Mathba'ah Rabithah al `Alam al Islami, t.t.,
Abu Ubaid al Qasim bin Salam, Kitab al Amal, Beirut: Dar al Fikr, 1408 H;1988 M,

M. Nejatullah Siddiqi, Islamic Economic Thought Recent Works on History of Economic Thought in Islam, a Survey, Reading in Islamic Thought, Malaysia: Longman, 1992,

Karnaen Perwataatmadja, "Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam", Diktat kuliah pada Fakultas Syari'ah, Jakarta, 2000/2001,1993,

CE. Bosworth, Dinasti-dinasti Islam, Bandung: PT. Mizan,Jakarta

Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1973), cet. ke-4,

Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI Press, 1985, jilid lI, Jakarta

Hans, Gottschalk, Abu Ubaid al Qasim bin Salam ; Studie zur Geschicte de Arabischen Biographie, Dar Islam 13, 1936: 245-289, dalam tulisan Cengiz Kallek,

Abu Ubaid Economic Thought, Kuala Lumpur: Associate Professor, International Institute of Islamic "Thought and Civilization, 1977,

Taj al Din Abdul al Wahhab ibn Ali, Tabaqat al Syafi 'iyah al Kubra, vol. II, Beirut: Dar al Ma'rifah, t.t.,

Hasan bin Abdul Rahman al Ramhurmudzi, al Muhaddith al Fasill bain al Ruwi wa al Wa 'i, Beirut, 1971,