Kamis, 22 Oktober 2009

SABAR VERSI IMAM AL-GHAZALI

TINJAUAN SABAR VERSI
IMAM AL-GHAZALI

Oleh Ridjaluddin.FN.
23 Oktober 2009

Akhlak sabar (al-akhlaq al-shabr) dibutuh kan dalam dua kondisi kehidupan. Pertama, kondisi yang sesuai dengan harapan seperti menerima nikmat, bahagia, kaya, sejahtera, suka, dan seterusnya. Kedua, kondisi yang tidak sesuai dengan harapan seperti ditimpa musibah dan penderitaan , susah, miskin, sengsara, duka nestapa dan seterusnya. Berdasarkan perbedaan ini, maka Imam al-Ghazali membedakan nama (istilah) sabar sesuai dengan peristiwanya. Namun demikian, bermacam istilah, tetap termasuk dalam kerangka sabar (al-shabr).

Imam al-Ghazali berkata: Apabila sabar melawan nafsu perut dan nafsu biologis disebut al-‘iffah. Sabar (al-shabr) menghadapi kondisi yang tidak disukai nama sabar (al-shabr) berbeda sesuai dengan kondisinya:

 Sabar terhadap musibah dan penderitaan disebut al-shabr antonimnya al-hal’u wa al-jaz’u,
 sabar dalam kondisi kaya disebut dhabth al-nafs antonimnya al-bathr,
 sabar menghadapi perang disebut al-syaja’ah antonimnya al-jabn,
 sabar mengendalikan emosi disebut al-hilm antonimnya al-tazammur,
 sabar menghadapi masa sulit disebut sa’at al-shabr antonimnya al-dhajr wa al-tabarrum wa dhayyiq al-shadr,
 sabar mengendalikan lisan disebut kitman al-sirr dan pelakunya disebut katum,
 sabar dalam kemewahan disebut al-zuhd antonimnya al-hirsh,
 sabar menghadapi sedikit keberun- tungan (qadr yasir min al-khuthuth) disebut al-qanaah antonimnya al-syarrah.
 Mayoritas etika keimanan terga- bung dalam sabar (al-Shabr).

Sebelumnya Imam al-Ghazali, pembagian sabar (al-shabr) berdasarkan peristiwanya dilakukan oleh Imam al-Makki. Tetapi pembagian Imam al-Makki sangat umum dan tidak membedakan namanya Imam al-Makki hanya menyebutkan ruang kesabaran, antara lain sabar (al-shabr) dalam menegakkan yang ma’ruf (kebenaran menurut Islam), sabar dalam mencegah kemunkaran, sabar (al-shabr) dalam ibadah, sabar berinfak (al-shabr fi al-infaq).

Pembagian Imam al-Ghazali nampaknya terinspirasi dari Imam al-Makki. Keaslian pendapat Imam al-Ghazali dalam hal ini adalah mengenalkan istilah-istilah sabar (al-shabr) penjelasan di atas. Menurut hemat penulis, pembagian sabar (al-shabr) berdasarkan istilah nya pada tataran praktis tidak penting, sebab hakikat sabar (al-shabr) menguatkan motivasi relegius dalam menghadapi setiap motivasi hawa nafsu, baik hawa nafsu bersifat emosi, biologis, maupun yang lainnya. Tetapi dalam wacana keilmuan, pembagian ini sangat penting sebab membantu seorang muslim dalam mengiden- tifikasi peristiwa kesabaran yang sedang dihadapi.

1.Al-Iffah

Secara etimologi al-iffah berarti menjauh kan diri dari perkara tidak baik/hina/syubhat. Secara terminology sebagaimana dikatakan Imam al-Mawardi berarti “menempatkan kecen- derungan terhadap sesuatu yang menyenangkan dibawah hukum (al-hukm) akal, baik kesena- ngan tersebut bersifat jasmani (jasmun) maupun bersifat rohani (ruuhun) seperti emosi (al-infi’al) dan perasaan (al-‘awathif)”

Kesenangan yang bersifat jasmani ber hubungan dengan selera perut (makan dan minum). Sedangkan kesenangan yang bersifat rohani berhubungan dengan nafsu biologis (seksual). Dua bentuk kesenangan ini merupa kan kebutuhan (needs) dasar manusia yang bila tidak terpenuhi berdampak pada jiwa dan raga. Pentingnya kesabaran dalam hal ini adalah untuk mengendalikan seorang muslim agar jalan pemuasan yang ditempuhnya sesuai dengan petunjuk agama Islam.

Makanan dan minuman dikatagorikan menjadi dua: mendesak (dharuri) dan tidak mendesak (ghair dhoruri) . Katagori mendesak adalah makanan dan minuman yang tidak dapat ditinggalkan sebab berdampak pada kesehatan, misalnya makan dan minum sehari-hari. Sedangkan katagori tidak mendesak adalah makanan tambahan yang tidak berdampak kepada kesehatan.

Imam al-Ghazali, porsi makan dan minum terbagi kepada terpuji (al-mahmudah), makruh (la-makruhah), tercela (al-mazmumah) dan dilarang (al-mahdzurah) Porsi yang terpuji adalah yang tidak kekurangan dan tidak ber lebihan, sehingga tubuh dapat berfungsi secara maksimal. Porsi yang makruh ini sekaligus menjadi tercela sebab menyebabkan tubuh menjadi malas. Adapun porsi yang haram adalah makanan dan minuman yang diharamkan, baik essensinya maupun cara memperolehnya.

Adapun cara memenuhi nafsu biologis juga terbagi kepada: terpuji, makruh dan haram. Cara terpuji adalah apabila nafsu ini disalurkan sesuai dengan petunjuk agama Islam yaitu dengan cara yang halal dan sehat. Cara makruh adalah apabila aktivitas seksual dila- kukan dengan cara terpuji, tetapi hanya berorientasi kesenangan dan kepuasan semata. Adapun cara yang haram adalah yang tidak sesuai dengan agama Islam, misalnya berzina, menggauli istri sedang menstruasi atau sodomi (menggauli sesama jenis) .

Pada bagian lain Imam al-Ghazali menga- takan, aktivitas nafsu biologis manusia terbagi kepada: berlebihan (al-ifrath ), kekurangan (al-tafrith) dan moderasi (al-I’tidal). Aktivitas yang berlebihan adalah yang tidak manusiawi dan menyimpang dari ajaran agama Islam. Aktivitas yang kekurangan adalah tidak memenuhi kebu- tuhan (needs) ini secara total sehingga tidak menikah. Sedangkan aktivitas moderasi adalah pemenuhannya berdasarkan kepada akal dan agama Islam.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa sabar (al-shabr) mengendali- kan nafsu perut adalah memenuhi kebutuhan (needs)nya sesuai porsinya dan tidak berlebihan, konsumsi yang halal, baik esensinya maupun cara memperolehnya. Sedangkan sabar (al-shabr) mengendalikan nafsu biologis adalah memenuhi kebutuhannya dengan cara yang halal, benar dan logis.

2. Al-Shabr

Secara umum, kata al-shabr menggambar kan kemampuan seorang muslim mengendali kan diri dalam menghadapi segala peristiwa yang dialami sesuai dengan petunjuk agama Islam. Tetapi penggunaan yang spesifik dari kata ini adalah untuk menggambarkan kemam puan seorang muslim dalam menghadapi musi- bah dan penderitaan .

Dijelaskan terdahulu bahwa musibah dan penderitaan merupakan hukum Tuhan (God) yang berlaku bagi semua manusia. Bagi orang beriman, musibah dan penderitaan dikembali kan kepada dua prinsip: prinsip dunia sebagai medan ujian sehingga setiap orang akan menerima ujian (al-Qur’an surat al-Naml (27) ayat 40) dan prinsip keimanan bahwa kekokohan iman ditempa oleh ujian (Al-Qur’an surat al-Ankabut (29) ayat 2-3). Prinsip dunia sebagai medan ujian mengandung pemahaman bahwa semua manusia yang hidup di dunia ini akan mengalaminya, dan setiap dinamika kehidupan merupakan bagian dari ujian tersebut. Sedangkan prinsip kekokohan iman ditempa oleh ujian mengindikasikan bahwa setiap orang yang beriman akan diuji, sehingga semakin kokoh keimanan semakin berat pula ujiannya. Berdasarkan dua prinsip ini maka kesabaran adalah mutlak untuk dimiliki.

Cara bersabar menghadapi musibah dan penderitaan, menurut Imam al-Ghazali adalah dengan menghindarkan perbuatan yang tidak lazim, yaitu berputus asa (al-juz’u), merobek-robek pakaian, memukul-mukul dinding, kemu- dian mengeluh menampakkan kekesalan secara berlebihan, melakukan rutinitas seperti berpa- kaian, tidur, makan, minum dan sebagainya di luar kebiasaan.

Bersabar bukan berarti tidak bersedih atau tidak menangis, sebab hal tersebut merupakan naluri dan tabiat manusia yang tidak mungkin dihilangkan secara total. Nabi pun, sebagai manusia yang paling sabar, menangis ketika putranya nabi Ibrahim meninggal. Tetapi yang dimaksud dengan sabar (al-shabr) menghadapi musibah dan penderitaan adalah mengendalikan diri untuk tidak melakukan kegiatan yang menyimpang dari ajaran agama Islam dan di luar kebiasaan. Hal ini akan terbentuk apabila seorang muslim rela dan ikhlas menerima semua ketentuan Tuhan (Allah SWT) serta meyakini hikmah yang ada dibaliknya.

3. Dhabth al-nafs.

Secara etimologi Dhabth al-nafs, berarti menahan atau mengendalikan diri. Pengertian ini sebenarnya berhubungan dengan semua nama sabar. Akan tetapi apabila dilihat dari antonimnya yaitu al-bathr yang berarti menya- lahgunakan kenikmatan, tidak mensyukuri, meremehkan, menyombongi, tidak menerima keadaan dirinya, kufur nikmat, maka kata Dhabth al-nafs. Merupakan sabar dalam kondisi menerima nikmat kekayaan materi.

Adanya materi merupakan faktor kebaha -giaan sebab dengannya seorang muslim dapat mencukupi kebutuhan hidupnya. Materi bukan hanya dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan jasmani, tapi sangat penting keberadaannya dalam ibadah, bahkan ibadah dapat dilaksana kan lebih sempurna. Materi menjadikan seorang mukmin lebih baik dari mukmin yang lain, dan sebabnya Islam memerintahkan untuk men- carinya sebanyak mungkin seolah-olah hidup di dunia ini abadi (ikmal lidunnyaaka kaannaka taisuu abadan wa’ mal li akhirataka kaannakaa tamuutu ghadzan, al-hadits ).

Di sisi lain materi membawa kesengsa- raan. Adanya materi membuat seorang muslim dapat merealisasikan keinginan negatifnya, dan hiburan yang mahal menjadi gampang karena keberadaannya. Materi juga dapat menyebabkan seorang muslim jauh dari agama Islam. Sebab itu, ayat dan hadits mengingatkan agar setiap muslim waspada terhadap fitnah yang ditimbul- kan dari harta.

Kewaspadaan terhadap fitnah harta ada lah dengan mengetahui kewajiban-kewajiban yang berhubungan dengannya. Menurut Imam al-Ghazali kewajiban tersebut meliputi lima hal : Fungsi dan kegunaan, cara memperoleh, jumlah, pemanfaatan dan niat mencarinya.

Adapun fungsi harta penting untuk di ketahui sebab membuat seorang muslim tidak menguras tenaga dan pikiran untuk mengejar yang tidak berguna. Cara memperolehnya harus lah secara halal; bukan cara yang haram atau makruh. Jumlah yang dicari disesuaikan keperluan; tidak berlebihan atau kekurangan. Ia belanjakan di jalan Allah (fi sabilillaahi), sesuai keperluan dan tidak bersifat mubazir. Niat mencarinya semata-mata untuk dijadikan sebagai fasilitas ibadah. Pemikiran Imam al-Ghazali dalam hal harta kekayaan ini sejalan dengan agama Islam yang mengajarkan untuk mencarinya dengan cara yang halal dan memanfaatkan sebagai fasilitas untuk ber- ibadah.

4. Al-Syaja’ah.

Secara etimologi kata al- syaja’ah berarti berani antonimnya dari kata al-jabn yang berarti pengecut. Kata ini digunakan untuk menggambarkan kesabaran di medan perang. Sisi positif dari sikap berani yaitu mendorong seorang muslim untuk melakukan pekerjaan berat dan mengandung resiko dalam rangka membela kehormatannya. Tetapi sikap ini bila tidak digunakan sebagaimana mestinya menjeru muskan seorang muslim kepada kehinaan. Ahmad Amin mendefinisikan berani sebagai: “Sikap gentle dalam menghadapi kesulitan atau bahaya ketika dibutuhkan. Orang yang melihat kejahatan, dan khawatir terkena dampaknya, kemudian menentang maka itulah pemberani. Dan orang yang berbuat maksimal sesuai statusnya itulah pemberani (al-syujja’). Al-syajja’ah (berani) bukan sinonim ‘adam al-khauf (tidak takut sama sekali)”

Berdasarkan pengertian yang ada di atas, dipahami bahwa berani terhadap sesuatu bukan berarti hilangnya rasa takut menghadapinya. Keberanian dinilai dari tindakan yang berorien- tasi kepada aspek maslahat dan tanggung jawab. Maka sabar (al-shabr) di medan perang bukan berarti berani yang keliru, tetapi berani yang berdasarkan pertimbangan kemaslahatan.

Predikat pemberani bukan hanya diperun tukkan kepada pahlawan yang berjuang di medan perang. Setiap profesi dikatagorikan berani apabila mampu menjalankan tugas dan kewajibannya secara bertanggungjawab. Kepala keluarga dikatagorikan berani apabila mampu menjalankan tanggungjawabnya secara maksi -mal, pegawai dikatakan berani apabila mampu menjalankan tugasnya secara baik, dan seterus nya.

Keberanian terbagi kepada terpuji (al-mahmudah) dan tercela(al-mazmumah). Kebera- nian yang terpuji adalah yang mendorong berbuat maksimal dalam setiap peranan yang diemban, dan inilah hakikat pahlawan sejati. Sedangkan berani yang tercela adalah apabila mendorong berbuat tanpa perhitungan dan tidak tepat penggunaannya. Ahmad Amin berkata: “takut tercela adalah takut kepada sesuatu yang ditakuti sehingga menghalangi beramal, atau bahkan menyebabkannya tidak beramal sama sekali. Misalnya orang yang takut ditimpa kemiskinan menyebabkannya tidak berkeingi nan membantu orang yang dalam kesusahan dan penderitaan.

5.Al-Hilm

Secara etimologi kata al-hilm berarti kesabaran atau kemurahan hati, antonim dari kata al-tazammur yang berarti emosi. Kata ini digunakan untuk menggambarkan sabar (al-shabr) mengendalikan nafsu emosi.

Dalam satu sisi, nafsu emosi sangat dibutuhkan sebab nafsu ini memberi sugesti untuk berusaha membela harga diri, keluarga, harta benda, Negara dan agama. Bahkan Islam memandang tercela orang yang tidak marah ketika kehormatannya dilecehkan. Pada sisi lain, emosi merupakan akhlak tercela (al-mazmumah) yang mengakibatkan timbulnya berbagai mudharat, memicu ketidakharmonisan dalam rumah tangga, menebarkan bibit perten- tangan (konflik) dalam interaksi sosial dengan berbagai latar belakangnya, baik suku bangsa, ras, agama dan lain sebagainya.

Setiap orang pada dasarnya memiliki potensi emosi. Potensi ini menjadi aktif disebab kan banyak faktor, antara lain sikap angkuh, sombong, keras kepala, merasa gagah, canda, khianat, persaingan, dendam dan lain sebagai nya. Potensi emosi lahir dengan tujuan membela kehormatan, baik kehormatan diri dan keluarga, harta benda, dan yang paling mulia kehormatan agama.

Imam Al-Ghazali menjelaskan, “potensi emosi merupakan gejolak darah yang ada di hati untuk menuntut balas (dendam). Gerak potensi ini adalah menolak gangguan yang belum terjadi dan dendam yang telah terjadi. Dendam merupakan penyulutnya, ia tidak damai tanpa adanya dendam.” Artinya, potensi emosi memiliki dua tujuan; membela diri sebelum datang gangguan dan menuntut balas setelah diganggu. Potensi emosi ini semakin berkobar sebab didorong oleh perasaan dendam.

Dampak negative dari emosi menyebab kan hilangnya kesadaran dan berpengaruh pada kesehatan. Ibn Maskawaih menjelaskan, apabila dendam mengobarkan api amarah, darah yang ada dalam hati mendidih semakin dahsyat, seluruh urat syaraf dan otak diselimuti kege lapan sehingga tidak berfungsi maksimal. Akibatnya, orang yang emosi tidak menerima anjuran dan nasehat, bahkan kadang kala menyebabkannya semakin emosi. Panas yang membara dalam hati ketika sedang emosi menyebakan stress dan kematian, atau minimal menimbulkan suatu penyakit yang mengarah kan kepada kematian.

Manusia memiliki potensi emosi berbeda, dan arena itu sikap setiap orang ketika ditimpa musibah dan penderitaan berbeda. Imam al-Ghazali mengklasifikasikan potensi emosi manu-sia kepada: kekurangan (al-thafrith) yaitu lemah atau tidak ada sama sekali, berlebihan (al-ifrath) yaitu kemudian kuat dan keluar dari norma akal dan agama sehingga kemudian dalam ken- dali emosi, dan moderasi (al-‘I’tidal) yaitu emosi yang berdasarkan akal dan agama Islam. Kelompok ketiga inilah yang terbaik sesuai sabda nabi Muhammad Saw : “sebaik-baik perkara adalah moderasi”.

Pada bagian lain Imam al-Ghazali meng katagorikan emosi menjadi: terpuji, makruh dan tercela. Emosi terpuji pada dua kondisi: emosi seorang suami yang cemburu kepada istrinya, dan emosi sebab melihat kemungkaran (al-munkarat) dan kekejian (al-fawahisy) sebagai wujud kepedulian terhadap agama Islam. Sedangkan emosi yang makruh misalnya emosi seorang majikan kepada pembantunya yang lalai. Adapun emosi tercela misalnya caci maki yang dilakukan sebab kesombongan.

Dengan demikian, sabar melawan nafsu emosi tidak berarti menahan dan terlebih meniadakannya secara total, tetapi menguatkan dan melemahkannya sesuai dengan akal dan agama Islam. Emosi dalam kondisi yang wajib adalah sebuah keharusan, dalam kondisi makruh dibolehkan dengan orientasi pendidikan. Maka yang dimaksud dengan sabar (al-shabr) mengendalikan emosi adalah emosi yang tercela.

6. Sa’at al-Shadr

Kata Sa’at al-Shadr (lapang dada) merupakan lawan dari kata al-dhajr (gelisah), al-tabarrum `(cemas, jemu, bosan), dhayyiq al-sh`adr (sempit dada). Kata Sa’at al-Shadr diguna kan untuk menggambarkan kesabaran seorang muslim ketika mengalami kegelisahan sebab menunggu hasil perjuangan.

Manusia diciptakan dengan karakteristik yang tergesa-gesa, tidak suka menunggu, dan kemudian menginginkan hasil maksimal dari per- juangannya. Sifat-sifat ini berseberangan dengan realitas sebagaimana disebutkan di atas. Sebab itu, agar seorang muslim dapat mengen- dalikan dirinya dari berbuat yang tidak baik (negative) pada saat menunggu hasil perjuangan tersebut, maka dibutuhkan sikap sabar (al-shabr).

7. Kitman al-Sirr

Kata Kitman al-Sirr secara etimologi berarti menyimpan atau menyembunyikan rahasia. Kata ini digunakan untuk menggambar kan kemampuan seorang muslim dalam me- nyimpan rahasia, dan pelakunya disebut Katum al-sirr.

Sabar menyimpan rahasia maksudnya adalah kemampuan menjaga lidah agar tidak membicarakan rahasia (aib), baik rahasia sendiri maupun rahasia orang lain. Kemampuan menyimpan rahasia sangat besar pengaruhnya bagi kebahagiaan hidup dan kesuksesan perjuangan. Pejuang yang tidak mampu menyim pan rahasia tidak akan berhasil sebab kelema- hannya atau strategi perjuangannya menjadi diketahui.

Imam al-Mawardi menjelaskan, membicarakan rahasia orang lain lebih tercela dari membicarakan rahasia sendiri. Sebab, bila yang dikatakan benar berarti khianat, dan bila mengada-adakan berarti fitnah atau mengadu domba. Menjaga amanah kerahasiaan lebih berat dari menjaga amanah harta. Oleh sebab itu, menurut Imam al-Mawardi selanjutnya, apabila terpaksa membicarakan rahasia sebab meminta pendapat misalnya, hendaklah hanya kepada orang yang amanah.

Walaupun demikian, seorang muslim dibolehkan untuk membicara kan rahasia pada saat diperlukan, yaitu dalam rangka menegak kan yang diperintahkan agama (ma’ruf) dan mencegah kemunkaran. Membuka rahasia dalam kondisi seperti ini bahkan merupakan kewajiban. Adapun di luar konteks ini, apabila membuka rahasia mengakibatkan timbulnya bahaya maka hukumnya haram. Dan bila tidak menimbulkan bahaya termasuk perbuatan yang tercela.

8.Al-Zuhd

Secara etimologi kata al-zuhd berarti meninggalkan atau menjauhkan diri, antonim nya al-hirsh yang berarti ketamakan dan kebakhilan. Kata ini digunakan untuk menggam barkan kesabaran seorang muslim pada saat mengalami kemewahan.

Dalam perjalanan dan perkembangan sejarah Islam, praktek hidup zuhud mulai dilakukan pada akhir abad Pertama Hijriyah. Mereka yang tidak ingin larut dalam hidup mewah yang dipraktekkan para khalifah Bani Umayyah dan khalifah Bani Abbasiyah, memilih mengasingkan diri dari komunitas sekitarnya. Tokoh-tokoh tersebut antara lain Hasan al-Bashir (yang wafat pada tahun 110.H/729.M), Sufyan al-Tsauri (yang wafat pada tahun 161.H/778.M), Ibrahim bin Adham (yang wafat pada tahun 162.H/782.M), Rabiah al-Adawiyah (yang wafat pada tahun 185.H/801).

Bermacam-macam pendapat menerangkan makna zuhud. Hasan al-Bashri mengatakan :

“jauhilah dunia ini sebab ia sebenarnya serupa dengan ular licin pada perasaan tangan tetapi racunnya membunuh”.

Ibrahim ibn Adham zuhud berkata: “tinggalkan dunia ini. Cinta pada dunia mem- buat orang tuli dan buta, dan menjadi budak”.

Sedangkan menurut Imam al-Ghazali zuhud adalah:”menahan diri dari dunia secara sukarela dengan ketaatan padahal engkau mampu meraihnya”

Tiga makna zuhud yang penulis terangkan di atas, meski redaksinya berbeda, tetapi maksudnya sama yaitu pentingnya bagi orang yang mampu untuk menghindari praktek dunia bermewah-mewah. Hal ini disebabkan kemewahan dapat melalaikan seorang muslim dari beribadah kepada Tuhan (Allah SWT) .

Definisi yang dikemukakan Imam al-Ghazali di atas menunjukkan bahwa ajaran zuhud berhubungan dengan cara pemanfaatan kekayaan yang dimiliki. Definisi tersebut meluruskan kekeliruan sebagian orang yang memandang bahwa praktek hidup zuhud dalam tradisi sufisme mengajarkan seorang muslim untuk tidak berusaha secara maksimal. Perintah Islam kepada umatnya agar mereka berusaha mencari kekayaan sebanyak-banyaknya, dan pandangannya bahwa muslim yang kaya lebih baik dari muslim yang miskin, menegaskan bahwa kekayaan dalam Islam bukanlah hal yang mesti dihindari.

Jelasnya, konsep zuhud yang dipraktek kan oleh kaum sufi adalah dengan membelanja kan kekayaan tersebut. Perhiasan dan kemewa han dunia merupakan kesenangan yang semu. Bila mana orang kaya mengikuti hawa nafsunya untuk menikmati kesenangan dan kemewahan tersebut maka tidak akan pernah ada habisnya. Pada akhirnya, kesenangan dan kemewahan dapat membuat seorang muslim lengah dari melaksanakan kewajibannya kepada Tuhan (Allah SWT). Kesenangan dan kebahagiaan sejati berada pada kehidupan akhirat dan akan diraih dengan ketaatan melaksanakan kewaji- ban tersebut Adapun apa yang ada dalam dunia ini, kata Imam al-Ghazali cukup diambil sekedarnya saja sesuai kebutuhan dasar yang diperlukan. Sedangkan kelebihan harta yang dimiliki, mestinya disedekahkan semata-mata sebab ingin berakhlak sesuai sifat-sifat Tuhan (Allah SWT) .

Selanjutnya Imam al-Ghazali membagi zuhud terbagi kepada tiga tingkat:

 Pertama, al-mutazahhud yaitu tingkat orang zuhud tetapi nafsu nya masih cenderung kepada dunia.
 Kedua, zuhud yaitu tingkat orang zuhud yang tidak cenderung kepada dunia sebab menurutnya, dunia tidak mungkin digabungkan dengan akhirat.
 Ketiga, al-zuhd fi al-zuhd yaitu tingkat orang zuhud yang tidak cenderung kepada dunia tetapi tidak pula menghindarinya.

Bagi Imam al-Ghazali, ada dan ketiadaan adalah sama, dan inilah tingkatan zuhud yang paling sempurna. Berbagai motivasi yang mendorong seorang muslim untuk ber sikap zuhud, yaitu sebab takut siksa neraka merupakan zuhud orang yang takut, sebab mengharapkan nikmat akhirat merupakan zuhud orang yang mengharap, sebab ingin menghilangkan kecenderungan kepada selain Allah, menyucikan diri dan merendahkan segala yang ada selain-Nya. Zuhud terakhir inilah zuhud sejati kezuhudan kaum ‘arif. Ditinjau dari objeknya zuhud terbagi kepada:

 Pertama : Zuhud terhadap segala sesuatu selain Allah, baik yang ada di dunia maupun di akhirat dan inilah zuhud sempurna.
 Kedua, zuhud terhadap dunia saja dan tidak terhadap akhirat.
 Ketiga, zuhud terhadap harta tidak kepada kedudukan atau zuhud terhadap sebagian kesenangan tidak terhadap kesenangan yang lain. Zuhud ketiga ini merupakan zuhud yang terendah.

Berdasarkan penjelasan terdahulu, dapat dikatakan bahwa sabar dalam menghadapi kemewahan adalah mengambil seperlunya sesuai keperluan dan tidak berlebih-lebihan. Zuhud bukan berarti meninggalkan kesenangan dunia sama sekali. Sebab, sebagaimana dikata kan Imam al-Ghazali, harta merupakan salah satu syarat agar dapat menjalankan ketaatan secara maksimal.

9. Al-Qana’ah.

Dari segi etimologi kata al-qana’ah berarti rela atau puas dengan bagian yang diterima. Antonimnya adalah kata al-syarrah yang berarti tamak, rakus, lahap. Maksudnya, kata al-Qusyairi, adalah “rela terhadap rezeki yang diterima, tidak melihat kepada yang belum ada, dan merasa cukup dengan yang dimiliki”. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan sabar menghadapi sedikitnya keberuntungan yang ditakdirkan kepadanya.

Sikap al-Qana’ah yang diajarkan Islam seringkali dipahami secara keliru. Seakan-akan maksudnya adalah menerima apa adanya tanpa melihat usaha mencarinya. Al-Qanaah pada dasarnya merupakan sikap menerima berapapun hasil usaha yang dilakukan. Artinya, ada usaha yang harus dilakukan terlebih dulu untuk mendapatkan hasil tersebut, bukan menerima apa adanya tanpa perlu berusaha secara maksimal.

Kesejahteraan materil merupakan salah satu faktor kebahagiaan hidup duniawi. Materi juga sangat diperlukan, bahkan menjadikan ibadah dapat dilaksanakan secara sempurna. Sebab itu, orang beriman diperintahkan untuk berencana dan berusaha sekuat tenaga untuk mencari kesejahteraan tersebut. Akan tetapi fakta menunjukkan, tidak semua berhasil, bahkan banyak orang yang gagal mencari kesejahteraan tersebut.

Pentingnya memiliki sikap al-qanaah sebab membuat seorang muslim memahami dan menerima realitas yang dihadapi dengan lapang dada dan tidak menyimpang dari petunjuk agama. Kesuksesan tidak menyebab kan sombong dan kegagalan tidak menyebabkan putus asa (walaa taiasuu min ruhillaah). Hidupnya akan jauh dari sifat iri dan dengki terhadap segala yang dimiliki orang lain. Sikap al-qana’ah membentuk jiwa seorang muslim menjadi ikhlas dengan ketentuan Tuhan (Allah SWT) dan mensyukuri segala nikmat yang diberikan-Nya.

Sedangkan orang yang tidak al-qanaah maka akan menjadi budak materi dan kebebasannya akan terpasung. Ketamakan dan keserakahan dalam mengejar harta seringkali membuat seorang muslim menempuh cara-cara yang menyimpang dari ajaran agama Islam seperti menipu, menjilat, korupsi, kolusi, meram pok dan lain sebagainya. Nabi Muhammad Saw bersabda yang artinya:

Jadilah orang yang wara’ niscaya engkau akan menjadi orang yang paling berbakti (ibadah). Jadilah orang yang qana’ah niscaya engkau akan menjadi orang yang pandai bersyukur. Cintailah orang lain sebagaimana engkau mencintai dirimu sendiri niscaya engkau akan menjadi muslim. Sedikit ketawa sebab banyak ketawa akan mematikan hati. (Hadits riwayat Ibn Majah)

Muhammad al-Ghazali menjelaskan, menanamkan sikap al-qanaah bukan berarti menutup pintu usaha-usaha, atau membatasi pelakunya untuk mencapai kesejahteraan materi yang lebih baik. Sikap ini dibutuhkan agar seorang muslim tidak berusaha dengan gila-gila an dan serakah, yang akhirnya menghilangkan sikap bijaksana dan adil. Manusia seringkali membantah dengan berbagai alasan untuk mem benarkan kehendak nafsu, menuruti keinginan-keinginan, kemudian merasa kurang dan ber sikap sombong.

Keterangan Muhammad al-Ghazali di atas menolak asumsi sebagian orang bahwa sikap al-qanaah yang diajarkan Islam, yang dipraktek kan oleh mayoritas kaum sufi, sebagai ajaran yang mengarahkan umatnya kepada hidup miskin, menerima apa adanya, gampang me- nyerah menghadapi tantangan dan persaingan. Lebih jauh, mereka mengganggap seorang muslim tidak berusaha maksimal mencari kesejahteraan duniawi adalah wajar dan merupakan wujud ketaatan terhadap agama Islam.

Al-qanaah adalah kemampuan seorang muslim mengendalikan diri untuk tidak men- cari harta kekayaan kemudian cara-cara yang tidak sesuai dengan ajaran agama Islam, mendorong untuk menjunjung prinsip-prinsip keadilan dan kebijaksanaan, dan tidak melupa- kan bahwa rezeki yang bermanfaat adalah rezeki yang halal, diperoleh dengan cara-cara yang halal, dan dimanfaatkan di jalan Allah (fi- sabilillahi). Bila demikian, maka sikap al-qanaah melahirkan sikap ikhlas terhadap ketentuan dan sikap syukur terhadap nikmat Tuhan (Allah SWT) yang diterima.

Berdasarkan pembagian sabar (al-shabr) yang dilakukan oleh Imam al-Ghazali seperti diuraikan terdahulu, dapat disimpulkan bahwa konsep sabar yang dibangunnya sangat kompre- hensif. Imam al-Ghazali mampu memetakan hal-hal yang berhubungan dengan akhlak sabar dari berbagai segi. Pemetaan ini sangat penting arti dan fungsinya, sebab kemudian pembagian ter- sebut, orang yang hendak membentuk kepriba dian yang sabar mendapatkan pemahaman yang luas, baik mengenai sarana, kualitas, hukum, objek dan nama sabar sesuai peristiwa yang hidup yang dialami. Pembagian ini sekaligus menunjukkan keluasan dan keterperincian bangunan konsep sabar Imam al-Ghazali dibandingkan dengan tokoh-tokoh sufi sebelumnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar