Kamis, 29 Oktober 2009

Pandangan Etika menurut Ibn Maskawaih

Pandangan Etika menurut Ibn Miskawaih
Oleh DR.H.Ridjaluddin.FN.,M.Ag.
29- Oktober- 2009

Dalam Pemikiran Etika

Dalam pembahasan filsafat pendidikan Islam ini penulis cenderung pada sudut pandang tentang etika Ibn Miskawaih. Pada kali ini dilakukan juga perbandingan dengan pemikiran etika Aris¬toteles. Dalam sejarah pemikiran Islam, Ibn Miskawaih dikenal sebagai intelektual muslim pertama di bidang etika. Nama lengkap nya adalah Ahmad ibn Muhammad ibn Ya'qub ibn Miska waih. Ia lahir di Rayy, yang puing-puingnya terletak di dekat Teheran modern, pada tahun 320H/932. M dan meninggal pada usia lanjut (98 tahun umurnya) di Isfahan pada 9 shafar 421H/16 Februari 1030.

Ibn Miskawaih hidup pada masa pemerintahan Dinasti Buwaihi (320-450.H/932-1062M). Latar belakang pendidikannya secara terperinci tidak diperoleh keterangan. Akan tetapi ia didapat belajar sejarah kepada Abu Bakar Ahmad ibn Kamil al-¬Qadi. Pelajaran filsafat ia dapatkan dari Ibn al-Khammar dan pelajar¬an kimia didapat dari Abu Thayyib. Pekerjaan utama Ibn Miskawaih adalah bendaharawan, sekretaris, pustakawan, dan pendidik anak para pemuka Dinasti Buwaihi. Se1ain akrab dengan penguasa, Ibn Miskawaih juga banyak bergaul dengan para ilmuan seperti Abu Hayyan al-Tauhidi, Yahya ibn `Adi,dan Ibn Sina

Ibn Miskawaih juga dikenal sebagai sejarawan besar kemasyhuran nya melebihi al-Thabari (w. 310/923). Selain itu ia juga dikenal sebagai dokter, penyair, dan ahli bahasa.Keahliannya dalam berbagai bidang tersebut antara lain dibuktikan dengan karya tulis berupa buku dan artikel. Jumlah buku dan artikel yang dihasilkannya ada 41 buah. Dalam bidang etika, karyanya yang paling penting dan berpe¬ngaruh adalah Tahzib al-Akhlaq. Karya-karya yang lain ten¬tang etika, seperti dituturkan dalam beberapa sumber, antara lain Al-Fauz Al-Akbar, Al-Faus Al-Ashyhar, Tartib al¬-Sa'adat, Kitab Adab Al-'Arab wa Al-Furs, dan surat-surat pendek untuk edisi hampir semua karyanya yaitu fi Al-Lazzat wa Al-Alam, Fi Al-Nafs wa Al-'Aq1, sejumlah teks filosofis lainnya maupun surat wasiatnya sendiri, dan Risalah fi Al¬'Adl. Perlu ditambahkan pada kategori ini karya-karya tertentu yang digambarkan dalam berbagai sumber seperti antolo¬gi tentang etika atau puisi: Al-Farid, Al¬Mustawfi, dan Al-Siyar.

Sebelum membahas tentang keutamaan moral menurut Ibn Miskawaih akan kami bahas terlebih dahulu apa yang dimak¬sud dengan ajaran "jalan tengah", karena ia mendasarkan teori keutamaan moralnya pada bagian "pertengahan" (al-wasath).

Pendapat Ibn Miskawaih Tentang Jalan Tengah
Ajaran tentang jalan tengah (a1-wasath) yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah The Doctrine of the Mean atau The Golden Mean ternyata sudah dikenal para filsuf sebelum Ibn Miskawaih. Mencius (551-479 SM), seorang filsuf Cina, misalnya, telah menulis buku tentang ajaran jalan tengah. Filsuf Yunani seperti Plato, Aristoteles, dan Filsuf Muslim seperti al-Kindi dari Ibn Sina juga didapati memiliki ajaran tentang jalan tengah.

Ibn Miskawaih secara umum memberikan pengertian jalan tengah tersebut antara lain dengan keseimbangan, moderat,harmoni, utama, mulia, atau posisi tengah antar dua ekstrem. Akan tetapi ia tampak cenderung berpendapat bahwa keutamaan moral secara umum diartikan sebagai posisi tengah antara ekstrem kelebihan dan ektrem kekurangan masing-masing jiwa manusia. Jiwa manusia mempunyai tiga fakultas, yaitu: jiwa al-bahimiyyat, jiwa al-ghadabiyat, dan jiwa al-nathiqat.

Menurut Ibn Miskawaih, posisi tengah jiwa al-bahimiyyat adalah menjaga kesucian diri (al-iffat/ temperance). Posisi tengah jiwa al-ghadabiyyat adalah keberanian (al-syaja'at / ¬courage). Posisi tengah jiwa al-nathiqat adalah kebijaksa¬naan (al-hikmat/wisdom). Adapun gabungan dari posisi tengah atau keutamaan semua jiwa tersebut adalah keadilan (al-adalat/justice). Rincian masing-masing jalan tengah ini akan kami tempatkan sesudah pembahasan ini.

Keempat keutamaan moral (akhlakul al-Karimah) tersebut merupakan pokok, sedangkan keutamaan lainnya adalah sebagai cabang. Cabang dari keempat pokok keutamaan itu sangat banyak jumlahnya, tidak terhitung jumlah banyaknya. Jenis dan pemahamannyapun dapat disesuaikan dengan perkembangan jaman.

Menurut Ibn Miskawaih, setiap keutamaan mempunyai dua ekstrem. Yang tengah adalah terpuji dan yang ekstrem adalah tercela. Posisi tengah yang dimaksudkan di sini adalah suatu standar atau prinsip umum yang berlaku bagi manusia. Posisi tengah yang sebenarnya (al-wasath al-haqiqi) adalah satu, yaitu keutamaan (al-fadilat) . Yang satu ini disebut juga garis lurus (al-khathth al-mustaqim).

Karena pokok keutamaan ada empat yaitu menahan diri, keberanian, kebijaksanaan, dan keadilan, maka yang tercela intinya ada delapan. Kedelapan sifat tercela tersebut antara lain:

1.Nekad (al-tahawwur / ¬recklessness),
2. Pengecut (al-jubu / cowardice),
3, Rakus ( al-syarah / profigacy) ,
4. Dingin hati ( al-khumud / frigidity),
5.Kelancangan(al-safah, impudence),
6.Kebodohan (al-balah¬ / stupidity),
7. Aniaya (al-jaur / al-zhulm / tyranny), dan
8.Teraniaya(al-muhanat / al-inzhilam/
servility).

Menurut Aristoteles, posisi tengah di bidang moral bukan merupakan proporsi ilmu hitung (seperti 10 itu banyak, 2 itu sedikit sedangkan 6 adalah tengahnya). Karena itu ia berpendapat bahwa posisi tengah ini sangat relatif. Meski¬pun Ibn Miskawaih mengakui adanya sifat relatif bagi posisi tengah, tetapi ia tidak ingin menjadikan ukuran tengah tersebut berasal dari orang perorang tetapi berupa kaidah umum yang berlaku bagi setiap orang. Apabila sifat perten¬gahan itu disebut sifat yang baik, tentu timbul pertanyaan bagaimana menentukan sikap pertengahan secara benar. Kalau Aristoteles berpendapat bahwa alat untuk mengukur sikap pertengahan itu hanya dengan akal, maka Ibn Miskawaih berpendapat bahwa alat yang dijadikan ukuran untuk memperoleh sikap pertengahan adalah akal dan syari'at. Di sini tampak adanya perbedaan yang menyolok antara Ibn Miskawaih dan Aristoteles di bidang alat pengukuran moral.

Dalam menguraikan sikap tengah dalam moral (al-Wasath fi al-akhlaq) ini, Ibn Miskawaih tidak membawa satu ayat al-Qur’anpun atau Hadits. Namun demikian, spirit ajaran jalan tengah ini adalah Islami karena memang banyak dijumpai ayat-ayat al¬-Qur'an yang memberi isyarat untuk itu, seperti tidak boleh kikir tetapi juga tidak boleh boros, makan dan minumlah tetapi jangan berlebihan.

Ajaran tentang jalan tengah ini juga dapat dipahami sebagai ajaran yang mengandung arti dan nuansa dinamis. Letak dinamikanya terlihat pada tarik menarik antara kebutuhan, peluang, kemampuan, dan efektivitas. Sebagai makhluk sosial, manusia selalu dalam dinamika, mengikuti gerak jaman. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pendidi¬kan, ekonomi merupakan pemicu bagi gerak jaman. Ukuran jalan tengah selalu mengalami perubahan menurut perubahan ekstrem kekurangan maupun ekstrem kelebihan nya. Ukuran tingkat kesederhanaan di bidang materi misalnya, pada masyarakat kota dan desa tidak dapat disamakan.Ukuran tingkat kesederha naan untuk negara maju berbeda dengan negara berkembang, dan seterusnya.

Ibn Miskawaih berpendapat bahwa dengan memperhatikan "sangat mungkin" untuk ini tentunya Ibn Miskawaih ¬lebih banyak memberi peluang bagi kesungguhan usaha terus-menerus dengan sikap optimis untuk berhasil.Hanya saja istilah "sangat mungkin" yang diajukan Ibn Miska¬waih dapat dipahami dalam bahasa lain sebagai rasa pesimis walau barangkali ia tidak bermaksud demikian.

Dengan demikian yang dimaksud dengan posisi tengah adalah keadaan sedemikian rupa sehingga jiwa dapat menempati posisi yang utama (al-fadilat). Apabila seseorang senantiasa berupaya menempuh posisi pertengahan dalam segala situasi maka sifat-sifat utama, yaitu kesucian diri, keberanian, kebijaksanaan, dan keadilan akan dapat dihasilkan. Dari uraian tersebut dapat penulis simpulkan bahwa ajaran jalan tengah tidak hanya memiliki nuansa dinamis tetapi juga fleksibel. Oleh karena itu, ajaran tersebut dapat terus menerus berlaku dengan tantangan jamannya tanpa menghilangkan nilai-nilai esensial dari pokok keutamaan moral.

Seperti telah penulis janjikan di depan, berikut ini rincian pokok ajaran keutamaan moral menurut Ibn Miskawaih ;

Cara Menjaga Kesucian Diri Pribadi

Ajaran keutamaan moral yang pertama adalah menjaga kesucian diri (al-'iffat / temperance).Al-'iffat merupakan keutamaan jiwa al-bahimiyyat. Keutamaan ini akan muncul pada diri manusia apabila nafsunya dikendalikan oleh pikirannya. Artinya, ia mampu menyesuaikan pilihan yang benar sehingga bebas, tidak dikuasai dan tidak diperbudak oleh nafsunya. Sifat ini merupakan pertengahan antara rakus (al-syarah / pro¬figacy) dengan dingin hati (khumud al-syahwat/ friqidity) . Yang dimaksud dengan al-syarah adalah tenggelam dalam kenik¬matan dan melampaui batas. Adapun yang dimaksud dengan khumud al-syahwat adalah tidak mau berusaha untuk memperoleh kenikmatan yang baik sebatas yang diperlukan oleh tubuh, sesuai dengan yang diizinkan syari'at dan akal.

Tampaknya Ibn Miskawaih mengambil pengertian al-`iffat tersebut dari uraian Aristoteles. Akan tetapi seperti halnya ukuran untuk keberanian, Aristoteles sendiri tidak menyebut syari'at sebagai landasan untuk memperoleh posisi tengah antara rakus dan dingin hati. Untuk menemukan posisi tengah tersebut, Aristoteles hanya menyebut akal. Di sini terlihat perbedaan pokok antara Aristoteles dan Ibn Miskawaih. Ibn Miskawaih memasukkan syari'at dalam filsafat. Di sini pula letak salah satu Islamisasi filsafat Yunani oleh para filsuf muslim.

Aristoteles juga berpendapat; bahwa al-'iffat ini hanya berkaitan dengan kesenangan jasmani (panca indra), terutama indra peraba (touch) dan indra perasa (taste). Pada dasarnya, obyek kesenangan itu hanya bertumpu pada indra peraba seperti makan-minum dan kegiatan seksual. Barangka¬li dasar pertimbangannya adalah makan-minum dan kegiatan seksual merupakan sebab utama munculnya nafsu jahat yang ada pada diri manusia. Sementara itu dalam pemikiran Ibn Miska¬waih tidak memberikan batasan indra mana yang paling domi¬nan bagi obyek pembicaraan al-'iffat. Akan tetapi kalau diperhatikan batasan al-'iffat yang dikemukakan di atas, maka titik berat sasaran pembahasannya juga menyangkut kesenangan fisik.

Jiwa al-bahimiyyat (al-nafs al-Bahimiyah) yang menjadi pangkal terciptanya al-'iffat, manusia dibanding al-nafs yang lain. Di antara daya yang muncul pertama kali dari al-nafs al-bahimiyyat Karena makan-minum ini menjad faktor dominan bagi kelangsungan hidup maka Ibn Miskwaih tampak memberikan perhatian utama dalam masalah ini. Menurutnya pertimbangan dasar yang perlu diperhatikan bagi makan-minum adalah kesehatan tubuh, menghindari sakitnya haus dan mencegah penyakit, bukan karena kenikmatan / ke¬lezatan semata.

Oleh karena itu, latihan terus menerus perlu dilakukan dalam menentukan kuantitas, kualitas, dan jenis makanan dan minuman, agar tidak membawa efek buruk lagi.Tercela seperti cepat marah, nekad, malas, dan lain-lain. Latihan secara rutin yang harus dimulai sejak awal pertumbu¬han manusia baik menyangkut makan-minum, berpakaian, lainnya yang berkaitan dengan kebutuhan fisik, diarahkan untuk mencapai posisi tengah, bukan berlebihan atau kekurangan.

Pada fase awal ini fungsi syari'at harus lebih diutama¬kan oleh orang tua dalam menentukan sikap pertengahan anak¬-anaknya karena semakin lama pikiran mereka dapat mengetahui alasannya. Pelajaran yang pantas ditarik dari uraian ini adalah ternyata bahwa Ibn Miskawaih menempatkan syari'at sebagai unsur dominan bagi terciptanya jalan tengah dari al-¬nafs al-bahimiyyat. Penerapan syari'at untuk tingkatan anak lebih bersifat doktriner. Karena itu, unsur taqlid terhadap syari'at pada usia anak masih ditekankan.

Dibanding dengan ajaran keutamaan moral yang lain, al-¬'iffat justru memiliki cabang yang lebih banyak dan bahkan ada yang memiliki sub-cabang. Setidaknya ada dua belas cabang dan enam sub cabang yang telah disebut oleh Ibn Miskawaih. Tetapi inti yang dimajukannya berisi upaya sikap menahan diri untuk memperoleh atau memberi sesuatu harta. Kedua belas cabang itu adalah:

1. Al-haya' (pengenda¬lian jiwa untuk takut melakukan perbuatan yang jelek),
2. Al-da'at (ketenangan jiwa ketika nafsu bergolak) ,
3. Al-¬shabr (menahan nafsu agar tidak terbuai oleh buruknya kele¬zatan),
4. Al-sakha' (sikap tengah dalam hal pemberian),
5. Al-hurriyyat (keutamaan jiwa dalam memperoleh, memberikan, dan menolak harta secara benar),
6. Al-qana'at (sikap sedang dalam hal makan, minum, dan perhiasan),
7. Al-damasat (kece¬nderungan jiwa terhadap yang baik dan cepat mewujudkannya),
8. Al-intizham, kondisi jiwa yang menilai sesuatu secara tepat dan mengaturnya dengan cara yang sangat baik,
9. Husn/Al-Hady, senang menghias diri dengan yang baik,
10. Al-Musalamat,kemampuan diri untuk meninggalkan sesuatu yang tidak baik.
11. Al-Waqar (ketenangan jiwa ketika tuntutan nafsu mendesak) ,
12. Al -Wara', kontiunitas dalam berbuat baik..

Adapun cabang al-sakha adalah:al-Karam, mudah mendermakan harta yang banyak untuk kepentingan yang baik), Al-Isar (mengurangi kebutuhan pribadi sehingga mampu memberikan kepada orang lain yang berhak),al-nubl, kepuasan jiwa karena melakukan pekerjaan yang besar,al-muwasat, menolong orang lain dengan harta dan makanan, al-samahat, memberikan sebagian di luar yang wajib, dan al-musamahat, (membatalkan sebahagian yang wajib atas dasar kemauan dan pilihan).

Apabila cabang-cabang al-'iffat diamati secara cermat, maka dapat dipahami bahwa keselamatan spiritual individu (individu spiritual salvation), dalam arti. mengutamakan ke¬selamatan jiwa pribadi, merupakan ciri khusus konsep pendi¬dikan moralnya. Bila jenis cabang-cabang a1-'iffat ditinjau dari sisi makna keutamaan sosial, maka Ibn Miskawaih tampak memberikan porsi yang lebih banyak. Pendapat Ibn Miskawaih tentang al-sakha' dengan semua cabangnya dapat dipahami bagai keutamaan sosialnya. Sementara itu, Ibn Miskawaih meskipun tidak dikenal sebagai sufi tetapi agaknya ia juga tidak dapat menolak kenyataan bahwa usaha memperoleh keselamatan pribadi hakekatnya juga termasuk salah satu ciri kesufian.terhadap sesuatu yang seharusnya tidak diperlukan sikap ini. Oleh sebab itu, al-tahawwur digolongkan sebagai ekstrem kelebihan.

Pada sisi lain lain lagi, dominasi al-iffat yang berkaitan dengan keselamatan spiritual individual di atas, merupakan bukti bahwa perjuangan melawan nafsu pribadi lebih banyak, lebih rumit, dan lebih berat dibanding dengan perjuangan di medan perang. Musuh yang dihadapi adalah medan pertemuran relative lebih mudah diapersepsi oleh indra, sementara musuh yang perlu diperangi dalam pribadi terasa lebih pelik.

Keberanian Merupakan keutamaan Jiwa Seorang Muslim

Keberanian adalah merupakan keutamaan dari jiwa al-ghadabiyyat. Keutamaan ini muncul pada manusia sewaktu nafsunya dibimbing oleh jiwa an-natiqat. Artinya, ia tidak takut terhadap hak-hak yang besar jika pelaksanaannya membawa kebaikan dan mempertahankannya merupakan hal yang terpuji. Sifat ini merupakan pertengahan antara pengecut, al-jubn dengan nekad, al-tahawwur . Al-Jubn adalah takut terhadap sesuatu yang seharusnya tidak ditakuti. Sebab itu al-jubn digolongkan sebagai ekstrem kekurangan. Adapun al-tahawwur adalah berani terhadap sesuatu yang seharusnya tidak diperlukan sikap ini. Oleh sebab itu, al-tahawwur digolongkan sebagai ekstrem kelebihan.

Karena sikap al-jubn dan al-tahawwur sumber dan penyebabnya adalah an-nafs al-ghadabiyyat, maka Ibn Miskawaih berpendapat bahwa keduanya sangat terkait dengan sifat marah. Walaupun marah itu digolongkan sebagai penyakit rohani yang paling serius tetapi agaknya Ibn Miskawaih juga berpen¬dapat bahwa marah itu sendiri tidak tercela.Hal ini dapat dimaklumi karena marah tersebut dapat dijadikan alat menolak sesuatu yang merusak jika dilakukan tidak berlebihan atau kekurangan. Karena itu Ibn Miskawaih menegaskan bahwa yang disebut pemberani itu setidaknya ditandai oleh enam hal:

1. Dalam soal kebaikan, ia memandang ringan terhadap sesuatu yang hakekatnya berat,
2. Ia sabar terhadap persoalan yang menakutkan,
3. Memandang ringan terhadap se¬suatu yang umumnya dianggap berat oleh orang lain sehingga ia rela mati dalam memilih persoalan yang paling utama,
4. Tidak bersedih terhadap sesuatu yang tidak bisa dicapainya,
5. Tidak gundah apabila menerima berbagai cobaan,
6. Kalau ia marah dan mengadakan pembalasan maka kemarahan dan pemba¬lasannya dilakukan sesuai dengan ukuran, obyek dan waktu yang diwajibkannya.

Dari uraian di atas diperoleh pemahaman bahwa gejala terbesar keberanian adalah tetapnya pikiran ketika berbagai bahaya datang. Kondisi seperti ini hanya akan diperoleh karena adanya faktor ketenangan dan keteguhan jiwa dalam menghadapi segala hal.

Sandaran untuk memperoleh konsekuensi keberanian antara Aristoteles dan Ibn Miskawaih tampak ada perbedaan. Aris¬toteles lebih menitik beratkan keberanian untuk memperoleh kematian yang mulia tanpa mengkaitkan akibatnya setelah ke¬matian. Sedangkan Ibn Miskawaih menitik beratkan akibatnya pada selama hidup dan sesudah kematiannya. Hanya saja teori keberanian mereka sama-sama diukur sebagai sesuatu yang terpuji.

Sebagaimana kesucian diri (al-'iffat),keberanian juga memiliki berbagai cabang. Ibn Miskawaih menyebut sembilan macam cabang yang ada dalam keberanian, yaitu:

Jiwa besar, kibar al-nafs, pantang ketakutan, al-najdat, ketenangan, ‘izham al-himmat, keuletan, al-sabat, kesabaran,al-shabar,murah hati, al-hilm, menahan diri,’adam al-thaisy, keperkasaan, al-syahamat, dan memiliki daya tahan yang kuat atau senang bekerja berat, ihtimal al-kadd. Ibn Miskawaih memasukkan al-shabar ke dalam dua tempat : Sebagai cabang keberanian, dan sebagai cabang dari kesucian diri. Al-Shabar sebagai cabang dari kesucian diri diartikan sebagai sabar dalam menahan nafsu yang bergelora terhadap berbagi akibat buruknya kelezatan.



Kebijaksanaan Sebagai Keutamaan Jiwa

Ibn Miskawaih dalam hal ini berpendapat bahwa kebijaksanaan adalah keutamaan jiwa rasional (al-nafs al- nathiqat) yang mengeta¬hui segala maujud (al-maujudat), baik hal - hal yang bersifat ketuhanan (al-umur al-ilahiyyat) maupun hal-hal yang bersi¬fat kemanusiaan (al-unsur al-insanniyyat). Pengetahuan ini membuahkan pengetahuan rasional (al-ma'qulat) yang mampu memberi keputusan antara yang wajib dilaksanakan dengan yang wajib ditinggalkan.

Di samping itu Ibn Miskawaih juga memberi pengertian bahwa kebijaksanaan adalah pertengahan (al-wasath) antara kelancangan(al-safah /impudence) dan kebodohan(al-balah/ stupidity). Yang dimaksud dengan kelancangan di sini adalah penggunaan daya pikir yang tidak tepat (ma la yanbaghi wa kama la yanbaghi/wrong ends and in the wrong ways). Adapun yang dimaksud dengan kebodohan adalah membekukan dan menge¬sampingkan daya pikir walau sebetulnya mempunyai kemampuan. Dengan demikian yang menjadi tekanan Ibn Miskawaih di sini bukan pada sisi kualitas daya pikir itu melainkan pada sisi kemauan untuk menggunakannya.

Ibn Miskawaih memberikan tujuh jenis keutamaan yang termasuk dalam kebijaksanaan (al-hikmat), yaitu:

1. Ketaja¬man intelegensi (a1-zaka' / intelligence),
2. Kuat ingatan (al-zukr / retention),
3. Rasionalitas (ta'aqqul / rationality),
4. Tangkas (sur'at al-fahm/.soundness of understanding),
5. Jernih pemikiran (jaudat al-zihn / clarity of mind), dan
6. Mudah dalam belajar (suhulat al-ta'allum / capacity for learn¬ing easily).

Pembidangan antara yang pokok dengan yang cabang pada kebijaksanaan di atas agaknya ditinjau dari sisi hasil dan proses pencapaian. Kebijaksanaan itu sendiri sebetulnya merupakan hasil, sedangkan cabangnya merupakan proses bagi terwujudnya hasil. Hal ini tampak pada perbedaan penye¬butan macam macam cabang atas kebijaksanaan itu. Sangat wajar apabila terdapat jenis dan proses untuk memperoleh hasil bagi orang perorang atau bahkan seseorang pada suatu waktu. Akan tetapi apabila diambil intinya, kebijaksanaan (al-hikmat) di sini adalah suatu keadaan jiwa yang memungkinkan seseorang membedakan yang benar dari yang salah dalam semua keadaan secara sukarela tanpa ada tekanan atau paksaan dari pihak lain.

Untuk memperoleh hasil tersebut, maka antara lain seseorang harus memiliki sifat-sifat suka akan ilmu penge¬tahuan, mudah dalam belajar, tajam ingatan, dan mudah lagi benar dalam mereproduksi kembali apa yang telah diingat, baik dalam wujud perkataan atau dalam perbuatan. Adapun jenis lainnya sebetulnya dapat digolongkan sebaqai faktor penunjang bagi kelancaran proses.

Secara sederhana, maksud dari kebijaksanaan (al-hikmat) ini adalah kemampuan dari kemauan seseorang menggunakan pemi¬kirannya secara benar untuk memperoleh pengetahuan apa saja sehingga mendapatkan pengetahuan yang rasional. Pengetahuan rasional tersebut kemudian diaplikasikan dalam wujud perbua¬tan berupa keputusan untuk wajib melaksanakan atau mening¬galkan sesuatu.

Menegakkan Keadilan bagi Seorang Muslim

Keadilan (al-adalat) merupakan gabungan dari ketiga keutamaan al-nafs. Dikatakan demikian karena seseorang tidak dapat disebut sebagai kesatria jika ia tidak adil. Demikian pula orang tidak dapat disebut pemberani jika ia tidak mengetahui keadilan jiwa atau dirinya dan mengarahkan semua indranya untuk tidak mencapai tingkat nekad (al-tahawwur) maupun pengecut (al-jubn). Al-hakim tidak akan memperoleh al-hikmat jika ia tidak menegakkan keadilan dalam berbagai pengeta¬huannya dan tidak menjauhkan diri dari sifat kelancangan (al-safah) dan kebodohan (al-balah). Dengan demikian manusia tidak akan dikatakan adil jika ia tidak mengetahui cara mengharmonisasikan al-hikmat, al-syaja'at, dan al-'iffat.

Menurut Ibn Miskawaih, keadilan memang diterjemahkan sebagai pertengahan antara al-zhulm dan al-inzhilam. Al-¬zhulum berarti memperoleh hak milik dari sumber dan cara yang tidak semestinya (berbuat aniaya). Adapun al-inzhilam adalah menyerahkan hak milik kepada orang yang tidak semestinya dan atau dengan cara yang tidak semestinya pula (teraniaya).

Pengertian keadilan di sini disepakati oleh para filsuf bukan sebagai sebuah keutamaan tersendiri melainkan keuta¬maan secara menyeluruh. Keadilan ini merupakan gabungan dari semua keutamaan, karenanya ia hanya akan tercapai jika setiap jiwa mewujudkan masing-masing keutamaan.

Konsep keadilan menurut Ibn Maskawaih tampak bersifat Platonik, tetapi kelihatan pula bahwa ia secara mudah mempertemu kan perangkat-perangkat keadilan itu ke dalam kerangka Aristoteles. Dengan demikian, keadilan didefinisikan sebagai kesempurnaan dan pemenuhan ketiga keutamaan: kesu¬cian diri, keberanian, dan kebijaksanaan, yang hasilnya adalah keseimbangan (al-i'tidal) atau persesuaian (al-nisbat) antara ketiga macam: al-bahimiyyat, al-ghadabiyyat, dan al-¬nathiqat. Keseimbangan ini kemudian diinterpretasikan secara Pythagorian dan Neo-Platonik sebagai cara penyatuan, bahwa prinsip, utama hidup di dunia ini adalah sebagai pengganti (surrogate) atau bayangan keesaan (zhill al-wahdat /shadow of unity). Pada hakekatnya kesatuan ini merupakan sinonim dari kesempurnaan sesuatu (perfection of being) dan pada lain kesempatan ia juga merupakan sinonim dari kebijaksanaan yang sempurna (perfect goodness).

Ibn Miskawaih membagi keadilan secara umum menjadi tiga macam, yaitu:

1. Keadilan alam (al-'adl al-thabi'i / natural justice) ,
2. Keadilan menurut adapt / kebiasaan (al -'adl al -wad'i / conventional justice), dan
3. Keadilan Tuhan(al- 'adl al-ilahi / divine justice) .Keadilan yang khusus diupayakan manusia, ada dalam ketiga macam keadilan ini, karena itu, keadilan yang khusus diupayakan manusia tidak dapat dipisah¬kan dari ketiga keadilan lainnya. Inti masing-masing keadi¬lan tersebut adalah bernilai baik selama sisi keharmonisan hubungan dari unsur-unsur yang hakekatnya berbeda.

Karena benda-benda yang bersifat fisik tidak pernah akan terbebas dari pluralitas, maka benda-benda fisik tersebut tidak akan pernah pula menyatu dalam arti sebenarnya, melainkan hanya lebih dekat kepada persatuan dalam arti kiasan atau pengganti persamaan ini. Melalui persamaan ini, benda-benda yang bersifat fisik menerima suatu penyatuan atau keseimbangan, tetapi benda-benda tersebut tetap memeli¬hara identitasnya sendiri dan tidak dapat didominasi atau dirusak oleh sekelompok benda lain. Hal seperti. inilah yang dimaksud dengan keadilan alam. Tanpa adanya keadilan seperti ini, alam secara keseluruhan akan hancur.

Inti adanya keadilan alam adalah adanya ekstrem yang bertentangan. Masing-masing ekstrem mewujudkan dalam pertentan¬gan yang sama kuat sehingga masing-masing mempunyai eksistensi. Kondisi ini melahirkan gerak melingkar yang hakekat¬nya adalah satu. Di sini tidak ada yang kalah atau menang. Karenanya, ia menjadi satu dengan yang memelihara wujudnya.

Aristoteles berpendapat bahwa keadilan Tuhan adalah juga keadilan alam. Karena itu, ia membagi keadilan hanya ada dua, yaitu: keadilan alam dan keadilan menurut adat kebiasaan.Ibn Miskawaih justru mempertentangkan keadilan alam dengan keadilan Tuhan. Tetapi Ibn Miskawaih juga menga¬kui ada sisi persamaan antara keadilan alam dengan keadilan Tuhan. Menurutnya, walaupun keduanya sama-sama abadi, tetapi keadilan ilahi eksis dalam alam immateri sementara keadilan alam hanya eksis dalam alam materi. Untuk memberikan pemaha¬man tentang ini, Ibn Miskawaih mengutip teori Pythagorian tentang paham bilangan. Teori ini menyatakan bahwa bilangan merupakan abstraksi dari sesuatu yang terbilang. Kalaupun sesuatu yang terbilang itu dihilangkan maka bilangannya tetap tidak akan hilang atau berubah.

Dengan demikian, keadilan alam terjadi karena masing¬-masing benda alam eksis pada dirinya. Eksis pada diri ini muncul karena ada dua kubu ekstrem yang sama-sama kuat atau sama-sama lemah. Agaknya teori ini dapat ditarik kepada pengertian bahwa eksistensi sesuatu akan eksis dikarenakan oleh eksis lainnya, yakni ekstrem-ekstremnya.

Adapun keadilan menurut adat kebiasaan, dibagi lagi menjadi dua : Umum, disetujui oleh setiap orang, khusus, hanya disetujui oleh bangsa, daerah, sampai yang terkecil (dua individu). Norma bagi keadilan ini tidak bisa tetap dan absolut. Pembuat, aturan dan perundang-undangan wajib menyesuaikan situasi dan kondisi. Semua peraturan atau perundang-undangan tidak boleh berlaku tetap melainkan dapat diubah sesuai perubahan situasi dan adat. Hal ini dimungkin¬kan karena bisa jadi sesuatu bernilai adil dalam waktu yang lainnya bisa berubah menjadi tidak adil. Dari sini terlihat pendapat bahwa ukuran bagi keadilan menurut adat kebiasaan adalah peraturan atau perundang¬undangan yang disepakati.

Adapun keadilan yang khusus diupayakan manusia adalah menjaga keselarasan atau keseimbangan kekuatan fakultas ¬fakultas jiwanya sehingga satu dengan lainnya tidak saling berselisih dan menindas. Yang berlaku bagi kesehatan jiwa, berlaku pula bagi kesehatan tubuh. Kalau jiwanya mulia dan utama maka demikian pula tubuhnya, dan sebaliknya. Hal ini akan bisa dicapai apabila manusia dapat menjaga keseimbangan dalam temperamen yang moderat. Seperti halnya Aristoteles, Ibn Miskawaih juga berpendapat bahwa manusia yang adil bukan hanya memperoleh keseimbangan atau harmoni pribadi melainkan juga dengan orang lain.

Keadilan dalam kaitannya dengan orang lain, ia bagi menjadi tiga, yaitu: Pertama pembagian harta dan kehormatan (al-karamat), kedua, muamalah yang disengaja, al-mumalat al-iradiyyat, dan ketiga, pembagian sesuatu (yang tidak disengaja) yang di dalamnya terjadi ketidakadilan.

Untuk memperoleh keadilan dalam pembagian harta dan kehormatan, digunakan perbandingan ilmu hitung yang oleh Ibn Miskawaih disebut: perbandingan terpisah (al-nisbat fashilat / discrete proportion) yang berlaku dalam empat hal seperti : A: B = C:D. Pada kedilan yang berkaitan dengan muamalah yang disengaja, pada suatu waktu digunakan perbandingan terkait atau berkelanju tan,al-nisbat al-muttashilat/ continous proportion dan pada waktu yang lain digunakan perbandingan terpisah, al-nisbat al—mufashilat.

Contoh untuk perbandingan ini ialah : A (penjahit/al-bazzaz) dibanding B (tukang sepatu/ al-iskafi)=C (pakaian/al-saub) dibanding D (sepatu/khuff). Karena itu tidak salah juga bila perban¬dingan dilakukan dengan A (penjahit) dibanding B (tukang sepatu) = B (tukang sepatu) dibanding C ( tukang kayu) pakaian A dibanding sepatu B = sepatu B dibanding kursi C. Untuk keadilan dalam kaitannya dengan muamalah yang tidak disengaja, yang didalamnya terjadi ketidak adilan, digunakan perbandingan (al-nisbat al-misahiyyat / geometrical proportion)

Ibn Miskawaih menurut penulis tidak menginginkan membuat perbandingan antara seseorang dengan seseorang lainnya,kalau tetap juga dibuat perbandingan, maka hasilnya tidak mudah di dapat secara tepat, dikarenakan perbandingan hanya bisa dilakukan bila semua unsur perbandingan diperoleh. Di samping itu, diperlukan juga pengetahuan tentang posisi tengah antara ekstrem kelebihan dan ekstrem kekurangan dalam setiap hal. Setiap orang memiliki kelebihan atau kekurangan di bidangn¬ya.

Begitu rumitnya memperoleh perbandingan yang tepat, Ibn Miskawaih memberikan ilustrasi sebagai berikut. Garis lurus yang dibagi dua tidak sama misalnya, akan terjadi keadaan, yang satu lebih panjang dan yang satu lagi kurang panjang. Untuk mencapai titik kesamaan, maka yang kurang ditambah dan yang lebih dikurangi. Oleh sebab itu, dalam rangka mempero¬leh kesesuaian dalam perbandingan dan dimungkinkan menggunakan berbagai pendekatan yang sesuai dengan obyeknya. Diantara pendekatan itu adalah perbandingan dengan hitungan, geomet¬ri, dan persesuaian (al-nisbat al-ta'lifiyyat).

Menurut Ibn Miskawaih keadilan yang diupayakan manusia diarahkan kepada keadilan terhadap dirinya dan terhadap orang lain. Terhadap kedua arah keadilan ini masing-masing mempunyai tingkat kesulitan. Keadilan untuk diri sendiri berarti keseimbangan dan keharmonisan masing-masing jiwa yang ada dalam dirinya. Untuk mengatasi kesulitan mencapainya diperlukan pemahaman secara pasti posisi tengah dari masing-masing jiwa.

Adapun cara memperoleh keadilan terhadap orang lain dapat tercipta melalui berbagai pendekatan, seperti pendekatan bilangan, geometri, atau persesuaian, yang intinya harus diperoleh kesamaan. Keadilan hanya akan diperoleh bila segala aspek yang mungkin ada pengaruh bagi terciptanya ketidakadilan (berbuat aniaya dan atau tera¬niaya), diwaspadai. Kalau demikian, yang dapat disebut adil di sini berarti adil buat diri dan juga pihak lain, termasuk terhadap alam dan Tuhan.

Akhirnya penulis dapat mengambil pemahaman bahwa pokok keutamaan moral yang dimaksudkan Ibn Miskawaih adalah terciptanya keserasian pribadi dengan lingkungannya: sesama manusia, alam, dan Tuhan. Keserasian itu ditunjukkan oleh kemampuan manusia dalam mengharmonisasikan jiwa al-bahimiyyat, al-¬ghadabiyyat, dan al-nathiqat yang ada pada dirinya dan dengan pihak di luar dirinya. Keserasian atau pertengahan dalam moral tampaknya dapat pula dipahami sebagai sikap menghindari konflik. Dapat pula secara sinis dipahami bahwa moral jalan tengah mengajarkan seseorang untuk selalu mencari selamat sendiri.

Sebaliknya, pemikiran moral jalan tengah dapat pula ditarik kepada suatu pendapat yang mengar¬ah kepada kemampuan seseorang menyesuaikan diri terhadap lingkungannya, dapat diterima semua pihak. Agaknya, sikap yang demikian terlihat lambat menerima perubahan. Akan tetapi kalau diperbandingkan dengan rincian pendapat Ibn Miskawaih yang lain, doktrin jalan tengah yang dikehendaki¬nya lebih dekat diberi pengertian sebagai "moral yang dina¬mis". Karena dalam ukuran keseimbangan selalu terjadi tarik ¬menarik antara kebutuhan, peluang, kemampuan, dan efektivi¬tas individu, masyarakat, waktu dan tempat.

Hal yang menarik menurut pendapat penulis dari pendapat Ibn Miskawaih menyangkut upaya mencapai posisi tengah masing-masing jiwa manusia adalah penempatan fungsi syari'at dan filsafat. Ibn Miskawaih memang berpendapat bahwa filsafat dan syari'at menempa¬ti posisi penting pada tempatnya masing-masing. Syari'at berfungsi efektif bagi terciptanya posisi tengah jiwa al-bahimiyyat dan al-ghadabiyyat, sedangkan filsafat, berfungsi efektif bagi terciptanya posisi tengah jiwa al-nathiqat.

Berarti bahwa syari'at dan filsafat harus diwujudkan dalam diri seseorang. Tampaknya dasar pertimba ngannya adalah karena jiwa al-bahimiyyat dan al-ghadabiyyat sangat cender¬ung terhadap materi, sebaliknya jiwa al-nathiqat sangat tidak cenderung terhadap materi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar